google-site-verification=I3gsFmhNnwraRTClYNy7Zy_HRGb_d1DkfDUi6e1xs34 RABIES PADA ANJING ~ Medik Veteriner Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

RABIES PADA ANJING


PENDAHULUAN

Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang susunan syaraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia karena bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis bagi orang yang terpapar. Penyakit rabies tersebar luas di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Menurut data World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Hal lain yang membuat penyakit rabies ini sangat penting adalah kenyataan bahwa selain bersifat fatal, penyakit ini penyebarannya di Indonesia makin lama cenderung meluas karena ada pulau yang sebelumnya bebas menjadi tertular (Soejoedono, 2005).
Sementara itu menurut SK Menteri Pertanian tahun No 892/Kpts/TN/560/9/97 tanggal 9 September 1997, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dinyatakan sebagai daerah bebas rabies. Pada akhir tahun 1997 wabah rabies terjadi di Flores Timur karena disinyalir terdapat pemasukan anjing dari pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2004 berdasarkan SK Menteri Pertanian No 566/Kpts/PD/PD640/10/2004, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten dinyatakan sebagai daerah bebas rabies (Departemen Pertanian, 2006).
Berhubung terdapat kasus rabies di Flores pada tahun 1997, Maluku pada tahun 2003 (ADJID et al., 2005) dan Kalimantan Barat pada tahun 2005 (Kalianda et al., 2005) maka sampai tahun 2005 daerah bebas rabies di Indonesia hanya meliputi Jawa, Bali, NTB dan Papua. Namun kenyataan terkini menyebutkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1, 1 Desember 2008 maka Bali dinyatakan terjangkit wabah rabies di Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Selain itu Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1696, tanggal 12 Desember 2008 menetapkan Propiinsi Bali sebagai Kawasan Karantina Penyakit anjing gila/rabies (Kepmentan, 2008).
Data menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis di sebagian besar wilayah Indonesia. Di Jawa Barat terdapat 6 kasus (BBV Wates, Jogjakarta, 2006), 91 kasus rabies di Sumatera Utara dan Aceh (BPPV Regional I Medan, 2007), 214 kasus di Sumatrea Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi (BPPV Regional II, 2007), 39 kasus di Bengkulu, Lampung dan Sumatera Selatan (BPPV Regional III, 2004), 37 kasus di Kalimantan Selatan, Tengah, Timur dan Barat (BPPV Regional V Banjarbaru, 2007), 26 kasus di Nusa Tenggara Timur (BBV Denpasar, 2007), dan 98 kasus di Gorontalo, Sulawesi Barat, Tenggara dan Selatan (BBV Maros, 2007).
Rabies menyerang induk semang berdarah panas, termasuk manusia dan meskipun semua mamalia tergolong hewan peka terhadap rabies namun hanya beberapa spesies saja yang berperan sebagai reservoir penting (Center for Desease Control, 2003). Penularan terjadi melalui air liur yang berasal dari hewan yang terinfeksi rabies, dapat melalui kontaminasi mukosa selaput lendir pada mata, hidung dan mulut namun yang paling sering terjadi yaitu melalui gigitan hewan yang terinfeksi (King, 1992).
Penyakit rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Cliquet dan Meyer, 2004). Virus bersifat single stranded, merupakan RNA tidak bersegmen dan terbungkus dalam nukleokapsid protein (Ausvetplan, 1996). Patogenesis penyakit menunjukkan bahwa setelah terjadi gigitan dari hewan yang terinfeksi maka virus rabies menjalar dari susunan syaraf perifer ke susunan syaraf pusat. Virus Rabies dapat bertahan 1-13 hari pada air liurnya sebelum hewan tersebut menunjukkan gejala klinis (Bogel, 1987).
Rabies menimbulkan gejala klinis berupa kelainan syaraf, antara lain demam, gerakan tidak terkontrol, kekakuan pada otot leher, hipersalivasi, hydrophobia, kejang, tremor, paralisis dan kemudian terjadi kematian. Berhubung gambaran pasca mati tidak patognomonik maka konfirmasi diagnosis harus melalui uji laboratorium. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi antigen virus rabies pada preparat histopatologi yang berupa blok parafin dengan metode imunohistokimia. Hal ini dilakukan karena dengan metode pewarnaan konvensional H&E atau pewarnaan Seller's partikel virus yang biasa disebut dengan Negri body, sangat sulit untuk dideteksi. Selain itu untuk mengetahui seberapa jauh angka sensitifitas dan spesifisitas relatif dari IHK terhadap FAT karena dalam penelitian ini hasil uji IHK dibandingkan dengan metode standar untuk rabies yaitu FAT (OIE, 2000).

