google-site-verification=I3gsFmhNnwraRTClYNy7Zy_HRGb_d1DkfDUi6e1xs34 Perbandingan Respon Antibodi Ayam Arab (Gallus turcicus) Antara Dua dan Empat Kali Vaksinasi Flu Burung (Avian Influenza) ~ Medik Veteriner Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

Perbandingan Respon Antibodi Ayam Arab (Gallus turcicus) Antara Dua dan Empat Kali Vaksinasi Flu Burung (Avian Influenza)



ABSTRAK


Perbandingan Respon Antibodi Ayam Arab (Gallus turcicus) Antara Dua dan Empat Kali Vaksinasi Flu Burung (Avian Influenza) (Di bawah bimbingan Darmawi dan Fakhrurrazi).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon antibodi ayam arab (Gallus turcicus) yang divaksinasi dengan vaksin AI. Penelitian ini menggunakan 15 ekor ayam arab (Gallus turcicus) yang dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan yaitu 5 ekor ayam divaksin 2 kali (K1), 5 ekor divaksin 4 kali (K2) dan 5 ekor tidak divaksin (K0). Pengambilan sampel serum dilakukan pada minggu ke-9, 10, 11 dan 12. Jenis vaksin yang digunakan adalah Medivac AI dengan dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara intramusculus. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan menggunakan Uji Haemaglutinasi Inhibisi (HI Test). Data titer antibodi AI yang diperoleh dianalisis dengan uji split plot. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 13.0. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata titer antibodi ayam Arab (Gallus turcicus) pada kelompok kontrol (K0) sangat rendah yaitu 3,4, pada kelompok K1 dengan rata-rata titer antibodi 62,4, sedangkan kelompok K dengan rata-rata titer antibodinya yaitu 629.  Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa titer antibodi ayam Arab (Gallus turcicus) pada kelompok perlakukan K1 berbeda nyata dengan kelompok perlakukan K2 pada taraf P>0,01. Hal ini menunjukkan bahwa ayam Arab (Gallus turcicus) yang diberi perlakuan 4 kali vaksin produksi antibodinya lebih tinggi daripada 2 kali vaksin.



PENDAHULUAN

Avian Influenza (AI) adalah penyakit menular pada ternak unggas, disebabkan oleh virus Avian influenza subtipe A dari keluarga Orthomyxoviridae (Easterday dan Hinshaw, 1991). Kebanyakan kasus disebabkan oleh Highly Pathogenic Avian influenza (HPAI) subtipe H5 dan H7, menyebabkan gangguan sistemik diikuti tingkat kematian tinggi dan lesi organ yang bervariasi. Penyakit ini termasuk Daftar A Office International des Epizooties (OIE) karena penyebaran cepat, meliputi batas-batas antar negara, bersifat zoonosis karena berpotensi menimbulkan kematian pada manusia. Selain itu berdampak terhadap perdagangan internasional terutama produk unggas dan hasil olahannya (Alexander, 2000).
Virus Avian influenza dapat menyebabkan suatu infeksi akut pada hospes dan memprakarsai reaksi imun tubuh sehingga mengaktifkan hampir semua bagian-bagian dari sistem imun. Respon imun yang ditimbulkan kebanyakan berasal dari respon imun bawaan, yang mencakup pelepasan sitokin (Interferon/IFN), pembentukan granulocyt neutrophil atau sel pembunuh alami (Natural Killer/NK) (Mandelboim dkk., 2001). Imunitas bawaan merupakan suatu prasyarat penting terhadap respon imun yang adaptif, karena imunitas bawaan dapat membatasi proses replikasi awal virus dan dikarenakan antigen-lymfosit spesifik dari respon imun adaptif diaktifkan oleh co-stimulatory molekul yang menyebabkan sel dari sistem imun bawaan berinteraksi dengan virus (Garcia-Sastre, 1998).
Antibodi dalam tubuh unggas juga diperoleh dari proses vaksinasi. Prinsip dasar pemakaian vaksin Avian influenza adalah virus vaksin (master seed) harus homolog dengan sub tipe H atau subtipe H dan N virus asal lapang. Menurut regulasi OIE, master seed vaksin harus berasal dari isolat virus Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) yang telah dimurnikan, mempunyai komposisi genetik yang stabil, proses inaktivasi sempurna (uji laboratorik), bebas pencemaran agen infeksius lainnya, mengandung konsentrasi antigen yang tinggi, menggunakan adjuvant berkualitas tinggi, mempunyai tingkat keamanan, potensi dan efektifitas yang tinggi (Machdum, 2007).
Tabbu (2008) menyatakan bahwa karakteristik vaksin Avian influenza yang ideal yaitu dapat meransang respon kekebalan humoral (HMI-humoral mediate immunity) dan kekebalan seluler (CMI-cell mediate immunity), sehingga perlindungan terhadap ayam cepat terbentuk. Kriteria lain yang diharapkan pada vaksin Avian influenza adalah harga relatif tidak mahal, mudah diberikan pada ayam, perlindungan efektif dan dapat dicapai dengan dosis tunggal (ayam semua umur).
Pertahanan terbaik terhadap agen penyakit virus yang dapat masuk melalui mukosa adalah vaksin mukosal (mucosal vaccines) yang mampu menginduksi kekebalan sistemik dan mukosa, yang terdiri atas Cluster of Disignation CD4 sel T, secretory Imunoglobulin A (S-IgA), dan T lymphocytes yang bersifat antigen spesifik sitotoksik atau cytotoxic T lymphocytes (CTLs) (Sudarisman, 2006).
Kekebalan tubuh terhadap virus AI diperoleh setelah 7 hari dan bertahan pada tingkat pada 21 hari setelah vaksinasi (Naipospos, 2005). Hasil vaksinasi dengan vaksin cair A/Jatim/2003 (H5N1) yang telah diinaktifkan pada ayam dan burung puyuh memperlihatkan bahwa telah terjadi respon antibodi dari setiap individu yang diambil serum darahnya setelah 3 minggu pasca vaksinasi (Indriani dkk., 2004). Akan tetapi informasi tentang respon antibodi pada ayam Arab yang divaksinasi dengan vaksin AI subtipe H5N1 belum banyak diketahui. Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan suatu penelitian tentang gambaran respon antibodi setelah beberapa kali vaksinasi pada ayam Arab.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, diduga ayam yang divaksinasi dengan vaksin AI akan memperlihatkan perbedaan antara dua dan empat kali vaksinasi flu burung (Avian influenza). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbandingan respon antibodi ayam Arab (Gallus turcicus) antara dua dan empat kali vaksinasi. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu sumber informasi tentang respon antibodi ayam Arab (Gallus turcicus) yang divaksin AI.


