google-site-verification=I3gsFmhNnwraRTClYNy7Zy_HRGb_d1DkfDUi6e1xs34 UJI SENSITIVITAS BEBERAPA ANTIBIOTIKA TERHADAP Staphylococcus aureus YANG DIISOLASI DARI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA ~ Medik Veteriner Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

UJI SENSITIVITAS BEBERAPA ANTIBIOTIKA TERHADAP Staphylococcus aureus YANG DIISOLASI DARI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA


ABSTRAK


Uji Sensitivitas Beberapa Antibiotika Terhadap Staphylococcus aureus Yang Diisolasi Dari Susu Kambing Peranakan Ettawa (di bawah bimbingan Fakhrurrazi dan Rasmaidar).

            Penelitian ini bertujuan mengetahui sensitivitas beberapa antibiotika terhadap Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu kambing Peranakan Ettawa. Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, pada bulan November sampai Desember 2008. Sampel yang digunakan adalah susu yang diperah dari puting 8 ekor kambing Peranakan Ettawa dijadikan sebagai sampel. Sampel tersebut dipupuk kedalam media kaldu nutrien dan diinkubasikan pada temperatur 37 0C selama 24 jam. Isolat Staphylococcus aureus yang telah ditumbuhkan diulaskan pada media agar Müller-Hinton sampai rata, ditunggu ± 5 detik. Lempeng Kloramfenikol (30 μg), Klindamisin (2 μg), Gentamisin (10 μg), Kanamisin (30 μg), Oksitetrasiklin (30 μg), Penisilin (10 unit), Streptomisin (10 μg), Tetrasiklin (30 μg) dan Vankomisin (30 μg) ditempelkan di atas media. Media yang telah ditempeli lempengan antibiotika kemudian diinkubasikan pada temperatur 37 0C selama 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur Diameter Zona Inhibisi (DZI) dalam mm. Sifat isolat bakteri terhadap antibiotika diinterpretasikan sebagai Resisten (R), Intermediate (I) atau Sensitif (S) dengan mengunakan daftar interpretasi zona inhibisi (hambatan). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan semua isolat Staphylococcus aureus sensitif terhadap semua antibiotika yang dipakai.



 
PENDAHULUAN

Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan salah satu ternak di Indonesia yang mempunyai potensi genetik tinggi sebagai penghasil daging maupun susu, serta mampu menghasikan anak lebih dari satu ekor setiap kelahiran. Namun angka kematian anak relatif tinggi, salah satu penyebabnya adalah akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh anak yang baru lahir. Anak kambing PE sangat tergantung pada antibodi induk yang terdapat di dalam kolostrum dan kelangsungan hidup berikutnya tergantung pada jumlah susu yang diproduksi oleh induknya. Kasus masitis atau radang ambing pada kambing  PE dapat mengancam kelangsungan hidup anaknya, karena menurunya kemampuan produksi susu yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus (Purnomo dkk., 2006).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen utama yang sering menyebabkan mastitis subklinis maupun kronis. Kejadian mastitis sering diasosiasikan dengan infeksi S. aureus (Swartz dkk., 1984: Watts dkk., 1986). Mastitis pada kambing PE akibat infeksi S. aureus selain dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat turunnya produksi susu juga dapat menjadi faktor penyebab kematian anak periode menyusui.
1
 
 Staphylococcus aureus dalam susu segar dan produk pangan dapat menyebabkan toxic shock sindrom sebagai akibat dari keracunan pangan. Staphylococcal enterotoxin (SE) merupakan agen yang menyebabkan sindrom keracunan dalam makanan baik pada manusia maupun hewan (Dinges dkk., 2002 dan Omoe dkk., 2002). Sekitar 50% galur S. aureus memproduksi enterotoksin yang dapat menimbulkan keracunan pangan pada manusia (Omoe dkk., 2002). S. aureus menjadi perhatian khusus dalam pengendalian penyakit infeksius karena bakteri ini mempunyai faktor-faktor patogenitas yang berperan dalam mempertahankan diri terhadap sistem kekebalan tubuh hospes dan bakteri ini diketahui telah resisten terhadap beberapa macam antibiotika (Todar, 2002).
Penggunaan antibiotika di Indonesia yang cukup dominan adalah turunan Tetrasiklin, Penisilin, Kloramfenikol, Eritromisin dan Streptomisin baik manusia maupun hewan. Seperti juga di negara-negara lain, pola penggunaan antibiotika tersebut telah mencapai tingkat yang berlebihan dan banyak diantaranya masih digunakan secara tidak tepat (Setiabudy, 1985).  
            Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sifat sensitivitas beberapa antibiotika terhadap S. aureus yang diisolasi dari susu kambing Peranakan Ettawa. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang sensitivitas isolat S. aureus terhadap antibiotika yang akan membantu dokter hewan dalam pertimbangan memilih antibiotika paling tepat yang akan digunakan dalam pengobatan suatu penyakit.


