google-site-verification=I3gsFmhNnwraRTClYNy7Zy_HRGb_d1DkfDUi6e1xs34 Gambaran patologi anatomi limpa mencit putih ~ Medik Veteriner Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

Gambaran patologi anatomi limpa mencit putih


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh suatu protozoa darah yang sampai kini masih menjadi masalah kesehatan yang paling serius dan kompleks yang dihadapi umat manusia pada abad ini. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan kematian didunia. Penyakit ini diperkirakan hingga abad mendatang akan tetap merupakan salah satu penyakit yang perlu mendapat perhatian utama di bidang kesehatan (WHO, 1999). Menurut WHO pada tahun 2002, pengidap penyakit malaria di dunia sekitar 490 juta orang dengan tingkat kematian 1 – 2,5 juta orang pertahun, hampir 90% nya tersebar di Afrika, kawasan Amerika Selatan dan Asia (WHO, 2002).
Penyakit malaria di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Wilayah endemis di Indonesia tersebar luas di semua pulau. Terutama Indonesia bagian Timur dan beberapa daerah pesisir Sumatera dengan derajad dan berat infeksi yang bervariasi (Laihad, 2003).
 Dari berbagai penelitian yang sudah pernah dilakukan diketahui bahwa sejumlah senyawa yang memiliki struktur kimia seperti alkaloid, terpenoid, kuinolid, dan fenolik mengandung zat aktif antiprotozoa  yang umumnya senyawa kimia ini dapat diisolasi dari berbagai tumbuhan tingkat tinggi (Harijanto, 2003).
Salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai tumbuhan obat-obatan adalah tanaman Nimba (Azadirachta indica A. Juss). Nimba merupakan tanaman asli Indonesia, dikenal sebagai tanaman obat yang mempunyai aktivitas biologi berspektrum luas. Daun tanaman Nimba telah lama dikenal memiliki banyak manfaat dalam dunia kesehatan antara lain sebagai obat penurun panas (antipiretik), menghilangkan rasa sakit digigit binatang berbisa (analgesik), pembunuh nyamuk (anti insekta) dan mengobati malaria (antimalaria) (Sukrasno, 2001). Pada saat ini ekstrak daun Nimba juga digunakan sebagai anti kanker (Kardinan dan Ruhnayat, 2002).
Beberapa senyawa kimia yang telah berhasil diisolasi dari berbagai bagian Nimba diantaranya berkasiat sebagai obat antimalaria antara lain Nimbin, Nimbolide, Gedulin dan Azadirachtin (Biswas dkk., 2002). Senyawa-senyawa ini mampu menghambat pertumbuhan dan perkembangan Plasmodium falciparum dan berghie pada fase aseksual (Nwafor dkk., 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2001) dengan mengunakan ekstrak etanol biji Nimba   mengunakan dosis 25 mg/kg BB dapat menurunkan derajad parasitemia pada mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei (Sukrasno, 2001). Sedangkan peneliti lain yang menggunakan ekstrak kasar biji Nimba dengan dosis di atas 40 mg/kg BB pada mencit dapat menyebabkan keracunan yang disertai dengan kematian (Dasrul dkk., 2008).
Plasmodium berghei adalah suatu haemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia. Penelitian aspek parasitologi, kemoterapi dan imunologi atau pengembangan vaksin penyakit malaria banyak menggunakan Plasmodium berghei pada rodensia sebagai model, rodensia merupakan hewan percobaan yang mudah ditangani, banyak keturunan dan mudah dalam pemeliharaan.
Hal ini diperkuat dengan adanya analisa molekuler yang menemukan persamaan antara Plasmodium berghei pada rodensia tersebut dengan Plasmodium falciparum (Perkins, 1989).
Sediaan fitofarmaka adalah suatu sediaan yang telah terbukti keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri atas simplisia atau sediaan galenik yang telah memiliki persyaratan yang berlaku. Sediaan fitofarmaka yang dibuat harus memiliki kriteria kualitas, aman, dan berkhasiat secara farmakologis (Sukrasno, 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran patologi anatomi dan histopatologi limpa setelah pemberian terapi ekstrak etanol kulit batang Nimba (Azadirachta indica A. Juss) pada mencit putih (Mus musculus) yang diinokulasikan Plasmodium berghei.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah tentang gambaran patologi anatomi dan histopatologi limpa  mencit putih (Mus musculus) yang telah diinokulasikan Plasmodium berghei dengan menggunakan ekstrak etanol kulit batang Nimba. Selain itu juga diharapkan dapat menjadi landasan untuk penggunaan ekstrak kulit batang Nimba sebagai kandidat obat anti malaria dimasa mendatang.