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Avian Influenza
Avian Influenza (AI) adalah penyakit viral pada unggas peliharaan, termasuk ayam dan unggas liar yang disebabkan oleh virus Avian influenza subtipe A yang termasuk famili Orthomyxoviridae dari genus influenza. Penyakit ini dikenal juga dengan Flu Burung (FB) dan dapat menimbulkan penyakit dengan derajat keparahan yang bervariasi, mulai dari infeksi yang bersifat asimptomik sampai penyakit yang fatal dan bersifat multisistemik. Subtipe H5N1 yang merupakan virus dengan tingkat kemampuan mematikannya tinggi atau highly pathogenic Avian influenza (HPAI) yang dapat menginfeksi manusia (zoonosis) (Swayne dan Suarez, 2000).
Menurut Radji (2006) virus influenza tipe A mempunyai 8 RNA segmen, berbentuk helikal dengan diameter 80-120 nm, mempunyai amplop dengan lipid bilayer yang berasal dari hospes dan ditutupi oleh oleh sekitar 500 tonjolan glikoprotein yang mempunyai aktivitas hemaglutinasi dan neuraminidase. Tonjolan (spikes) tersebut digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel.
Terdapat 2 jenis spikes yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase (NA), yang terletak di bagian terluar dari virion. Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari protein nukleokapsid (NP), Hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA), dan protein matriks (MP). Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus influenza A, B, dan C (Radji, 2006).
Virus ini dapat menyebabkan pandemi karena mudah bermutasi membentuk varian-varian baru yang lebih patogen. Terdapat 16 jenis subtipe HA dan 9 jenis subtipe NA. Berbagai penelitian seroprevalensi secara epidemiologis menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus influenza A telah menyebabkan wabah pandemik antara lain H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan H2N2 (1889). Virus influenza B adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C, jarang ditemukan walaupun dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan binatang. Jenis virus influenza B dan C jarang sekali atau tidak menyebabkan wabah pandemis (Radji, 2006).