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

 
 

Morfologi dan Pertumbuhan Staphylococcus aureus
          Staphylococcus sp. merupakan bakteri gram positif, berbentuk bola atau oval dengan diameter 0,8-1,0 µm dan berbentuk kelompok seperti untaian buah anggur, tidak bergerak dan tidak berkapsul (Jawetz dkk., 2001). S. aureus termasuk famili Micrococceae, ordo Eubacteriae, kelas Schizomycetes dan berdiameter 0,5-1,5 µm. Bakteri ini dinding selnya mengandung dua komponen utama yaitu peptidoglikan dan asam teikoat (Pelczar dan Chan, 1988), serta menghasilkan toksin yang tahan terhadap panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sendiri sudah mati pada pemanasan suhu 66 0C selama 10 menit, namun toksiknya dapat bertahan sampai 100 0C selama 30 menit (Gaman dan Sherrington, 1992).
            Staphylococcus aureus memproduksi pigmen berwarna kuning telur dengan warna oranye, membutuhkan asam-asam amino (nitrogen organik) untuk pertumbuhan dan bersifat proteolitik, lipolitik dan menghasilkan koagulasi (Fardiaz, 1989). Kebanyakan strain S. aureus dapat tumbuh pada suasana yang mengandung 15% sodium klorida. Spesies S. aureus biasanya terdapat pada permukaan tanah dan merupakan bakteri patogen pada tubuh manusia yang dapat menginfeksi luka dan dapat meracuni makanan (Tarigan, 1988).


3
 
 

Patogenesa Penyakit
Staphylococcus aureus dapat ditemukan sebagai infeksi sekunder pada penyakit cacar air, radang tenggorokan, faringitis, demam tinggi, tuberkulosis dan pneumonia. Pada hewan, organisme ini sering ditemukan dengan penyakit mastitis terutama pada induk sapi dan domba, pustular dermatitis pada anjing, pembentukan abses dalam semua spesies termasuk pada unggas. Organisme ini juga berasosiasi dengan bakteri yang lain dalam sejumlah penyakit (Bramley, 1991).
Staphylococcus aureus erat kaitannya dengan kasus infeksi luka bernanah yang ditemukan pada manusia dan hewan. Dimana, dapat terlokalisasi dalam jaringan manapun pada tubuh, yang merupakan penyebab paling umum dari pyemia. Organisme ini ditemukan pada manusia dan diyakini sebagai agen etiologi dari penyakit-penyakit seperti: osteomyelitis, sinusitis, tonsillitis, boils (bisul), mastoiditis, endocarditis, dan ulceratif keratitis aureus (Swartz dkk., 1984; Watts dkk., 1986).
Keparahan dari infeksi yang ditemukan pada manusia dan hewan tampaknya dipengaruhi oleh toksin yang dihasilkan. Sebagai contoh, infeksi luka dan bisul dihasilkan oleh dermonecrotoxin dan leucocidin. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini dinetralisasi oleh antitoksin demam tinggi komersil. Gastroenteritis pada manusia dan mungkin juga pada anjing, disebabkan oleh enterotoksin (Omoe dkk., 2002).


Farmakodinamika Antibiotika
            Menurut Corcoran dan Shulman (1994), ada lima mekanisme kerja antibiotika yang dapat mengganggu atau menghambat pertumbuhan bakteri, antara lain :

1.      Mengganggu metabolisme sel mikroba
Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Sebahagian mikroba dapat mengunakan asam folat yang ada disekelilingnya, sedangkan golongan yang lain harus mensintesisnya sendiri untuk kebutuhannya. Antibiotika seperti sulfonamid aktif mengganggu sintesis asam folat, apabila antibiotika tersebut mampu bersaing dengan PABA (para aminobenzoid acid) yang dihasilkan oleh bakteri untuk disatukan dalam asam folat, maka akan terbentuk asam folat yang analog bersifat non fungsional, akibatnya kehidupan bakteri akan terganggu. Untuk dapat bekerja, asam folat harus dirubah menjadi bentuk akhirnya yaitu asam tetrahidrofat dalam dua tahap. Pada tahap akhir, antibiotika seperti trimetropim dapat menghambat dihidrofolat reduktase sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat yang fungsional (Snow, 1977).

2.      Menghambat sintesis dinding sel mikroba
Dinding sel bakteri, secara kimia mengandung peptidoglikan, yaitu suatu komplek polimer mukopeptida. Antibiotika menghambat reaksi dalam proses sintesis peptidoglikan seperti vankomisin, dimana antibiotika tidak mengikat PBP (Penicillin Binding Protein), tapi langsung mengikat ujung peptida d-alanyl-d-alanin pada prekursor peptidoglikan sehingga menghambat reaksi transpeptidase. Reaksi ini menunjukan terjadinya perubahan tekanan osmotis dalam sel bakteri lebih tinggi dari pada di luar sel. Hal ini menyebabkan kerusakan dinding sel atau terjadi lisis pada sel terutama pada bakteri yang peka (Mutschler, 1991).