TINJAUAN PUSTAKA
Nimba (Azadirachta indica A. Juss)
            Nimba mempunyai nama ilmiahnya Azadirachta indica termasuk ke dalam kelompok Maliaceae, ordo Rutales, subordo Rutinae, famili Maliaceae, sub famili melioideae, genus Azadirachta dan spesies indica. Tanaman ini mempunyai nama yang berbeda-beda, di Inggris tanaman Nimba dikenal dengan nama Neem, di Jawa tanaman Nimba dikenal dengan nama Nimbau, di Bali dikenal dengan nama Intaran, sedangkan di daerah Aceh tanaman Nimba dikenal dengan nama Bak Bheu (Kardinan dan Ruhnayat, 2002).
Nimba merupakan tanaman asli Indonesia, dikenal sebagai tanaman obat yang mempunyai aktivitas biologi berspektrum luas. Tanaman Nimba sudah lama dikenal dan digunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat, diantaranya sebagai obat yang berkhasiat untuk penurun panas (antipiretik), menghilangkan rasa sakit digigit serangga (analgesik), anti pungal, membunuh nyamuk, antiinflamasi, antiparasit,  anti insekta dan larvasida (Biswas dkk., 2002). Di beberapa daerah India dan China, tanaman Nimba sering digunakan sebagai tonik dan mengobati gangguan pada saluran pencernaan. Akhir-akhir ini ekstrak daun Nimba juga digunakan sebagai obat anti-malaria dan antikanker (Khosia, dkk., 2000). 
Tanaman Nimba dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 30 meter, dengan diameter batang 2 – 5 meter. Akar Nimba dapat mencapai 2 kali tinggi pohon, tumbuh lebih baik dari pada tumbuhan lain di daerah tandus, berbatu, tidak subur dengan tanah permukaan dangkal dan sedikit asam. Akan tetapi tidak tahan terendam air (Sukrasno, 2001). Di indonesia tanaman Nimba banyak tumbuh di pulau Jawa bagian utara, pulau Bali, pulau Lombok dan beberapa wilayah di pulau Sumatera (Sukrasno, 2001). Perkembangbiakannya dapat dilakukan secara seksual atau vegetatif. Dapat ditanam menggunakan biji, kecambah, pohon muda, tunas akar atau kultur jaringan (Kardinan dan Ruhnayat, 2002).
Dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu bahwa ekstrak kasar daun, kulit batang dan biji Nimba dilaporkan efektif dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan stadium seksual dan aseksual Plasmodium falciparum yang sensitif dan resisten terhadap klorokuin (Khosia dkk., 2000). Pemberian 25 µg/ml ekstrak kasar biji Nimba efektif dalam menurunkan derajad parasit Plasmodium  falciparum secara in vitro dan pemberian 50 µg/ml ekstrak kasar biji Nimba dapat menurunkan secara optimal jumlah haemozoin parasit Plasmodium falciparum (Anonimus, 2001).

Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh suatu protozoa darah yang termasuk dalam phyllum Apicomplexa, kelas Sporozoa sub kelas Coccidiidae, Ordo Eucoccidides, sub-Ordo Haemosporidiidae, famili Plasmodiidae, genus Plasmodium (Harijanto, 2000). Ada 4 spesies parasit penyebab malaria pada manusia yaitu; Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malare dan Plasmodium ovale (Anonimus, 2001).

 Siklus hidup semua spesies parasit penyebab malaria pada manusia hampir sama, yaitu mengalami stadium-stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia dan kembali ke nyamuk. Plasmodium  falciparum mengalami dua siklus hidup yaitu siklus seksual (sporogony) yang berlangsung pada nyamuk Anopheles betina, dan siklus aseksual (schizogony) yang berlangsung pada manusia. Siklus hidup aseksual dimulai ketika nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi Plasmodium menggigit manusia dan menghisap darah manusia (Harijanto, 2000).
 Sporozoit yang sudah matang dalam kelenjer ludah nyamuk akan masuk ke peredaran darah manusia dan dalam waktu kurang lebih 30 menit akan masuk dalam sel parenkim. Di dalam sel parenkim sporozoit akan mengadakan multiplikasi aseksual membentuk skizon yang di dalamnya berisi merozoit. Pecahnya skizon ini akan melepaskan ribuan merozoit ke dalam aliran darah. Siklus ini disebut siklus pre-erythrocytic (Ex0-erythrocytic) schizogony (Harijanto, 2000 dan Tambajong, 2000).
 Setelah masuk kedalam eritrosit, merozoit kemudian akan menyerang eritrosit. Di dalam eritrosit ini merozoit akan berubah menjadi trophozoit yang kemudian akan berkembang menjadi skizon. Setelah skizon matang, skizon dalam darah ini akan pecah dan melepaskan merozoit-merozoit ke dalam aliran darah yang kemudian akan menyerang eritrosit baru. Siklus ini disebut siklus Erythrocytic Schizogony, yang akan berulang terus sekitar 48 jam pada infeksi Plasmodium.
Siklus inilah yang menyebabkan gejala dari malaria yang bervariasi dari gejala ringan sampai berat. Beberapa merozoit yang memasuki eritrosit akan mengadakan differensiasi seksual dan berkembang menjadi gametosit jantan dan betina, yang merupakan bentuk infektif bagi vektor nyamuk Anopheles (Anonimus, 2001).

Plasmodium Berghei
Plasmudium berghei merupakan suatu haemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil yang dibawa oleh nyamuk Anopheles stephensi. Plasmodium berghei pertama kali terisolasi dari darah yang tertular pada  tikus di Katanga (sekarang Zaire) Afrika oleh IH Vinke di tahun 1948 (Benediktus, 1997). Penelitian mengenai imunologi dan obat malaria banyak menggunakan Plasmodium berghei yang menggunakan mencit sebagai induk semangnya.
Plasmodium berghei dapat menyebabkan malaria berat pada mencit sehingga menyebabkan kematian jika tidak diberi pengobatan yang cepat. Secara laboratorik parasit ini sering menyerang lebih dari 5% eritrosit dan banyak dijumpai eritrosit yang mengandung lebih dari satu parasit, di samping itu juga banyak dijumpai skizon dalam peredaran darah tepi. Karena banyaknya eritrosit yang terserang maka banyak pula eritrosit yang pecah atau hilang pada saat pecahnya skizon dalam peredaran darah tepi (Tuft dkk., 1991).


Program pemberantasan malaria selain dengan memberantas vektornya, juga dilakukan pengobatan dengan menggunakan obat-obat anti malaria baik secara klinis maupun secara radikal. Pada umumnya obat anti malaria bekerja melalui mekanisme menghancurkan sintesa nucleoprotein dengan cara berikatan dengan DNA, menghambat metabolisme folat yaitu dengan cara menghambat dihydrofolatreductase  (Harijanto, 2000).