 MATERI DAN METODE

Sampel berupa blok parafin
Sejumlah 46 organ otak yang diduga terinfeksi rabies telah dipakai dalam penelitian ini. Sampel tersebut berasal dari BBV Maros (16 buah), BPPV Regional I Medan (8 buah), dan BPPV Regional II Bukittinggi (22 buah). Organ otak tersebut dipotong setebal 0,5 cm dan difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan telah diproses sebagai blok paraffin dengan metode standar. Blok tersebut selanjutnya dipotong 3 μm dengan alat mikrotom untuk diproses sebagai preparat histopatologi. Sebagai kontrol positif dipakai blok parafin yang berisi organ otak positif terinfeksi rabies dan untuk kontrol negatif dipakai blok parafin yang berisi organ otak yang tidak terinfeksi rabies.

Fluorescent Antibody Technique (FAT)
Organ otak segar atau yang sudah difiksasi dalam larutan gliserin dan buffer saline atau NaCl 50%, dicuci dan digerus lalu dibuat preparat ulas sesuai metode standar (Dean et al., 1996). Preparat yang diduga mengandung antigen rabies diberi antibodi yang sudah dilabel dengan suatu konjugat, yang paling sering dipakai yaitu fluorescein iso-thiocyanate (FITC) dan diamati dengan bantuan mikroskop fluorescent di ruang gelap. Sampel dinyatakan sebagai positif rabies apabila pada preparat ditemukan titik yang berwarna terang atau terlihat berpendar seperti bintang berwarna kuning emas kehijauan pada lokasi intra sitoplasmik atau nukleus (Dean et al., 1996). Metode FAT ini dilakukan oleh BBV Maros, BPPV Regional I Medan dan BPPV Regional II Bukittinggi.

Antisera terhadap virus rabies
Antisera yang berupa poliklonal sera pada penelitian ini berfungsi sebagai antibodi primer untuk pewarnaan imunohistokimia dan disiapkan oleh BBV Maros. Antisera terhadap virus rabies tersebut diproduksi pada kelinci yang selanjutnya akan dipakai sebagai reagen utama pada pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi antigen virus rabies pada jaringan yang diduga terinfeksi rabies. Antisera terhadap virus rabies ini diproduksi pada kelinci dewasa dengan cara menyuntikkan vaksin rabies (Rabisin, Romindo) sebanyak 1 ml secara sub-kutan. Suntikan kedua dilakukan setelah dua minggu dan suntikan ketiga dilakukan satu minggu kemudian dengan dosis dan rute yang sama. Antisera dipanen satu minggu kemudian. Sebagai kontrol negatif dipakai antisera kelinci yang disuntik dengan larutan PBS pH 7,4. Selain menggunakan poliklonal sera sebagai antibodi primer, dapat juga dipakai monoklonal sera yang dapat diperoleh secara komersial namun tentu saja dengan harga yang relatif mahal.