3.      Merusak membran sel mikroba
Dinding sel bakteri adalah lapisan membran sel lipoprotein yang mempunyai sifat permeabilitas selektip dan berfungsi mengontrol keluar masuknya substansi dari dan kedalam sel, serta memelihara tekanan osmotik internal dan ekskresi. Selain itu membran sel juga berkaitan dengan replikasi dioksiribonucleic acid (DNA) dan sintesis dinding sel. Beberapa antibiotika yang dikenal mempunyai mekanisme kerja mengganggu membran sel yaitu antibiotika peptida dan antibiotika polyene (Garrod dkk., 1981).
Polimiksin merupakan kelompok antibiotika berspektrum luas, dapat merusak membran sel bakteri. Antibiotika polimiksin dapat mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri setelah bereaksi dengan struktur sterol yang terdapat pada membran sel, juga perubahan tegangan permukaan yang dapat merusak permeabilitas membran sel bakteri bocor, sehingga berbagai komponen penting dari dalam sel dapat keluar (Garrod dkk., 1981).

4.      Menghambat sintesis protein sel mikroba
Untuk kehidupannya, sel bakteri perlu mensintesis berbagai bentuk protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, yang bekerja sama dengan message ribonucleic acid (mRNA) dan transfer ribonucleic acid (tRNA). Pada bakteri, ribosom terdiri dari dua sub unit, 30 Sved-berg dan 50 Sved-berg, untuk dapat berfungsi pada sintesis protein kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70 Sved-berg (Corcoran dan Shulman, 1994).
Antibiotika mengikat diri pada salah satu komponen ribosom, menyebabkan salahnya pembacaan pada mRNA oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan tidak berfungsi terhadap sel bakteri (Garrod dkk., 1981).

5.      Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba
Penghambatan sintesis protein dapat berlangsung di dalam ribosom. Berdasarkan koefisien sedimentasinya, ribosom dikelompokkan dalam 3 grup, yakni: 1) Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 60s dan 40s; 2) Ribosom 70s, didapatkan pada sel prokariot dan eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 50s dan 30s; dan 3) Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan menyerupai ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya terhadap antibiotika (Snow, 1977).
Rifamisin termasuk dalam kelompok antibiotika yang bekerja menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba, mengikatkan diri pada enzim polimerase-RNA. Antibiotika ini juga dapat bekerja dengan melekatkan diri pada lipida sel, hal ini akan mengakibatkan perpanjangan masa sintesis dioksiribonucleic acid (DNA) (Mutschler, 1991).


Antibiotika
          Antibiotika merupakan kelompok zat antibakteri yang diproduksi oleh suatu mikroorganisme tertentu. Pada konsentrasi yang berbeda antibiotika dapat menghambat mikroorganisme yang lain sesuai dengan flora mikroba tersebut bedasarkan sifat kerjanya antibiotika dibedakan atas dua, yaitu antibiotika yang bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan bakteri dan bersifat bakteriosidal yaitu bekerja membunuh bakteri (Schunack dkk., 1990).

1. Kloramfenikol
            Kloramfenikol adalah zat kimia yang mula-mula dihasilkan oleh biakan Streptomyces venezuelae tetapi sekarang sudah dapat dihasilkan secara sintetik. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik, pertumbuhan mikroorganisme dapat berlangsung lagi setelah penghentian obat (Anonimus, 2008).
Kloramfenikol merupakan satu antibiotika yang digunakan sebagai makanan tambahan oleh peternak. Antibiotika tersebut berspektrum luas yang bekerja pada semua mikroorganisme baik gram positif maupun gram negatif. Kloramfenikol merupakan senyawa stabil yang dengan cepat diserap oleh dinding pencernaan dan disebarkan ke seluruh jaringan, serta cairan tubuh yang termasuk susunan saraf pusat dan cairan serebrospinal (Jawetz, 1984).
Mekanisme kerjanya yaitu menghambat peptidil transferase pada fase pemanjangan dan dengan demikian mengganggu sintesis dari protein. Efek samping jarang terjadi, apabila pengaturan dosis yang benar dan kontra indikasi diperhatikan pada saat pemakaian. Akan tetapi kalau terjadi kadang-kadang relatif berat, terutama kerusakan pada bagian sumsum tulang (Mutschler, 1991).
2. Streptomisin
            Streptomisin merupakan sejenis obat antibiotika dari kelas aminoglikosida, Streptomisin merupakan sejenis antibiotika yang kuat, antibiotika ini biasanya digunakan untuk membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit, tuberkulosis, pneumonia dan disentri. Streptomisin juga digunakan sebagai pestisida oleh petani untuk melawan perkembangan bakteri, fungus dan alga pada tanaman (Anonimus, 2007c).
            Streptomisin merupakan antibiotika yang kuat, yang berhasil diisolasi oleh  Walkman pada 1943 dari jamur Sterptomyces griseus. Streptomisin efektif terhadap bakteri gram negatif dan mampu memperkuat efek antibiotika lain terhadap gram positif (Subronto, 2001).