Obat-Obat Anti Malaria
Klorokuin merupakan salah satu obat anti malaria kelompok 4-amino kuinolin yang bersifat blood schizonticide untuk semua jenis Plasmodium manusia. Mekanisme kerja klorokuin adalah menghambat DNA dan RNA polimerase menghambat polimerisasi haeme yang akan menyebabkan lisis Plasmodium, atau mengikat cincin ferriprotoporfirin IX didalam tubuh parasit (Lombardini, 2003). Banyak laporan menunjukan bahwa gejala klinis serangan akut malaria akan menghilang dalam 24 – 48 jam setelah pengobatan dengan klorokuin, dan Plasmodium umumnya tidak ditemukan lagi di dalam hapusan darah tepi setelah 48 – 72 jam (Harijanto, 2000).
 Untuk terapi supresi umumnya  diberikan klorokuin difosfat 0,5 – 1 gr sekali seminggu sebelum pergi ke daerah endemik dan diteruskan 6 minggu setelah meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan pada serangan klinik diberi dosis awal 1 gr diikuti dengan 0,5 gr setelah 6 jam hingga 2 hari berikutnya.
Untuk kasus Chloroquine resistent Plasmodium falciparum, terapi supresi dapat ditambah dengan obat anti malaria lain seperti obat anti malaria yang menghambat metabolisme folat (Bray dkk., 1995).
Namun akhir-akhir ini dilaporkan dibeberapa daerah endemis malaria penggunaan klorokuin kurang memberikan hasil yang maksimal, karena parasit Plasmodium falciparum penyebab malaria sudah resistensi terhadap klorokuin (Harijanto, 2000 dan Anonimus, 2001), sehingga pemberantasan malaria menjadi semakin sulit. Hasil penelitian Eijkman hampir 100% parasit malaria di Indonesia telah mengalami mutasi gen dan kebal terhadap klorokuin  dan antara 30 – 100% kebal terhadap sulfadoxin-premitamin (Lee, 2002). Resistensi parasit terhadap klorokuin ini terjadi karena tempat ikatan klorokuin pada eritrosit berkurang sehingga parasit dalam eritrosit tidak dapat dibunuh, terjadinya mutasi dari mutagen sehingga resistensi cepat terjadi (Harijanto, 2000).
Obat lain yang direkomendasi WHO untuk pengobatan malaria adalah Artemisinin. Artemisinin termasuk dalam kelompok senyawa seskuiterpen lakton, bukan alkaloid atau amina yang berasal dari tanaman Artemisia annue (Bray dkk., 1995). Obat Artemisinin diketahui bekerja secara spesifik selama tahap darah ini schizontoside. Karakteristik Artemisinin cepat menghilangkan parasit dalam tubuh yaitu sekitar 48 jam. Pemberian oral pada manusia diabsorpsi secara cepat tetapi tidak sempurna dengan rata-rata waktu absorpsi 0,78 jam. Konsentrasi puncak di dalam plasma dicapai setelah pemberian oral 1 – 2 jam dari dieliminasi dan tubuh setelah 3 jam (Schwikkard, dan Van Heeder, 2002).
 Artemisinin dimetabolisme di hati dan limpa, mempunyai waktu paruh       4 jam, tidak toksik terhadap manusia meskipun pada rodensia terjadi neurotoksik. Mekanisme kerja Artemisinin yang telah diketahui berkaitan dengan struktur endoperoksida yang berikatan dengan Fe2+-heme, akan menghasilkan radikal bebas yang memodifikasi dan menghambat molekul-molekul parasit yang mengakibatkan kematian parasit (Schwikkard, dan Van Heeder, 2002).             Obat artemisinin sering dikombinasikan dengan obat lain dan dikenal dengan nama Artemisinin based Combination Therapy (ACT) (Tarigan, 2007).

Anatomi dan Histofisiologi Limpa
Limpa merupakan kelenjar tanpa saluran yang berhubungan erat dengan sistem sirkulasi (Anonimus, 2005). Limpa mempunyai dua fungsi yaitu membentuk respon imun melawan antigen yang berada di dalam darah dan membuang bahan partikel dan sel darah yang sudah tua atau rusak, terutama eritrosit dari sirkulasi (Burkitt dkk., 1993).
   Ukuran dan berat limpa normal tergantung pada kandungan darah di dalamnya. Limpa salah satu organ limfoid terbesar, menerima suplai darah dalam jumlah banyak melalui arteri dan mengalami drainase melalui vena lienalis, yang berlanjut ke dalam sistem portal hati (Burkitt dkk., 1993). Struktur limpa dibungkus oleh kapsula yang terdiri atas jaringan ikat padat yang terkadang membentuk trabekula untuk membagi parenkim atau pulpa limpa menjadi ruang-ruang bersekat, pada permukaan medial limpa terdapat hillus (Junqueira dan Carneiro, 1982).
Sistim sirkulasi darah pada limpa memiliki implikasi fungsional penting, terutama dengan memperlihatkan rangsangan antigen dan ekstraksi hemoglobin serta zat besi (Hartono, 1989). Limpa menghasilkan limfosit B dan T, serta makrofag yang sangat penting dalam pertahanan tubuh. Limfosit T yang ditemukan dalam pulpa putih berpoliferasi dan masuk ke aliran darah. Limfosit T berperan dalam mekanisme kekebalan yang diperantarai sel (Binns, 1982).    

Perubahan Histopatologi Limpa Akibat Malaria
Pada sediaan histologis, limpa terdiri dari banyak sel darah merah dan sel darah putih yang menyerupai kelenjar limfe. Jaringan penyambung kapsula dan trabekula limpa mengandung sedikit sel-sel otot polos. Namun pada mamalia tertentu  seperti kuda, kucing dan anjing terdapat sel-sel otot polos yang banyak, sehingga kontraksinya dapat menyebabkan pengeluaran darah yang tersimpan dalam limpa dalam jumlah banyak, sedangkan struktur limpa yang seperti spons berperan sebagai penyimpan sel-sel darah merah (Junqueira dan Carneiro., 1982).
 Pembesaran limpa adalah salah satu dari tiga tanda karakteristik utama dari infeksi malaria (Harijanto, 2000). Limpa memainkan  suatu peran penting dalam mengeluarkan eritrosit berparasit dan mungkin aktif dalam mendestruksi eritrosit dalam suatu cara nonspesifik karena pengaktifan makrofag selama fase akut dari infeksi malaria (Ressang, 1984). Pada bentuk malaria  kronik dan ditemukan sindrom splenomegali tropik (Harijanto, 2000 dan Tambajong, 2000).