Pewarnaan imunohistokimia dengan metode avidin biotin peroksidase
Pewarnaan imunohistokimia (IHK) pada penelitian ini mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Hsu et al. (1981), dengan menggunakan metode avidin biotin peroxidase complex (ABC). Dalam penelitian ini dipakai kit komersial (LSAB-2 System peroxidase universal kit, DAKO, No. K 0672, Denmark).
Pada prinsipnya, preparat histopatologi (HP) diaplikasikan dengan antisera terhadap virus rabies yang sudah distandardisasi sebelumnya melalui metode checkerboard titration. Antisera rabies yang berupa poliklonal sera diaplikasikan dengan konsentrasi 1 : 100 dan selanjutnya diberi antibodi sekunder yang sudah dilabel dengan biotin/biotiylated secondary antibody (Dako, Denmark). Setelah itu streptavidin peroksidase (Dako, Denmark) diaplikasikan dan untuk memvisualisasikan antigen yang terdapat pada preparat HP maka ditambahkan substrat amino ethyl carbazole (AEC) yang berwarna coklat (Sigma Chem. Co, USA).
Preparat dinyatakan positif mengandung antigen virus rabies apabila antigen dapat dideteksi secara definitif pada area intrasitoplasmik (di dalam sitoplasma sel neuron). Substrat yang dipakai yaitu AEC yang berwarna merah kecoklatan sehingga antigen juga berwarna merah kecoklatan, dengan latar belakang area berwarna biru yang berasal dari warna hematoksilin. Sebaliknya preparat dinyatakan negatif jika pada preparat tidak dapat dideteksi warna coklat kemerahan pada sel definitif sehingga preparat secara difus tampak hanya berwarna biru saja. Pewarnaan IHK pada penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet), Bogor.
Di dalam penelitian ini pengujian IHK dibandingkan sensitifitas dan spesifisitasnya dengan pengujian FAT, yang merupakan golden standard untuk diagnosis rabies (OIE, 2000) sehingga diperoleh angka sensitifitas dan spesifisitas relatif untuk IHK terhadap FAT.