3. Tetrasiklin
            Tetrasiklin adalah antibiotika yang memiliki spektrum luas yang diperoleh dari spesies Streptomyces nimosuss. Golongan Tetrasiklin mudah diserap dalam saluran pencernaan dan menyebar luas dalam jaringan, tetapi antibiotika ini sukar menembus kedalam cairan serebrospinal (Santos, 2005).
 Tetrasiklin dikeluarkan kedalam empedu dan dikeluarka dari tubuh melalui tinja dan air kemih dengan kecepatan yang berbeda-beda. Golongan Tetrasiklin menyebabkan berbagai tingkat gangguan saluran pencernaan (mual, muntah, diare), ruam kulit, lecet pada selaput lendir, dan demam pada banyak penderita, terutama pada pemberian yang lama dengan dosis tinggi. Tetrasiklin diendapkan pada jaringan tulang dan gigi (Siswadono dan Soekardjo, 1995).

4. Penisilin
            Antibiotika ini pertama kali ditemukan oleh Alexander Fleming dari jamur Penicillium notatum pada tahun 1928 dan digunakan untuk membunuh bakteri secara langsung atau melemahkan bakteri sehingga kemudian dapat dibunuh dengan sistem kekebalan tubuh. Penisilin lebih aktif terhadap golongan Gram positif. Toksisitas Penisilin lebih rendah dibandingkan antibiotika lainnya, sebagian besar efek samping yang ditimbulkan adalah reaksi hipersensitivitas (Siswadono dan Soekardjo, 1995).
Hal ini bergantung pada disposisi individual, cara pemakaian serta Penisilin yang digunakan. Karena itu pada setiap penggunaan harus jelas indikasinya, cara pemakaian yang benar (hanya oral dan parenteral) dan anamnesa yang teliti (Mutschler, 1991).

5. Gentamisin
Gentamisin pertama kali ditemukan pada tahun 1963 oleh Weinstein M. J. dan kawan-kawan. Dibandingkan dengan beberapa antibiotika golongan aminoglikosida lainnya, seperti Kanamisin. Aktivitas antimikroba gentamisin lebih tinggi yaitu aktif dalam pH basa dari pada pH asam (Santos, 2005).
Gentamisin adalah antibiotika derivat aminoglikosida dengan spektrum yang luas dan aktif untuk melawan organisme Gram positif dan Gram negatif termasuk Pseudomonas sp., Proteus sp., dan Staphylococcus sp. Pemberian jangka pendek gentamisin 0,3% secara tunggal tanpa kombinasi disamping  biayanya murah juga sangat efektif untuk melawan organisme berspektrum luas terutama Pseudomonas aeruginosa (Lutan dan Wajdi, 2001).
Gentamisin bisa bersifat toksik jika fungsi ginjal terganggu. Gentamisin diperoleh dari Micromonospora purpurea dan bersifat bakterisid dengan cara kerja menghambat sintesis protein bakteri (Ganiswarna, 1995).

6. Oksitetrasiklin
            Oksitetrasiklin merupakan antibiotika berspektrum luas, dan bersifat bakteriostatik dengan hambatan sintesis protein bakteri gram positif dan gram negatif juga Mycoplasma hyopnomonia, ricketsia, chlamidia, dan anaplasma. Oksitetrasiklin hidroksida merupakan antibiotika, yang kadang-kadang digunakan dalam pengobatan penyakit akibat infeksi sistemik (Anonimus, 2007b).  
Gan (1981) menyatakan bahwa Oksitetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam natrium dan garam HCLnya mudah larut dalam lemak larutan Tetrasiklin dan Oksitetrasiklin cukup stabil, makin tinggi suhu  dan PH makin rendah stabil larutan golongan Tetrasiklin.

7. Klindamisin
            Klindamisin merupakan antimikroba yang spektrumnya menyerupai Linkomisin, namun aktivitasnya lebih besar terhadap organisme yang sensitif. Infeksi serius yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif terhadap Klindamisin terutama Streptococus, Pneumococus, Staphylococcus dan bakteri anaerob lainnya (Anonimus, 2007a).






8. Vankomisin
           
            Vankomisin merupakan antibiotika yang termasuk dalam golongan glikopeptida yang dihasilkan oleh Streptomyces orientalis. Obat ini hanya aktif terhadap gram positif, khususnya golongan kokus. Karena sangat toksik, obat ini hanya digunakan bila penderita alergi terhadap obat lain yang lebih aman (Gan, 1981).
Mekanisme kerja Vankomisin adalah dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Namun peningkatan penggunaan Vankomisin belakangan ini menyebabkan sensitivitasnya terus berkurang terhadap S. aureus. Hal ini diperkirakan terkait dengan perubahan dan pengaturan ulang dinding sel bakteri selama pembelahan bakteri (Triana, 2008).