   Splenomegali sering ditemukan pada kasus malaria akut dan kronis dan merupakan satu tanda karakteristik dari malaria. Splenomegali dapat dideteksi dalam 1 minggu dari mulainya gejala klinis. Selama stadium akut pembesaran biasanya sedang, tetapi pada malaria kronik limpa dapat membesar sampai lebih dari 20 kali ukuran normalnya. Splenomegali merupakan suatu gambaran reguler pada malaria kronik dan prevalensinya dalam skala masyarakat berhubungan dengan intensitas kontak inang parasit, makanya splenomegali sudah digunakan sebagai suatu indikator epidemiologi (splenometri). Pada daerah stabil malaria dan transmisi intensif, frekuensi dan derajad splenomegali tertinggi pada usia 3 sampai 8 tahun (Harijanto, 2000).
Trombosis pada pembuluh darah, pembentukan infark dan foki lokal,  serta nekrosis toksik terjadi pada pulpa limpa. Pada malarai falciparum akut, kadang-kadang ada proliferasi limfoid noduler atau difus pada lapisan subendotel vena trabekel, ini menyebabkan infark limpa. Jaringan limpa tidak terbentuk pada infeksi akut, tetapi sangat bertambah pada malaria kronis. Limpa membesar, keras, dan kehilangan bentuk bulan sabitnya (Harijanto, 2000).







MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
            Pemeliharaan dan perlakuan pada mencit dilakukan dikandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Prosesing pembuatan ekstrak dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA dan pembuatan serta pengamatan terhadap jaringan dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, pada bulan Juni sampai Desember 2008.

Sampel Penelitian
            Penelitian ini menggunakan 30 ekor mencit putih jantan (Mus musculus) galur BALB/C dengan berat badan 20 – 30 gram yang berusia 10 – 12 minggu, belum mengalami perlakuan apapun, tidak menderita penyakit (bergerak aktif, bulu tidak mudah rontok).

Alat-Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat :
Peralatan yang digunakan untuk ekstraksi kulit batang Nimba adalah; Seperangkat ekstraktor soxhlet padat cair dengan labu destilasi                 (Heidolph 2, Germany), Water bath (Memmerf), Lumpang besi, Neraca analitik (Elektronik balance, Chyo), Rotary evaporator (Laborota 4002-control, Japan) Tabung erlenmeyer 100 ml, Termometer, Tabung reaksi steril, Vortex, Water pump, Penguap putar (Vacum rotapator), Buchi, Mikroskop biokuler                    (Olympus CX21, Japan), Objek glass, Spuit insulin, Pipet tetes, Sonde lambung. Sedangkan alat yang digunakan dalam pembuatan preparat histologis yaitu Timbangan digital, Botol spesimen, Peralatan bedah, Kamera digital, Kertas karton, Objek glass, Cover glass, Water bath, Mikrotom rotari, Mikroskop cahaya dan Foto mikroskop.

Bahan-Bahan:
-          Hewan coba mencit putih (Mus musculus) galur BALB/C berjenis kelamin jantan umur 10 – 12 minggu, dengan berat badan 20 – 30 gram.
-          Bahan kimia untuk pembuatan ekstraksi yaitu kulit batang Nimba, Etanol 70% (Merck), amonia, asam klorida, Aquabidest steril.
-          Bahan yang digunakan untuk proses mikroteknik jaringan digunakan formalin 10% (BNF), aseton, xylol, alkohol, parafin block, sedangkan untuk pewarnaan digunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), dan balsem kanada untuk mounting.

Metode Penelitian
1. Pembuatan ekstrak kulit batang Nimba
            Kulit batang Nimba diambil dari bagian batang daun tanaman Nimba yang berumur lebih dari 5 tahun. Kulit batang yang didapat dipotong-potong ukuruan   1 – 2 cm kemudian dikeringkan dengan cara dianginkan selama beberapa hari. Selanjutnya sebanyak 100 gram kulit batang Nimba kering dimasukan kedalam lumpang besi lalu di tumbuk sampai menjadi serbuk kasar. Selanjutnya sebanyak ±100 gram serbuk kasar kulit batang Nimba tersebut dibungkus dengan kertas saring dan dimasukan kedalam perkolator yang terbuat dari gelas untuk diektraksi. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 70% pada suhu              40 – 600 C, dengan cara mengalirkan secara berulang-ulang sampai warna larutan menjadi jernih homogen. Selanjutnya ekstrak sari yang diperoleh diuapkan (dikentalkan) dengan menggunakan rotary evaporator berpompa vakum dengan suhu 40 oC hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak etanol kulit batang Nimba yang didapat berbentuk pasta kemudian dimasukan kedalam erlenmeyer dan dialiri gas nitrogen sampai terbentuk serbuk kering. Selanjutnya ditimbang dan dikemas dalam botol untuk penggunaan penelitian.

2.  Inokulasi plasmodium berghie dan pemberian ekstrak etanol kulit batang Nimba pada mencit.
Penelitian ini menggunakan 30 ekor mencit galur BALB/C berjenis kelamin jantan umur 10 – 12 minggu, dengan berat badan 20 – 30 gram. Mencit-mencit tersebut  diinokulasi secara intraperitonial (i.p) dengan Plasmodium berghei galur ANKA yang diperoleh dari darah mencit donor (UGM-Yogyakarta) dengan konsentrasi 10% dalam 0,2 ml darah. Kemudian mencit-mencit tersebut diinkubasikan selama 4 – 5 hari. Selama inkubasi dilakukan pengamatan parasitemia dengan cara membuat preparat apus dari darah ekor. Setelah derajad parasitemianya mencapai 10 – 20% berarti telah timbul gejala klinik malaria tersebut dan ini merupakan awal pemberian perlakuan.