Cara Penularan Virus Avian Influenza
Penularan virus AI antar unggas disebabkan karena beberapa hal, antara lain kondisi lingkungan yang kotor, basah, perkandangan yang kotor, tempat pakan dan tepat minum yang jarang dibersihkan. Partikel virus ini bisa tersebar melalui kontak langsung atau melalui udara. Virus influenza dapat keluar melalui saluran pernapasan, mukosa mata dan dan air minum yang terkontaminasi virus AI. Jika berada pada air dengan suhu 17°C, virus AI dapat bertahan hidup selama 100 hari. Jika berada di bawah suhu -50°C, virus AI dapat bertahan bertahun-tahun, sehingga danau es di negara subtropis merupakan tempat virus ini yang sangat baik (Bridges dkk., 2002).
Penularan atau transmisi virus influenza secara umum dapat terjadi melalui inhalasi, kontak langsung, ataupun kontak tidak langsung (Bridges dkk., 2003). Sebagian besar kasus infeksi HPAI pada manusia disebabkan penularan virus dari unggas ke manusia. Menurut Beigel dkk., (2003) hasil studi menunjukkan bahwa unggas yang terinfeksi oleh AI subtipe A (H5N1) dapat mengeluarkan virus dengan jumlah besar dalam kotorannya. Virus itu dapat bertahan hidup di air sampai empat hari pada suhu 22 oC dan lebih dari 30 hari pada 0 oC. Di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama. Virus ini mati pada pemanasan 56 oC dalam 3 jam atau 60 oC selama 30 menit. Bahan desinfektan formalin dan iodine dapat membunuh virus menakutkan ini.
Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya dan dengan menggunakan material genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru yang dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata AI H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring dan di dalam sel gastrointestinal (Sopian, 2005). Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan  serebrospinal, dan tinja pasien (WHO, 2005).
Asmara (2007) menjelaskan bahwa fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus AI subtipe A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) ada pada permukaan sel hospesnya. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung N-acethylneura-minic acid a-2,3-galactose (SA a-2,3-Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia.
Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA a-2,6-galactose (SA a-2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus dapat membuat varian-varian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke manusia (Asmara, 2007).

Gejala Klinis
Gejala penyakit flu burung sangat bervariasi dan tergantung pada spesies unggas yang terinfeksi, galur virus dan faktor lingkungan. Menurut Soejoedono dan Ekowati (2002) gejala yang terlihat dapat berbentuk gangguan pada saluran pernapasan, pencernaan dan sistem saraf. Gejala klinis yang sering dijumpai pada ayam adalah jengger, pial dan kulit yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru keunguan, pembengkakan pada bagian kepala dan muka, keluarnya cairan dari mata dan hidung (lakrimasi) yang berlebihan, perdarahan di bawah kulit, perdarahan titik (ptechie) pada daerah kaki, dada dan telapak kaki, batuk, bersin, ngorok dan diare.
Tabbu (2000) mengemukakan bahwa pada kasus flu burung yang disebabkan oleh virus HPAI, angka morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100 %. Mortalitas biasanya meningkat antara 10-50 kali dari hari sebelumnya dan mencapai puncaknya pada hari ke-6 sampai ke-7 setelah timbulnya gejala. Jika unggas mati dalam waktu yang singkat, biasanya tidak ditemukan adanya perubahan mikroskopis tertentu, hal ini dikarenakan lesi pada jaringan belum berkembang.
Pada sejumlah kasus HPAI dapat ditemukan adanya kongesti, hemoragi, transudasi dan nekrosis. Disamping itu adanya gangguan pernapasan, lakrimasi yang berlebihan, sinusitis, edema di daerah kepala dan muka, perdarahan jaringan subkutan yang diikuti oleh sianosis pada kulit, terutama di daerah muka, jengger, pial, dada, tungkai, dan telapak kaki, diare, gangguan produksi telur dan gangguan saraf.