9. Kanamisin
Obat ini termasuk golongan aminoglikosida dan bersifat bakterisid dengan menghambat sintesis protein mikroba. Kanamisin diperoleh dari Streptomyces kanamyceticus (Gan, 1981).

Uji Sensitivitas
            Uji sensitivitas bakteri terhadap beberapa antibiotika di luar negeri sudah lazim dilakukan sebagai pemeriksaan rutin terhadap isolat bakteri berasal dari material klinis. Disamping itu telah banyak dilakukan penelitian tentang sensitivitas dan resistensi bakteri terhadap bermacam-macam antibiotika telah banyak dilakukan (Corcoran dan Shulman, 1994).

Mekanisme Resistensi Antibiotika
            Bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotika karena bakteri dapat menghasilkan suatu enzim yang dapat menghancurkan antibiotika itu. Beberapa enzim yang dihasilkan adalah β-laktamase dan asetilase. Bakteri mutan yang menghasilkan enzim ini dapat hidup tanpa gangguan. Selain enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang mutasi, dapat juga timbul enzim yang sama akibat kontak sel dengan obat, yang dikenal sebagai adaptif (induksi) (Sartono dan Mubarak, 1984).
            Resistensi terhadap antibiotika dapat juga dipindahkan dari organisme yang resisten kepada organisme yang sensitif. Jika organisme yang resisten obat dicampur dengan organisme yang rentan, maka semua organisme akan menjadi resistensi terhadap obat yang sama. Resistensi obat biasanya ditransfer secara bebas dari kromosom bakteri inang. Faktor resistensi obat yang dipindahkan tidak berlokasi pada kromosom, melainkan berupa satuan bebas dalam sitoplasma dari organisme yang resistensi. Faktor ini disebut “faktor pemindah resisten”. Banyak bakteri Gram negatif mengandung faktor resisten ini dan memindahkannya kebakteri Gram negatif lain (Volk dan Wheeler, 1988).
            Faktor pemindah resisten mencakup semua gen yang bertanggung jawab terhadap pemindahan faktor resisten dari satu sel ke sel lain yang pada umumnya berlangsung secara konjugasi. Faktor R ini bersifat infektif, faktor ini juga dapat dipindahkan antara beberapa spesies bakteri yang berbeda, pemindahan faktor R disertai dengan pemindahan gen kromosom yang mobilisasi oleh faktor R (Schelegel dan Schmidt, 1994).
            Menurut Gan (1981) mekanisme resistensi timbul terhadap antimikroba dapat terjadi berdasarkan mekanisme sebagai berikut; 1) mikroba mensistensi suatu enzim penghancur antimikroba, misalnya β-laktamase dari Staphylococcus sp.; 2) mikroba meningkatkan sintesis metabolit yang bersifat antagonis-kompetitif terhadap antimikroba, sehingga dapat mempertahankan metabolisme untuk keperluan hidupnya, misalnya pada peningkatkan sintensi PABA (para aminobenzoid acid); 3) mikroba membentuk jalan metabolisme yang baru dengan menghindari reaksi metabolisme yang dihambat oleh antimikroba; 4) permeabilitas dinding atau membran sel mikroba menurun untuk antimikroba. Akibat peristiwa ini, antimikroba sulit untuk menembus masuk kedalam mikroba, karena terjadinya perubahan struktur kimia dinding/membran sel dari mikroba; dan 5) perubahan struktur atau komposisi ribosom sel mikroba dengan akibat ribosom kurang dapat mengikat antimikroba.               

MATERIAL DAN METODELOGI PENELITIAN

 
 

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala dimulai pada bulan November sampai dengan Desember 2008.

Sampel Penelitian
            Penelitian ini menggunakan 4 isolat Staphylococcus aureus yang berasal dari 8 ekor kambing Peranakan Ettawa di Desa Kampung Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.

Alat dan Bahan
            Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sterilisator (TomyTM), timbangan (OhausTM), tabung reaksi (PyrexTM), lampu spritus, Ose, cawan petri (pyrexTM), autoklaf (Tomy seikoTM), inkubator (MemmertTM), mikroskop (OlympusTM), erlemeyer (PyrexTM), gelas ukur (KartellTM), kapas, pipet tetes, rak tabung reaksi, batang pengaduk dan alat pengukur.
15
 
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan murni bakteri Staphylococcus aureus, NaCl Fisiologis, alkohol, kapas, air, gentian violet, lugol, safranin, Nutrient broth (Oxoid), Blood agar base (Oxoid), minyak emersi, Methyl-Red, Voges-proskauer, Agar darah, laktosa, sukrosa, glukosa dan Indol serta antibiotik (Kloramfenikol, Klindamisin, Gentamisin, Kanamisin, Oksitetrasiklin, Penisilin, Streptomisin, Tetrasiklin dan Vankomisin).