Selanjutnya mencit-mencit yang sudah terinfeksi tersebut dibagi secara acak dalam 6 kelompok perlakuan (K0; K1; K2; K3; K4 dan K5) masing-masing           5 ekor sebagai ulangan. Kelompok kontrol mencit tanpa perlakuan                   (K0); Kelompok pertama sebagai Kontrol negatif; Mencit diinfeksi Plasmodium berghie dengan konsentrasi 10%  tanpa diberi terapi (K1); Kelompok kedua sebagai kontrol positif;  mencit diinfeksi Plasmodium berghie dengan konsentrasi 10% dan mendapat terapi klorokuin dengan dosis 5 mg/kg BB (K2); Kelompok ketiga mencit diinfeksi Plasmodium berghie dengan konsentrasi 10% dan mendapat terapi ekstrak etanol kulit batang Nimba dengan dosis 5 mg/kg BB                  (K3); kelompok keempat mencit diinfeksi Plasmodium berghie dengan konsentrasi 10% dan mendapat terapi ekstrak etanol kulit batang Nimba dengan dosis 10 mg/kgBB (K4); kelompok kelima mencit diinfeksi Plasmodium berghie dengan konsentrasi 10% dan mendapat terapi ekstrak etanol kulit batang Nimba dengan dosis 20 mg/kgBB (K5). Pemberian ekstrak etanol kulit batang Nimba dilakukan secara oral dengan menggunakan sonde lambung masing-masing dengan volume 0,5 ml, setiap hari selama 5 hari.

3. Pengambilan organ limpa dan pembuatan preparat histologis.
            Sebelum dilakukan pembedahan, mencit di eutanasi dengan menggunakan klorofom. Skalpel dan alat bedah disiapkan untuk membantu mengambil organ limpa. Setelah mati, mencit diletakkan pada papan bedah dan ditata pada posisi Ventral recumbensi (melintang), disayat pada bagian perut dan tarik ke arah cranial lalu keluarkan usus untuk melihat orgat limpa.
Parameter yang  diamati adalah pengurangan pembengkakan, warna dan konsistensi. Setiap perubahan patologi anatomi organ limpa yang terlihat di dokumentasikan menjadi foto.
            Sedangkan untuk melihat perubahan limpa secara mikroskopis dilakukan dengan cara pembuatan preparat histologis limpa,  diawali dengan fiksasi dengan Buffer Neutral Formalin (BNF), dehidrasi menggunakan aseton, kliring dalam  xylol dan embeding dalam parafin block. Selanjutnya sediaan dipotong dengan menggunakan mikrotom rotari dengan ketebalan 6m, kemudian diwarnai dengan Hematoksilin dan Eosin (HE), mounting menggunakan balsem kanada, ditutup dengan kaca penutup lalu diamati di bawah mikroskop. Parameter yang diamati meliputi kongesti, nekrosis, pigmen haemozoin, eritrosit dalam pulpa limpa. Setiap perubahan histologis organ limpa yang terlihat lalu difoto dengan mikroskop.

Analisis Data Penelitian
            Hasil pengamatan terhadap perubahan patologi anatomi dan histopatologi limpa mencit di tabulasikan, selanjutnya dianalisis secara Deskriptif.








HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Patologi Anatomi

            Gambaran  patologi anatomi limpa mencit putih (Mus musculus) yang terinfeksi Plasmodium berghei dan memperoleh terapi ekstrak etanol kulit batang  Nimba maupun terapi klorokuin dengan berbagai dosis secara oral tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Patologi anatomi limpa mencit putih (Mus musculus) akibat berbagai
                pemberian ekstrak etanol kulit batang  Nimba maupun klorokuin.

  Ulangan
Perubahan Patologi Anatomi
Dosis Perlakuan


K0 (kontrol)
K 1
(kontrol-)
K2
(kontrol+)
K 3
(5 mg/kg BB)
K 4
(10 mg/Kg BB)
K 5
(20 mg/Kg BB)
I
- Warna

- Bentuk
-Kosistensi
-Merah

-Normal
-Kenyal
-hitam

-Bengkak
-Lunak
-Merah

-Bengkak
-Kenyal
-Merah   Kecoklatan
-Bengkak
-Lunak
-Merah
 Kehitaman
-Normal
-Lunak
-Merah

-Normal
-Kenyal
II
- Warna

- Bentuk
-Kosistensi
-Merah

-Normal
-Kenyal
-Hitam

-Bengkak
-Lunak
-Merah   kehitaman
-Bengkak
-Lunak
-Hitam

-Bengkak
-Lunak
-Merah Kecoklatan
-Normal
-Lunak
-Merah kehitaman
-Normal
-Kenyal
III
- Warna

- Bentuk
-Kosistensi
-Merah

-Normal
-Kenyal
-Hitam

-Bengkak
-Lunak
-Merah             

-Normal
-Kenyal
-Merah
Kecoklatan
-Bengkak
-Lunak
-Merah Kehitaman
-Bengkak
-Lunak
-Merah

-Normal
-Kenyal
IV
- Warna

- Bentuk
-Kosistensi
-Merah

-Normal
-Kenyal
-Hitam

-Bengkak
- Lunak
Merah tua

-Normal
-Kenyal
-Merah Kehitaman
-Bengkak
-Lunak
-Merah Kecoklatan
-Bengkak
-Lunak
-Merah
  tua
-Normal
- Kenyal
V
- Warna

- Bentuk
-Kosistensi
-Merah

-Normal
-Kenyal
-Hitam

-Bengkak
- Lunak
-Merah

-Normal
-Kenyal
- Merah Kecoklatan
-Bengkak
-Lunak
-Merah
 
-Normal
- Kenyal
-Merah

-Normal
- Kenyal






Pada kelompok K0 menunjukkan gambaran makroskopis limpa dalam keadaan normal yaitu tidak ditemukannya pembengkakan dan perubahan warna pada limpa umumnya limpa berwarna merah, seperti di perlihatkan pada     Gambar 1.
Gambar 1. Gambaran makroskopis limpa mencit tanpa perlakuan (K0) dengan
kondisi normal tanpa pembengkakan dan perubahan warna.