 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pewarnaan IHK ternyata menunjukkan bahwa sebanyak 28 dari 46 sampel (60,9%) dinyatakan positif rabies (Tabel 1). Selain hasil pewarnaan IHK tersebut maka pada Tabel 1 dapat pula dilihat hasil dari pengujian lain yaitu FAT, yang merupakan golden standard untuk diagnosis rabies (OIE, 2000). Hasil pengujian FAT menunjukkan 33 dari 42 sampel (78,6%) positif rabies. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 kita dapat melihat sejauh mana sensitifitas relatif dan spesifisitas relatif dari pengujian IHK jika FAT dianggap sebagai golden standard untuk diagnosis rabies (OIE, 2000). Dari kedua tabel tersebut ternyata sensitifitas dan spesifisitas untuk IHK cukup baik yaitu masing masing 66,7 dan 77,8%.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan rabies dengan metoda imunohistokimia
NO.
No. spesimen
Jenis hewan
Umur
Seks
Asal hewan
FAT
IHK
1
512/05
Anjing
Dewasa
-
Pangkep
TD
Positif (+++)
2
81/06
Anjing
2 tahun
Kendari
Positif
Negatif
3
84/06
Anjing
-
-
Tator
Positif
Positif (+++)
4
96/06
Anjing
-
-
Maros
TD
Positif (++)
5
97/06
Anjing
1 tahun
NTT
Negatif
Negatif
6
101/06
Anjing
-
Tator
Positif
Negatif
7
106/06
Anjing
-
NTT
Negatif
Positif (+++)
8
119/06
Anjing
-
-
Tator
Negatif
Negatif
9
133/06
Anjing
4 tahun
-
TD
Positif (+++)
10
134/06
Anjing
-
-
Manado
Positif
Negatif
11
135/06
Anjing
-
Manado
Positif
Positif (+++)
12
136/06
Anjing
-
Tator
Positif
Negatif
13
138/06
Anjing
-
Tator
Positif
Negatif
14
139/06
Anjing
-
NTT
Positif
Negatif
15
142/06
Anjing
1 tahun
-
Maros
TD
Positif (++)
16
152/06
Anjing
-
-
NTT
Positif
Positif (++)
17
89/06
Anjing
1.8 tahun
Medan
Positif
Positif (+++)
18
91/06
Anjing
5 tahun
Medan
Positif
Positif (+++)
19
290/06
Anjing
10 bulan
Medan
Positif
Positif
20
357/06
Anjing
2 bulan
Medan
Positif
Negatif
21
367/06
Anjing
6 bulan
Medan
Negatif
Positif
22
403/06
Anjing
2 tahun
Medan
Positif
Negatif
23
462/06
Anjing
2 tahun
Medan
Positif
Positif
24
494/06
Anjing
4 bulan
Medan
Positif
Negatif
25
70/06
Anjing
2 tahun
Solok
Positif
Positif (+)
26
76/06
Anjing
3 tahun
Solok
Positif
Positif (+)
27
81/06
Anjing
Anak
Padang
Positif
Positif (+)
28
146/06
Anjing
3 tahun
Solok
Negatif
Negatif
29
150/06
Anjing
Anak
Agam
Positif
Positif (++)
30
155/06
Anjing
1 tahun
Agam
Positif
Positif (+++)
31
166/06
Anjing
2 tahun
50 Kota
Positif
Positif (++)
32
176/06
Anjing
4 bulan
50 Kota
Positif
Positif (++)
33
177/06
Anjing
Anak
50 Kota
Positif
Positif (+++)
34
178/06
Anjing
5 bulan
Padang
Positif
Positif (+)
35
181/06
Anjing
Dewasa
Agam
Positif
Positif (+)
36
187/06
Anjing
Dewasa
Solok
Negatif
Negatif
37
225/06
Anjing
5 bulan
T.Datar
Positif
Negatif (lysis)
38
234/06
Anjing
Dewasa
B.tinggi
Positif
Positif (+++)
39
240/06
Anjing
Dewasa
-
Pasaman
Negatif
Negatif
40
241/06
Anjing
Dewasa
-
Padang
Positif
Positif (+)
41
244/06
Berang2
Dewasa
-
B.tinggi
Negatif
Negatif
42
274/06
Anjing
3 bulan
-
B.tinggi
Positif
Positif (+++)
43
275/06
Anjing
-
T.Datar
Positif
Positif (+++)
44
276/06
Anjing
Dewasa
Padang
Negatif (lysis)
Negatif (lysis)
45
283/06
Anjing
Anak
T.Datar
Positif
Positif (+++)
46
284/06
Anjing
8 bulan
50 Kota
Positif
Negatif (lysis)
Jumlah
42
46
Spesimen nomor 1- 16 dari BBV Maros; Spesimen nomor 17- 24 dari BPPV Regional I Medan; Spesimen nomor 25 - 46 dari BPPV Regional II Bukittinggi; : Tidak ada data; TD: Uji tidak dilakukan; +: Positif lemah; ++: Positif sedang; +++ : Positif kuat



Tabel 2. Jumlah sampel yang positif FAT dan IHK
NO
FAT
IHK
Jumlah
+
-
1


+

++

           22

+-

          11


33
2

-

-+
          2

--
           7

9
Jumlah
24
18
42
Total sample pada Tabel 1: 46; Total sampel FAT yang tidak dikerjakan: 4; Total sampel FAT yang dikerjakan: 42

Status penyakit rabies rabies dengan pewarnaan IHK dan dengan pengujian FAT dari 42 organ otak anjing sebagai berikut :
True positif : 22 sampel (benar-benar positif)
Fals negatif :  11 sampel (negatif palsu)
Fals positf : 2 sampel (positif palsu)
True negatif :7 sampel (benar-benar negatif)
                             7
Maka proteksinya adalah =     ---------- x 100 = 16,7%
                                                    42