Metode Penelitian
Preparasi Isolat Staphylococcus aureus
            Bakteri Staphylococcus aureus dipupuk pada media kaldu nutrien yang diinkubasikan pada temperatur 37 0C selama 24 jam. Isolat murni Staphylococcus aureus siap digunakan untuk uji kepekaan terhadap antibiotika.

Uji Kepekaan Terhadap Antibiotika
            Uji kepekaan Staphylococcus aureus terhadap beberapa antibiotika ditentukan dengan menggunakan media Müeller-Hinton Agar (MHA, Oxoid). Pedoman pengukuran zona inhibisis untuk menentukan tingkat kepekaan Staphylococcus aureus terhadap berbagai antibiotika, berdasarkan ketentuan National Commitee of Clinical Laboratory Standards (NCCLS) (Anonimus, 1998). Isolat Staphylococcus aureus yang telah ditumbuhkan pada media nutrient broth, diulaskan pada media agar Müeller-Hinton sampai rata, ditunggu kira-kira 5 detik, kemudian lempengan diskus antibiotika ditempelkan di atas media agar.
Antibiotika yang digunakan adalah (Kloramfenikol 30 μg, Klindamisin 2 μg, Gentamisin 10 μg, Kanamisin 30 μg, Oksitetrasiklin 30 μg, Penisilin 10 unit, Streptomisin 10 μg, Tetrasiklin 30 μg dan Vankomisin 30 μg). Media yang telah ditempeli lempengan diskus antibiotika kemudian diinkubasikan pada temperatur 37 0C selama 24 jam.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri pada sekitar lempengan cakram (diskus) antibiotika. Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur diameter zona hambat dalam mm. Berdasarkan DZI (diameter zona inhibisi), sifat isolat bakteri terhadap status antibiotika diinterpretasikan sebagai Sensitif (S), Intermediate (I) dan Resisten (R) dengan mengunakan daftar interpretasi zona inhibisi (hambatan) (Ravel, 1978). 

Analisis Data
            Sifat sensitivitas isolat bakteri Staphylococcus aureus terhadap beberapa antibiotika dianalisis secara deskriptif.


HASIL DAN PEMBAHASAN

            Hasil uji sensitifitas beberapa antibiotika terhadap S. aureus pada media agar Müeller-Hinton (Oxoid), dapat dilihat pada Tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1. Zona hambat beberapa antibiotika pada media agara dari susu kambing Peranakan Ettawa terhadap Staphylococcus aureus.

No
Antibiotika
Potensi
DZI (mm)
Interpretasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kloramfenikol Klindamisin Gentamisin Kanamisin Oksitetrasiklin Penisilin Streptomisin Tetrasiklin Vankomisin
30 μg
  2 μg
10 μg
30 μg
30 μg
10 unit
10 μg
30 μg
30 μg
32
30
30
34
32
45
25
35
21
S
S
S
S
S
S
S
S
S
        Keterangan   :              DZI         = Diameter Zona Inhibisi (Hambatan)
                                  S            = Sensitif
                                     