Pada kelompok K1 mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei tanpa terapi memperlihatkan pembengkakan limpa, berwarna hitam, dan konsistensinya lunak, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Gambaran makroskopis limpa mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei tanpa terapi memperlihatkan pembengkakan dan perubahan warna menjadi hitam serta kosistensinya lunak.

Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Byuti (2004) bahwa perubahan makroskopis yang terjadi akibat infeksi malaria adalah terjadinya peradangan pada limpa. Pada malaria falciparum, limpa membesar, tegang dan  berwarna coklat sampai hitam (Marcial, 1990). Pembengkakan ini disebabkan karena terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagosisitosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis (Mashaal, 1986).
Pada kelompok K2 terlihat adanya perubahan kearah penyembuhan pada limpa seperti warna menjadi merah dan tidak terjadinya pembengkakan, dan konsistensinya kenyal, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Gambaran makroskopis limpa mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi klorokuin dengan dosis 5 mg/kg BB. memperlihatkan ke arah penyembuhan seperti berkurangnya pembengkakan,  warna merah sedikit kecoklatan serta kosistensinya kenyal.

Hal ini disebabkan karena  klorokuin merupakan obat anti malaria yang efektif terhadap Plasmodiun sp terutama Plasmodium berghei, tidak menyebabkan hipoglikemi (Bruce, 1980). Dimana klorokuin menghambat DNA dan RNA polimerase dan polimerisasi heme yang akan menyebabkan lisisnya Plasmodium (Lombardini, 2003).


Pada kelompok perlakuan K3, mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi dengan dosis 5 mg/kg BB ekstrak etanol kulit batang Nimba pada semua ulangan masih memperlihatkan pembengkakan pada limpa dan konsistensinya lunak, tetapi perubahan warna mulai tampak menjadi merah kecoklatan, seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Gambaran makroskopis limpa mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi 5 mg/kg BB ekstrak etanol kulit batang Nimba memperlihatkan pembengkakan dengan warna menjadi merah kecoklatan serta kosistensinya lunak.


Pada kelompok perlakuan K4, mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi dengan dosis 10 mg/kg BB ekstrak etanol kulit batang Nimba memperlihatkan bentuk limpa mulai normal, warna merah kecoklatan, namun kosistensinya masih lunak. Bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan K3, pada kelompok perlakuan K4 ini tingkat penyembuhannya lebih baik, tetapi masih belum memberikan hasil yang maksimal bila dibandingkan dengan pemberian 5 mg/kg BB klorokuin, seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Gambaran makroskopis limpa mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi 10 mg/kg BB ekstrak etanol kulit batang Nimba memperlihatkan bentuk limpa yang mulai normal  dengan warna merah kecoklatan dan kosistensinya lunak.

Pada kelompok perlakuan K5, mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi dengan dosis 20 mg/kg BB ekstrak etanol kulit batang Nimba memperlihatkan bentuk dan konsistensinya kembali normal, namun pada warna  masih ada sedikit perubahan, seperti yang terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Gambaran makroskopis limpa mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi 20 mg/kg BB ekstrak ethanol kulit batang Nimba memperlihatkan bentuk normal dengan warna merah  dan kosistensinya kenyal.


Hasil tersebut terlihat bahwa pemberian 20 mg/kg BB ekstrak etanol kulit batang Nimba memiliki efektivitas yang sama dengan pemberian 5 mg/kg BB klorokuin sebagai obat antimalaria. Tetapi sekarang ini penggunaan klorokuin sudah jarang dipakai, sebab seperti yang dilaporkan dibeberapa daerah endemis malaria bahwa penggunaan klorokuin kurang memberikan hasil yang maksimal, hal ini disebabkan karena parasit Plasmodium falciparum penyebab malaria pada manusia sudah resistensi terhadap klorokuin (Harijanto, 2000).
Hasil pengamatan makroskopis ini memperkuat laporan Noeraini (2004) bahwa pemberian 25 µg/ml ekstrak kasar biji Nimba efektif dalam menurunkan derajad parasit Plasmodium sp terutama Plasmodium berghei secara in vitro dan pemberian 50 µg/ml ekstrak kasar biji Nimba dapat menurunkan secara optimal jumlah haemozoin parasit Plasmodium falciparum.

Gambaran Histopatologi
Gambaran histopatologi limpa mencit yang mendapat perlakuan dengan pemberian berbagai dosis ekstrak ethanol kulit batang Nimba (Azadhiracta indica A. Juss)  maupun klorokuin terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan histopatologi limpa mencit akibat pemberian berbagai
dosis ekstrak etanol kulit batang Nimba (Azadhiracta indica A. Juss) maupun    klorokuin.

Gambaran histopatologi limpa mencit
Mencit tanpa perlakuan
Plasmodium berghei tanpa terapi
Pemberian klorokuin (5 mg/kg BB)

Pemberian ekstrak etanol kulit batang Nimba (mg per ekor)
K0
K1
K2
K3
K4
K5
Pigmen
-
+++
+
++
+
-
Kongesti
-
+++
+
+
+
+
Nekrosis
-
+++
+
+++
++
-
Eritrosit
-
++++
-
++
+
-




Keterangan :
              -         =  Tidak ada gambaran histopatologi
 +        =  Gambaran histopatologi ringan
             ++       =  Gambaran histopatologi sedang
+++     =  Gambaran histopatologi lebih berat
++++   =  Gambaran histopatologi sangat berat

Pada Tabel 2 terlihat bahwa pada kelompok K0, menunjukan gambaran histopatologis limpa normal dimana struktur inti sel terletak ditengah, tidak terjadinya nekrosis, kongesti, meningkatnya pigmen haemozoin, dan serta eritrosit pada pulpa limpa, yang diperlihatkan seperti pada Gambar 7.
a

Gambar 7. Gambaran mikrofag histopatologi limpa mencit pada kelompok perlakuan K0 (tanpa perlakuan)
Keterangan: a. Inti sel terletak ditengah (400X, HE).