Vaksinasi
Vaskinasi merupakan salah satu tindakan biosekuriti yang paling efektif dalam pengendalian peyebaran virus AI. Cakupan vaksinasi yang harus dicapai minimal 90% dan dilakukan minimal dua kali diikuti dengan monitoring dan evaluasi terhadap shedding virus. Pengembangan teknik Differentiating Infected from Vaccinated Animal (DIVA) menggunakan antibodi terhadap protein NS-1 (Non Structural 1) segera dilakukan. NSI adalah suatu protein yang hanya dihasilkan oleh virus hidup. Teknik ini digunakan untuk memantau apakah antibodi dari suatu individu diperoleh akibat infeksi atau akibat vaksinasi, sehingga masking effect (unggas sehat yang mengekskresikan virus) dapat diketahui dengan cepat (Anonimus, 2006).
Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk mengurangi penyebaran virus ini, dimana host yang mempunyai titer kekebalan dapat menetralisasi jumlah virus yang masuk. Program vaksinasi yang sesuai dengan subtipe virus kasus lapang dilaporkan dapat menahan kematian dan sekresi virus. Vaksin AI subtipe H5N1 yang sesuai dengan subtipe virus kasus lapang, telah banyak diproduksi dan dipasarkan secara komersial, dan kini umumnya digunakan dalam program vaksinasi untuk pencegahan penyakit AI subtipe H5N1pada berbagai ternak unggas di Indonesia (Indriani dkk., 2006).
Capua dan Marangon (2003) menyatakan bahwa vaksin AI yang umum untuk digunakan adalah vaksin virus inaktif dalam adjuvant minyak. Vaksin jenis ini telah terbukti dapat melindungi unggas dari gejala klinis dan kematian, tetapi tidak menekan eksresi virus. Mahardika dkk. (2008) menjelaskan bahwa fakta ini menimbulkan keraguan tentang daya-guna vaksinasi dalam mencegah penyebaran virus AI antar hewan. Penularan yang tidak terlihat (silent transmission) meningkatkan risiko wabah baru dan membawa ancaman pada kesehatan masyarakat.
Tabbu (2008) menyatakan bahwa untuk mendukung keberhasilan vaksinasi AI, ada beberapa aspek penting yang harus diperhatikan, antara lain : kualitas vaksin, pemberian vaksin, sarana/prasarana  peternakan, dan unggas itu sendiri. Sedangkan dalam pemberian vaksin, ada beberapa hal yang perlu dipantau, antara lain : metode vaksinasi, program vaksinasi, vaksinator, dan peralatan vaksinasi yang digunakan. Sementara pada sarana/prasarana peternakan, sistem perkandangan/peralatan, lingkungan, sumber air minum, dan pakan juga tetap harus diperhatikan. Selain itu juga memperhatikan kondisi ayam/unggas, umur/variasi umur, dan status kesehatannya. Jangan sampai ada penyakit immunosupresif yang dapat mengganggu terbentuknya kekebalan terhadap AI.
Prinsip dasar pemakaian vaksin Avian influenza adalah virus vaksin (master seed) harus homolog dengan sub tipe H atau subtipe H dan N virus asal lapang. Menurut regulasi OIE, master sheed vaksin harus berasal dari isolat virus Avian influenza low pathogenic (LPAI) yang telah dikarakterisasi (dimurnikan). Mempunyai komposisi genetik yang stabil. Proses inaktivasi sempurna (uji laboratorik). Bebas pencemaran agen infeksius lainnya. Mengandung konsentrasi antigen yang tinggi. Menggunakan adjuvant berkualitas tinggi. Mempunyai tingkat keamanan, potensi dan efektifitas yang tinggi (Machdum, 2007).
Salah satu masalah dalam strategi vaksinasi adalah penentuan bibit (seed) virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan bibit vaksin menjadi suatu masalah yang sulit dipecahkan (Mahardika dkk., 2008). Keberhasilan program vaksinasi AI subtipe  H5N1 dapat diketahui dengan melakukan monitoring dan evaluasi efikasi vaksin yang dipakai, yaitu dengan uji serologik hemaglutinasi inhibisi (HI) (Indriani dkk., 2005).
Kekebalan tubuh terhadap virus AI diperoleh setelah 7 hari dan bertahan pada tingkat pada 21 hari setelah vaksinasi (Naipospos, 2005). Hasil vaksinasi dengan vaksin cair A/Jatim/2003 (H5N1) yang telah diinaktifkan pada ayam dan burung puyuh memperlihatkan bahwa telah terjadi respon antibodi dari setiap individu yang diambil serum darahnya setelah 3 minggu pasca vaksinasi (Indriani dkk., 2004).
Pertahanan terbaik terhadap agen penyakit virus yang dapat masuk melalui mukosa adalah vaksin mukosal (mucosal vaccines) yang mampu menginduksi kekebalan sistemik dan mukosa. Pertahanan mukosa terhadap agen virus pathogen terdiri atas pertahanan alami (seperti lendir, epitelium), mekanisme pertahanan alami dan kekebalan adaptif dari induk semang. Sedangkan kekebalan pada permukaan mukosa terutama terdiri atas CD4 sel T, secretory Imunoglobulin A (S-IgA), dan T lymphocytes yang bersifat antigen spesifik sitotoksik atau cytotoxic T lymphocytes (CTLs) (Sudarisman, 2006).
Tabbu (2008) menyatakan bahwa karakteristik vaksin Avian influenza yang ideal yaitu dapat meransang respon kekebalan humoral (HMI-humoral mediate immunity) dan kekebalan seluler (CMI-cell mediate immunity), sehingga perlindungan terhadap ayam cepat terbentuk. Kriteria lain yang diharapkan pada vaksin Avian influenza adalah harga relatif tidak mahal, mudah diberikan pada ayam, perlindungan efektif dan dapat dicapai dengan dosis tunggal (ayam semua umur).