Berdasarkan hasil uji sensitifitas 9 jenis antibiotika, diperoleh hasil bahwa semua jenis antibiotika yang dicoba pada media MHA (oxoid) terhadap S. aureus tergolong bersifat sensitif, tidak ada yang menghasilkan intermediet maupun resisten. Zona hambat yang dibentuk oleh S. aureus terhadap beberapa antibiotika yang menggambarkan sifat sensitifitas dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa isolat S. aureus yang berasal dari susu kambing Peranakan Ettawa masih sensitif terhadap beberapa antibiotika. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian mastitis pada kambing Peranakan Ettawa masih dapat diobati dengan berbagai antibiotika yang sensitif. Pengobatan terhadap infeksi yang disebabkan oleh S. aureus pada kambing Peranakan Ettawa diduga belum pernah terpapar oleh antibiotika dan dapat direkomendasikan menggunakan antibiotik Penisilin, Tetrasiklin, Kanamisin, Kloramfenikol, Oksitetrasiklin, Gentamisin, Klindamisin, Vankomisin dan Streptomisin.
Tetrasiklin, Gentamisin dan Klindamisin merupakan antibiotik yang mekanisme aksinya mengganggu sintesa protein bakteri. Hambatan biosintesis protein pada sel bersifat sitostatik, karena dapat menghentikan pertumbuhan serta pembelahan sel. Jika sel tersebut dipindahkan ke media bebas antibiotika, maka akan tumbuh kembali setelah antibiotika berkurang dari sel tersebut kecuali Streptomisin yang mempunyai aktivitas bakterisid. Dimana, ia berikatan dengan ribosom 30s dan menyababkan kode mRNA salah dibaca oleh tRNA, sehingga terbentuk protein abnormal dan non fungsional. Sedangkan Kloramfenikol menghambat enzim peptidil trasferase sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida dan proses sintesis protein kuman (Anonimus, 2008).
Penisilin dan Vankomisin merupakan antibiotika yang aksi mekanismenya mengganggu sintesa dinding sel selama pembelahan, dimana antibiotika tidak mengikat PBP (Penicillin Binding Protein), tapi langsung mengikat ujung peptida d-alanyl-d-alanin pada prekursor peptidoglikan sehingga menghambat reaksi transpeptidase, maka terjadi perubahan tekanan osmotis dalam sel bakteri lebih tinggi dari pada di luar sel sehingga terjadi kerusakan dinding sel atau lisis pada sel terutama pada bakteri yang peka (Mutschler, 1991).
Apabila ada isolat S. aureus yang telah resisten dan intermediet terhadap antibiotika, dapat mengindikasikan bahwa beberapa antibiotika apabila diberikan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengobatan antibiotika untuk mengatasi penyakit bakterial, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi kecenderungan resistensi terhadap antibiotika yang diberikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Parakkasi (1983) bahwa, resistensi dapat terjadi karena penggunaan antibiotika yang berlebihan sebagai memperkuat daya tahan tubuh terhadap penularan penyakit, perangsang pertumbuhan serta peningkatan efisiensi penggunaan makanan dalam dunia peternakan.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Suryanie dkk. (1990), menyatakan bahwa kecenderungan resistensi dapat terjadi pada S. aureus sebagai penyebab mastitis pada sapi perah di beberapa wilayah di Jawa Timur yang telah resisten terhadap Penisilin-Sreptomisin, sedangkan Estoepangesti dkk. (2003), menyatakan bahwa Oksitetrasiklin masih sensitif terhadap S. aureus.













 
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
            Berdasarkan uji sensitifitas beberapa antibiotika menunjukkan bahwa S. aureus bersifat sensitif terhadap antibiotika Kloramfenikol, Klindamisin, Gentamisin, Kanamisin, Oksitetrasiklin, Penisilin, Streptomisin, Tetrasiklin dan Vankomisin.

Saran
            Perlu adanya penelitian lanjutan tentang sifat kepekaan S. aureus terhadap beberapa antibiotika yang lain.











21
 
 


 
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Agus, M. (1991). Mastitis study in dairy cattle in Baturraden, Hemerazoa.

Anonimus. (1998). National Committee of Clinical Laboratory Standards (NCCLS): Performance standards for antimicrobial disc susceptibility tests. Approved Standard ASM-2, Villanova. Vol. 14, No. 16.

Anonimus. (2007a). Clyndamycin. http://www.dexa-medica.com. 12 Agustus 2007.

Anonimus. (2007b). Oxytetracyclin. http://www.kalbefarma.com. 6 September 2007.

Anonimus. (2007c). Streptomycin. http://ms.wikipedia.org/wiki/streptomycin. 12 Agustus 2007.

Anonimus. (2008). Antibiotik Kloramfenikol. http://www.mediacastore.com/apo tik_online/antibiotik/kloramfenikol.htm. (16 Juni 2008).

Barkema, H.W., Y.H. Schukken, T.J.G.M. Lam, L.M. Beiboer, H. Wilmink, G. Bonedictus, and A. Brand. (1998). Incidence of Clinical Mastitis in Dairy Herds Grouped in Three Categorie by Bulk Milksomatic Cell Counts. J. Dairy. Sci. 81: 411-419.

Bramley, A.J. (1991). Mastitis: Physiology or Pathology. J. Elem. Vet. 62: 11-13.

Corcoran, J.W. and S.T. Shulman, (1994). Biologi Molekuler Sensitivitas dan Resistensi Terhadap Agen Antimikroba. Dalam: Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Edisi keempat. Shuman, Phair dan Sommers. Diterjemahkan oleh Wahab, A.S. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Dinges, M.M., P.M. Orwin, and P.M. Schlievert. (2002). Enterotoxin of Staphylococcus aureus. J. Clin. Microbiol. 13: 16-34.

Estoepangesti, A.T.S., Prawesthirini dan Budiarto. (2003). Peta resistensi antibiotika kuman penyebab mastitis pada sapi perah di wilayah kerja KUD Dadi Jaya Purwodadi Kabupaten Pasuruan  Propinsi Jawa Timur. MKH. 19: 129-134.

22
 
Fardiaz, S. (1989). Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antara. Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Gaman, P.W. dan K.B. Sherrington. (1992). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisis kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gan, V.H.S. (1981). Antimkroba. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi kedua. Editor Sulistia Gan. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia, Jakarta.