Pada kelompok perlakuan K1 (Plasmodium berghei tanpa terapi), gambaran histopatologis limpa menunjukkan adanya peningkatan pigmen haemozoin, kongesti, serta nekrosis pada tingkat kerusakan yang lebih berat (+++), sedangkan peningkatan ertrosit dalam pulpa terjadi pada tingkat kerusakan yang sangat berat (++++). Hal ini disebabkan oleh infeksi dari Plasmodium berghei, yang diperlihatkan seperti pada Gambar 8.
ba


 Pada kelompok K2, terlihat gambaran histopatologi limpa kearah penyembuhan dimana perubahan yang terjadi seperti kongesti pada tingkat kerusakan yang ringan (+), pigmen haemozoin, nekrosis, dan eritrosit pada tingkatan sedang (+), yang terlihat seperti pada Gambar 9.
ba
Gambar 9. Gambaran mikrofag histopatologi limpa mencit pada kelompok     perlakuan K2, mencit diinokulasi Plasmodium berghei dan mendapat  terapi klorokuin dengan dosis 5 mg/kg BB.
Keterangan: a. Kongesti, b. Pigmen haemozoin, c. Nekrosis (400X, HE).

Sedangkan pada kelompok K3, mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi 5 mg/kg BB ekstrak kulit batang Nimba, limpa terlihat kerusakan yang masih tinggi, dimana masih terjadinya nekrosis pada tingkat lebih berat (+++), walaupun pigmen haemozoin, dan eritrositnya sudah menurun (tingkat kerusakannya sedang), yang diperlihatkan seperti pada    Gambar 10.

Pada kelompok K4, mencit yang diinokulasikan Plasmodium berghei dan mendapat terapi ekstrak kulit batang Nimba  dengan dosis 10 mg/kg BB memperlihat perubahan histolpatologi limpa seperti nekrosi, kongesti, adanya pigmen haemozoin serta eritrosit pada pulpa limpa dalam tingkatan ringan (+), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 11.
ba


 Pada kelompok K5 perubahan gambaran mikroskopis yang terjadi seperti nekrosis, dan pigmen haemozoin sudah hilang, namun masih ada sedikit peningkatan eritrosit dan kongesti dalam pulpa merah. Hal ini disebabkan oleh pemberian terapi ekstrak etanol kulit batang Nimba dengan dosis yang lebih tinggi dari kelompok perlakuan K3 dan K4, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 12.
a
Gambar 12. Gambaran mikrofag histopatologi limpa mencit pada kelompok       perlakuan K4, mencit diinokulasi Plasmodium berghei dan mendapat  terapi ekstrak etanol kulit batang Nimba dengan dosis 20 mg/kg BB.
Keterangan: a. Eritrosit (400X, HE).
            Derajad pigmentasi malaria berbeda-beda menurut lama penyakit, pulpa berwarna coklat sampai abu-abu atau hitam legam. Diantara sekat-sekat limpa, pulpa, pembuluh darah dan kapiler terdapat banyak haemozoin, terjadinya  kongesti, sehingga batas-batas pulpa merah dan sinus tidak jelas. Sel-sel retikulum pulpa merah dan sel litorial sinus membesar (Killer, 1990). Nekrosis pada sel-sel limpa terjadi karena terhambatnya suplai aliran darah, tingkah laku  sel berubah, terjadinya pembengkakan, serta diikuti kematian jaringan (Maigraith, 1969).
            Menurut Runnels dkk (1960) nekrosis ditandai dengan inti sel yang mati akan menyusut, batasnya tidak teratur dan warna gelap, proses ini dinamakan dengan piknosis. Kemungkinan lain inti sel dapat pecah dan meninggalkan pecahan-pecahan kromatin yang tersebar didalam sitoplasma sel. Dalam waktu yang lama keadaan ini dapat menyebabkan kariolisis atau inti sel yang mati kehilangan kemampuan untuk diwarnai atau menghilang begitu saja (Himawan, 1973).
            Pada pemberian ekstrak etanol kulit batang Nimba, terjadinya pengurangan kerusakan pada sel-sel hati dan limpa yang diinokulasikan Plasmodium berghei disebabkan karena kandungan senyawa aktif yang terdapat pada kulit batang Nimba telah menghambat pertumbuhan dan perkembangan stadium aseksual Plasmodium beghei, dimana setelah infeksi  sel-sel hati dan limpa mulai beregenerasi kembali. Limpa memiliki kapasitas yang besar sekali untuk melakukan regenerasi bila ada bagian-bagian yang rusak dan regenerasi berhenti apabila telah tercapai massa sel yang tepat (Sodeman, 1995).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
            Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol kulit batang  Nimba (Azadirachta indica A. Juss) dengan dosis 20 mg/kg BB pada mencit (Mus musculus) yang diinokulasikan Plasmodium berghei dapat mengurangi pembengkakan, warna, kosistensi, nekrosis, pigmen haemozoin, kongesti, dan penurunan eritrosit  pada  limpa.

Saran
            Disarankan untuk uji toksisitas terhadap ekstrak etanol kulit batang Nimba (Azadirachta indica A. Juss), sehingga gambaran toksisitas ekstrak etanol kulit batang Nimba (Azadirachta indica A. Juss) dapat diketahui.












DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. (2001). Parasite and Heat: Malaria Identification and Diagnosis of Parasite of Public Health Concern. DPDx. http://www.dpd.cdc. ov/dpdx/HTML/Malaria.htm.
Anonimus. (2005). Sistem Limfatik (Lymphatic System). Diktat Ajar Histologi dan Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Darussalam, Banda Aceh.
Benediktus. (1997). Care and Maintenance of Anopheline Mosquito Colonies. In: Molecular Biology of Insect Disease Vectors: A methods manual. Chapman and Hall, p;3-12.
Binns, R. M. (1982). Organization of the Lymphoreticular System and Lymphocyte Markers in the Pig. Vet Immunel Immunopathol, 3 – 95.
Burkitt, H.G., B. Young dan J.W.Heath. (1993). Histologi Fungsional. Edisi 3. Diterjemahkan oleh Jan Tambajong. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Byuti B. (2004). Bila Nyamuk Menjadi Terdakwa. Info Vet. Edisi.1, 2, 3, Jakarta.                        
Biswas, K. I. Dhatyopadhya, R. K. Baherjee and U. Bandyopadhya. (2002). Biological activities and medicinal properties of neen (Azadirachta indica A. Juss), Current Science, Vol. 82; No. 11; 1336 – 1345 .
Bray, P., O. Janneh, M. Maghtin, L. raynes, H. Ginsburgh and S. Ward. (1995). Celluler uptake of chloroquine is dependent on binding of ferriprotophorphyrin IX and is independent of NHE activity in plasmodium falciparum, Journal Cell Biology, 145; 365 – 376.
Bruce, L. J. (1980). Essential Malariology. Medical Bedford Aguare, London.
Dasrul, N. Asmila dan A. Harris. (2008). Aktivitas Antimalaria ekstrak etanol biji Nimba (Azadirachta indica A. Juss) terhadap pertumbuhan Plasmodium falcivarum secara in vitro. Prosseding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Universitas Syiah Kuala 10-12 Maret 2008, Banda Aceh
Hartono. R. (1989).  Buku Teks Histologi Vet I. Edisi ke 3. Penerbit UI Press Jakarta, 246 – 278.
Harijanto, P. N. (2000). Malaria Epidemiologi. Patogenesis, Manifestasi klinik & Penanganannya, EGC Jakarta.
Harijanto P. N. (2003). Manifestasi Klinis Malaria Berat Makalah dalam Kursus Malaria 2003, Kong res Nasional PETRI IX, Manado, 9-11 Agustus 2003.
Himawan S. (1973). Patologi, Edisi 1, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 226-249.
Junqueira, L. C dan J. Carneiro. (1982). Histologi Dasar, Edisi ke 3. Diterjemahkan oleh Adji Dharma. CV. EGC, Jakarta.
Kardinan, A. dan A. Ruhnayat. (2002). Nimba Budi Daya dan Pemanfaatannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. http://www.mediaindo.co.id.
Khosia, P., S. Bhanwara, J. Singh, S. Seth and R. K. Srivastava. (2000). A Study of hypoglycemic effect of Azadirachta indica A. Juss (Neem) in normal and alloxan diabetic rabbits. Indian Journal Physiol. Pharmacol, vol. 44.p.69 – 74.
Killer L H. (1990). Introduction to the Symposium on Cytoaderence and Cerebral Malaria, Trop Med Hyg.
Laihad F. J. (2003). Epidemiologi Resistensi Malaria di Indonesia. Makalah dalam Kursus Malaria 2003, Kongres Nasional PETRI IX, Manado, 9-11 Agustus 2003.
Lombardini. (2003). Antiparasitic drugs, the chemotherapy of malaria, vol 424.p.28-30.
Lee, M. R. (2002). Plants against malaria: artemisia annua (Qinghaosu or the sweet), J.R. coll physicians Edinh, vol. 32; 300 – 305.
Mashaal H. (1986). Clinical Malariology, Seamic, Southeast Asian Medical Information Center.
Maigraith B. G. (1969). Complication of Malaria. Bull NY aceed Med;       45:1061-64.
Marcial, M. A. (1990). Protozoal and Helementhic Disease In: Kissane J.M. (ed) Anderson’s Pathology 9th ed. St. Louis. C.V. Mosby Co,vol.1.p.433-86.
Noeraini. (2004). Pengaruh Ekstrak Nimba Terhadap Penurunan Derajad Parasit Dan Jumlah Haemozoin Pada Kultur Plasmodium Falcivarum. Thesis Pascasarjana Unibraw- Malang.
Nwafor, S. V., P. A. Akah, C. O.  Okili, A. C. Onyirioha and C. S. Nworu. (2003). Interaction between chloroquine sulphate and aqueous extract of Azadirachta indica A. Juss meliaceae in rabbits, J. Act Pharmacol.           53: 305 – 311.
Perkins ME. (1989). Erytrocyte invasion by the Malaria Merozoit: Recent Advances. Minireview. Experimental Parasitology: 69: 94 – 99.
Ressang, A. A. (1984). Patologi Khusus Veteriner, Edisi ke 2. C.V. Percetakan Bali, Denpasar.
Runnells, R.A., W.S. Monlux and A. W. Monlux, (1960). Principles of Veterinary Pathology. The lowa State University Press, Aoes USA.
Sukrasno. (2001). Nimba Azadirachta indica A. Juss. Tanaman Multiguna yang Terabaikan. PAU Ilmu Hayati Lembaga Penelitian ITB Bandung.
Sodeman. (1995). Patofisiologi, Edisi 7, Jilid II, Jakarta: Hipokrates, hal; 565-592.
Schwikkard, S. and F.R. Van Heerden. (2002). Antimalarial activity of plant metabolites. Nat. Prod. Rep. 19: 675 -692.
Tuft, S., R.M. Dewi, Suwarni, dan H.A. Marwoto. (1991). Imunitas Seluler Pada Mencit BALB/c Yang Diinfeksi Dengan Plasmodium berghei. Tahap I.
Tambajong E.H. (2000). Patobiologi Malaria. MALARIA: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Kilnis & Penanganan, EGG. Jakarta BAB V,     p: 55-68.
Tarigan, J. (2007). Kombinasi Kina Tetrasiklin pada Pengobatan Malaria . Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan http//www.mediaindo.co.id.
World Health Organization. (1999). Leading Infectious-Disease Killers in Heyman D.L. Removing Obstacle to Healthy, Horizons no. 37: 16-17.
World Health Organization. (2002), Death Diseases in Developmental Country,                                                            httpi/www.who.intñnf. new/d nld pdf/conclusion . pdf.








Terima kasih telah membaca artikel tentang Gambaran patologi anatomi limpa mencit putih di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com