Baik pengujian FAT maupun IHK mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hasil penelitian ini uji FAT dianggap sebagai golden standard untuk diagnosis rabies karena terbukti paling sensitif dan akurat dalam mendeteksi hewan yang terinfeksi rabies (OIE, 2000). Kendalanya pemeriksaan harus dilakukan pada preparat segar atau yang sudah difiksasi dalam larutan gliserin dan NaCl 50%, sebelum organ mengalami autolisis (OIE, 2000). Pemeriksaan hasil uji FAT hanya dapat dilakukan dengan mikroskop fluoresent dan hasil pengujian FAT hanya bersifat sementara (tidak permanen).
Selain FAT dan IHK, dikenal pula pewarnaan Selller's yang tergolong uji yang sangat praktis dan cepat tetapi sensifitasnya tergolong rendah (Anjaria dan Jhala, 1985) dan pemeriksaan hanya dapat dilakukan dengan mikroskop perbesaran tinggi (100 x dengan bantuan minyak emersi). Pada pewarnaan Seller’s, Negri body tidak mudah ditemukan, perlu ketelitian sangat tinggi karena Negri body hanya terdapat dalam jumlah sangat sedikit (satu atau dua buah perpreparat). Selain itu hasil pewarnaan ini tidak permanen dan sediaan preparat ini tidak dapat melukiskan derajat keparahan dan distribusi lesi pada otak.
Selain pewarnaan Seller’s, pewarnaan konvensional hematoksilin dan eosin (H&E) dapat juga dilakukan. Meskipun teknik ini tergolong mudah dan cepat tetapi pewarnaan H&E ini juga kurang akurat dalam mendeteksi partikel virus (Negri body) yang berukuran sangat kecil (Lepine dan Atanasiu, 1996). Gambar 1A dan B memperlihatkan pewarnaan H & E pada otak yang terinfeksi Rabies tetapi Negri body cukup sulit untuk dideteksi dan diperlukan ketelitian yang tinggi. Negri body biasanya hanya akan ditemukan pada neuron yang terdapat pada area hipokampus saja, dan cukup sulit untuk dideteksi karena dengan pewarnaan H & E, sel neuron intinya berwarna biru, sitoplasma berwarna merah jambu, sedangkan Negri body pada sitoplasma berwana merah muda. Seperti halnya pada pewarnaan Seller's, pada pewarnaan H & E ini diperlukan ketelitian sangat tinggi untuk mendeteksi Negri body (jumlahnya satu-dua buah per preparat), seperti tampak pada Gambar 1C.

 








Gambar 1. A: Otak besar dengan area hipokampus yang terdiri atas sel-sel neuron; B: Hipokampus padaotak. Inti sel neuron berwarna biru dan sitoplasma berwarna merah jambu. Negri Body Rabies yang berwarna merah eosinofilik terletak pada sitoplasma sel neuron; C: Negri body pada area sitoplasma sel neuron di bagian hipokampus otak. (lihat tanda panah). Pewarnaan H & E