Garrod, L.P., H.P. Lambert and F. O'Grady. (1981). Antibiotics and chemotherapy. 5th ed. Churchill Livingstone. New York.

Han, H.R., S.I. Park, S.W. Kang, W.S. Jong, and C.J. Youn. (2000). Capsular Polysaccharide Typing of Domestic Mastitis-Causing Staphylococcus aureus Strains and Its Potential Exploration of Bovine Mastitis Vaccine Development. I Capsular Polysaccharide Typing, Isolation and Purification of The Strain. J. Vet. Sci. 1: 53-63.

Jawetz, E. (1984). Obat-obat Antimikroba. Dalam Terapi Medik. Edisi keempat belas. David Watts. Diterjemahkan oleh Lukmanto, P. Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

______., J.L. Melnick, and E.A. Adelberg. (2001). Medical Microbiology. 22nd ed. McGraw Hill Companies Inc. USA.

Lutan, R dan F. Wajdi. (2001). Pemakaian Antibiotika Topikal Pada Otitis Media Supuratif Kronik Jinak Aktif. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Mutschler, E. (1991). Dinamika Obat. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi. Edisi Kelima. Penerbit Institut Tekhnologi Bandung, Bandung.

Omoe, K., M. Ishikawa, Y. Shimoda, D.L. Hu, Ueda, and K. Shinagawa. (2002). Detection of Seg, Seh and Sei Genes in Isolates and Determination of Enterotoxin Productivities of Staphylococcus aureus Isolates Harbouring Seg, Seh and Sei Genes. J. Clin. Microbiol. 40: 857-862.

Parakkasi, A. (1983). Ilmu Gizi dan Makanan Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. (1988). Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Purnomo, A., Hartatik, Khusnan, S.I.O. Salasia, dan Soegiyono. (2006). Isolasi dan Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Susu Kambing Peternakan Ettawa. Media Kedokteran Hewan.

Ravel, R. (1978). Clinical Laboratory Medical. Clinical Application of Laboratory Data. 3rd ed. Year Book Medical Publishers, Inc. Chicago.

Santos, V. (2005), The Microbial World. http://www.nml.gov/medlineplus/ drugsinfo/htm. 20 Oktober 2008.

Sartono, K.R. dan Z. Mubarak. (1984). Mikrobiologi Umum. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Darussalam, Banda Aceh.

Schelegel, H.G. dan K. Schmidt. (1994). Mikrobiologi Umum. Edisi keenam. Terjemahan R.M. Tedjo Baskoro. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Schunack, W., K. Mayer, and M. Haake. (1990). Senyawa Obat. Buku Pelajaran Kimia Farmasi. Edisi kedua, Diterjemahkaan oleh Wattimena, J.R. dan S. Soebito. Gadjah  Mada University Press, Yogyakarta.

Setiabudy, R. (1985). Penggunaan kombinasi antimikroba. Majalah Farmakologi Indonesia & Terapi. (4): 125.

Siswadono dan B. Soekardjo. (1995). Kimia Medisinal. Airlangga University Press, Surabaya.

Snow, G.A. (1977). Mechanisms of action of antibiotics. In: Pharmaceutical Microbiology. Hugo, W.B and A.D. Russell (eds). Blackwell Scient Publishing. USA.

Subronto. (2001). Ilmu Penyakit Ternak I. Edisi pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suryanie, H.E., Narumi dan W. Tyasningsih. (1990). Sensitivitas kuman Staphylococcus aureus dari air susu ambing pernah mastitis dan pernah diobati dengan Penicillin-Streptomycine terhadap Penicillin. MHK. 6 : 55-63.

Swartz, R., P.J. Jooste, and J.C. Novello. (1984). Prevelence and Types of Bacteria Associated Subclinical Mastitis in Bloem Fonte in Dairy Herds. J. Vet. Assoc. 51: 61.

Tarigan, J. (1988). Pengantar Mikrobiologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Lembaga Pendidikan, Jakarta.

Todar, K. (2002). Staphylococcus. Bacteriology at UW-Bacteriology 330 Home Page, 1-7.

Triana, N. (2008). Kesehatan. http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian &sec=Kesehatan&rbrk=&id=36164(23-11-2008).

Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1988). Mikrobiologi Dasar. Edisi kelima. Diterjemahkan oleh Adisoemarto, S. Universitas Airlangga, Surabaya. 

Watts, J.L., W.E. Owens, and S.C. Nikerson. (1986). Identification of Staphylococci From Bovine Udders: Evaluation of the API 20GP System. J. Microbiol. 32: 359-361.



















































































Lampiran 2. Zona hambat yang dibentuk oleh Staphylococcus aureus terhadap berbagai antibiotika pada plat agar Müeller-Hinton.


 





























 


28
 
 


Terima kasih telah membaca artikel tentang UJI SENSITIVITAS BEBERAPA ANTIBIOTIKA TERHADAP Staphylococcus aureus YANG DIISOLASI DARI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com