Namun disamping keterbatasan tersebut, pewarnaan H & E memiliki beberapa keuntungan dalam mendeteksi rabies karena sampel berupa blok parafin atau organ otak yang sudah difiksasi dalam larutan BNF 10% yang tahan lama sehingga dapat dilakukan pengujian secara retrospektif. Selain itu derajat keparahan lesi dan distribusi lesi dapat terlihat dengan jelas.
Menurut OIE (2000) secara histopatologis, pewarnaan imunohistokimia (IHK) yang berdasarkan pada reaksi antigen-antibodi kompleks, merupakan satu-satunya uji yang dapat diandalkan untuk rabies. Pada metode IHK jika jaringan organ yang mengandung partikel antigen (virus rabies) direaksikan dengan antisera anti virus rabies maka antigen tersebut dapat dideteksi dan divisualisasikan dengan pewarna/substrat/kromagen tertentu, misalnya di amino benzidine (DAB) yang berwarna coklat atau amino ethyl carbazole (AEC) yang berwarna merah kecoklatan (Van Noorden, 1986). Pada penelitian ini hasil IHK sangat mudah dideteksi bahkan pada perbesaran kecil (10 atau 20 x) pada mikroskop biasa karena partikel virus berupa Negri body berwarna merah kecoklatan (dari AEC) sedangkan latar belakang (sel neuron dan jaringan di sekitarnya) berwarna biru dari hematoksilin (Gambar 2). Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pewarnaan IHK dapat mendeteksi Negri body dengan sangat mudah dan partikel virus (Negri body) dapat dideteksi dalam berbagai bentuk dan ukuran dan dalam jumlah besar yaitu 5 – 20 (atau lebih) buah per sel neuron (dalam satu lapang pandangan terdapat puluhan sel neuron). Hasil visualisasi Negri body yang menakjubkan ini juga dialami oleh Suja et al. (2004) pada otak fox dan Jogai et al. (2000) pada kasus rabies pada manusia. Lagipula, jika pada pewarnaan H&E area yang paling tepat untuk mencari Negri body hanya pada daerah hipokampus maka dengan IHK Negri body dapat ditemukan di setiap sitoplasma sel neuron dari bagian otak mana saja.
Menurut Anjaria dan Jhala (1985) dan MOMOTANI (1994) teknik imunohistokimia ini mempunyai banyak keunggulan yaitu: dapat mendeteksi antigen pada jaringan dengan bakurat, preparat dapat diperiksa dengan menggunakan mikroskop biasa (bukan mikroskop elektron atau mikroskop fluoresens), hasil permanen hingga beberapa bulan, dapat dipakai untuk studi retrospektif dan untuk mempelajari patogenesis penyakit (predileksi antigen pada jaringan, kerusakan/lesi yang ditimbulkan antigen, derajat keparahan lesi). Selain itu pewarnaan IHK untuk penyakit rabies merupakan teknik uji yang tergolong cepat, aman, sensitif dan spesifik (Jogai et al., 2000).
Gambar 2. Otak besar dengan inti sel neuron berwarna biru tua dan sitoplasma biru muda. Pada area intra sitoplasmik banyak dideteksi Negri Body berwarna merah dengan berbagai bentuk dan ukuran. Pewarnaan IHK

 






Gambar 3. Negri Body dalam area intra sitoplasmik sel neuron, berwarna merah kecoklatan, dalam berbagai bentuk dan ukuran. Di dalam satu sel neuron dapat dideteksi lebih dari 20 buah Negri Body. Pewarnaan IHK

Literatur terkini (Duur et al., 2008) menyebutkan bahwa telah dikembangkan metode baru yang disinyalir sangat cocok untuk negara berkembang yaitu direct rapid immunohistochemical test (dRIT) yang mempunyai prinsip seperti IHK tetapi sampel yang diuji bukan berupa preparat organ otak melainkan preparat sentuh yang berasal dari organ otak. Keuntungannya yaitu jauh lebih praktis dan cepat jika dibandingkan dengan IHK namun tentu saja diperlukan kehatiahatian ada saat pengambilan sampel preparat sentuh karena kita langsung berhadapan dengan sumber/agen infeksius. Indonesia sebaiknya juga segera melakukan penelitian dan meninjau kelayakan uji tersebut untuk digunakan di laboratorium yang menangani sampel rabies.






DAFTAR PUSTAKA

ADJID, R.M.A., A. SAROSA, T. SYAFRIATI dan YUNINGSIH. 2005. Penyakit rabies di Indonesia dan pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa 15(4): 165 – 172.

ANJARIA, J.M. and C.I. JHALA. 1985. Immunoperoxidase reaction in diagnosis of Rabies. Int. J. Zoonoses 12(4): 267 – 275.

AUSVETPLAN. 1996. Disease strategy: Rabies. http://www.animalhealthaustralia.com.au (15 Juni 2006).

BALAI BESAR VETERINER MAROS. 2007. Peta Penyakit Hewan Sulawesi, Maluku dan Papua.

BALAI BESAR VETERINER WATES, JOGJAKARTA. 2006. Peta Penyakit Hewan Se Jawa.

BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL I MEDAN. 2007. Peta Sebaran Penyakit Hewan di Propinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam.

BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL II. 2007. Peta Penyakit Hewan Regional II Propinsi Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi Tahun 2008.

BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL III. 2004. Peta Penyakit Hewan. Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan, Kepulauan Bangka Belitung tahun 2004. BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL V BANJARBARU. 2007. Peta Penyakit Hewan Kalimantan.

BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL VI DENPASAR. 2007. Peta Distribusi Penyakit Hewan di Wilayah Kerja BBV Denpasar.

BOGEL. 1987. Guidelines for Dog Rabies Control Division of Communicable Disease. World Health Organization, geneva. pp. 1 – 2.

CENTER FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION (CDC). 2003. Rabies natural history. http://.cdc.gov/ncidod/dvrd/Rabies (6 Agustus 2003).

CLIQUET, F. dan E.P. MEYER. 2004. Rabies and rabies related viruses: A modern perspective on an ancient disease. Rev.Sci.Tech.Off.Int. Epiz 23(2): 625 – 642.

DEAN, D.J., M.K. ABELSETH dan P. ATANASIU. 1996. The fluorescent antibody test. In: Laboratory Techniques in Rabies. 4ed Editon. MESLIN, F.X., M.M. KAPLAN and H. KOPROWSKI (Eds.). World Health Organization. Geneva. pp. 88 – 93.

DEPARTEMEN PERTANIAN RI. 2006. Pedoman Pengendalian rabies terpadu. Direktotat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian RI.

DUUR, S, S. NAISSENGAR, R. MINDEKEM, C.M. NIEZGODA, I. KUZMIN, C.E. RUPPRECHT and J. ZINSSTAG. 2008. Rabies diagnosis for developing countires. PloS Neglected Tropical Diseases 2(1): 1 – 6.

HSU, S.M., L. RAINE, and H. FANGER. 1981. The use of avidin-biotin peroxidase complex in immunoperoxidase techniques. Am. J. Clin. Pathol. 75: 816 – 821.

JOGAI, S., B.D. RADOTRA and A.K. BANERJEE. 2000. Immunohistochemical study of human Rabies. Neuropathology 20(3): 197 – 203.

KALIANDA, J.S., WIJANARKO, S. HADI dan A. SUPRIYADI. 2005. Strategi upaya Pembebasan Rabies dalam menunjang pengendalian penyakit zoonosis di Kalimantan. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Puslitbang Peternakan, Bogor.


KEPUTUSAN MENTER PERTANIAN. 2008. Nomor: 1696/ Kpts/PD.610/12/2008 http://www. bkptarakan.org/doc/Kep Men_Rabies.pdf (1 Juli 2009).

KING, A. 1992. Rabies. A Review. In: Recent Advances and Current Concepts in Tropical. Veterinary Medicine. 6 – 17 April 1992. Course Note. The University of Edinburgh.Centre for Tropical Veterinary Medicine. pp. 1 – 10.

LEPINE, P. and P. ATANASIU. 1996. Histopathological Diagnosis. In: Laboratory Techniques in Rabies. 4th Edition. MESLIN, F.X.,M.M. KEPLAN and H. KOOROWSKI (Eds). World Health Organization, Geneva. pp. 55 – 79.

MOMOTANI, E. 1994. Principles of immunohistochemistry techniques and their application. National Institute of Animal Health Biodefence Research Division, Laboratory of immunopathology. Tsukuba, Japan. pp. 1 – 21.

OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES. 2000. Manual standards for Dignostic tests and vaccines. Rabies. http://www.oie.int. (11 Agustus 2003).

SUJA, M.S., A. MAHADEWA, C. SUNDARAM, J. MANI, B.C. SAGAR, T.HEMACHUDA, S. WACHARAPLUESADEE, S.N. MADHUSUDANA and S.K. SHANKAR. 2004. Rabies encephalitis following fox bite-histological and Immunohistochemical evaluation of lesions caused by virus. J. Neuropathol. 23(6): 271 – 276.

SOEJOEDONO, R.R. 2005. Status zoonosis di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Puslitbang Peternakan, Bogor.

VAN NOORDEN, S. 1986. Tissue preparation and immunostaining techniques for light microscopy. In: Immunocytochemistrymodern methods and application 2nd Edition. POLAK, J.M. and S. VANNOORDEN (Eds). Wright, Bristol. pp. 26 – 53.


Terima kasih telah membaca artikel tentang RABIES PADA ANJING di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com