Respon Imun Terhadap Avian influenza
Virus Avian influenza dapat menyebabkan suatu infeksi akut pada hospes dan memprakarsai reaksi imun tubuh yang mengaktifkan hampir semua bagian-bagian dari sistem imun. Respon imun yang ditimbulkan kebanyakan berasal dari respon imun bawaan, yang mencakup pelepasan cytokine (IFN), pemasukan  granulocyt neutrophil atau sel pembunuh alami (Mandelboim dkk., 2001). Imunitas bawaan merupakan suatu prasyarat penting terhadap respon imun yang adaptif, karena imunitas bawaan dapat membatasi proses replikasi awal virus dan dikarenakan antigen-lymfosit spesifik dari respon imun adaptif diaktifkan oleh co-stimulatory molekul yang menyebabkan sel dari sistem imun bawaan selama berinteraksi dengan virus (Garcia-Sastre dkk., 1998).
Respon imun berawal sewaktu sel B atau sel T yang berikatan dengan suatu protein yang diidentifikasi oleh sel T atau B sebagai benda asing. Selama perkembangan masa janin di hasilkan ratusan ribu sel B dan sel T yang memilki potensi yang berikatan dengan protein spesifik. Protein yang dapat berikatan dengan sel T dan B mencakup protein yang terdapat di membran sel bakteri, mikoplasma, selubung virus, atau serbuk bunga, debu, atau makanan tertentu. Setiap sel memiliki protein-protein permukaan yang dikenali berbagai benda asing oleh sel T atau sel B (Sipahutar, 2007).
Limfosit yang dihasilkan oleh sumsum tulang disebut limfosit B, sedangkan yang diproduksi di kelenjar timus disebut limfosit T. Limfosit B akan memproduksi antibodi, jika terdapat benda asing (antigen) yang masuk ke dalam tubuh, maka diperlukan 10-14 hari untuk membentuk antibodi. Antibodi tersusun dari protein, atau disebut juga sebagai immunoglobulin, disingkat Ig, suatu serum protein globulin. Antibodi akan menghancurkan antigen dengan cara mengikatkan diri pada antigen dan menandai molekul-molekul pada antigen tersebut. Ada lima jenis immunoglobulin, yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD. IgG adalah antibodi yang paling banyak terdapat dalam darah, yaitu 80 persen (Anonimus, 2008).

Respon Imun Humoral
Antibodi (IgG, IgA) diproduksi oleh sel plasma yang merupakan langkah terakhir perkembangan sel B, sel B perlu mengenali antigen dan dirangsang oleh CD4 sel T dan T cell-derived cytokines. Tidak sama dengan sel T, sel B dapat mengenali antigen dalam  bentuk aslinya. Spesifisitas antigen dibentuk dari penyusunan kembali persandian gen acak untuk daerah yang hypervariable immunoglobulins di dalam sel, selama masih di dalam sumsum tulang. Sel B kemudian memasuki sirkulasi dan berjalan melalui aliran darah dan melalui jaringan limphatik dan organ lymphoid. Di dalam saluran limpha, sel B mengenali antigen yang sama oleh antibodi permukaan mereka, sehingga mengaktifkan IgM menjadi IgG, meningkatkan spesifitas immunoglobulin dan perubahan di dalam plasma sel B sebagai sel lanjutan yang berfungsi sebagai sel cytokin. Sewaktu IgA berada di bagian epitel mucosa bagian atas (dalam hal ini saluran pernafasan bagian atas), akan menetralkan dan membersihkan infeksi virus, IgG bertanggung jawab untuk perlindungan di saluran pernapasan yang lebih rendah (Palladino dkk., 1995).
Infeksi Avian influenza dapat mengakibatkan produksi antibodi yang sistemik untuk glycoproteins HA dan NA virus, seperti halnya protein matrik dan nukleoprotein. Sebagai contoh, HA spesifik immunoglobulin, mencakup IgM, IgA dan IgG, akan tampak dalam 2 minggu setelah inkubasi. Pengembangan anti-NA paralel pada antibodi hemagglutinin-inhibiting. Puncak titer antibodi dapat dilihat antara 4-7 minggu setelah infeksi dan selanjutnya akan mengalami penurunan. Antibodi dapat ditemukan bertahun-tahun setelah infeksi tanpa re-exposure. Anti-Ha antibodi melindungi dari penyakit dan infeksi dari virus yang sama, dan induksi penetralan antibodi adalah satu imuniasi yang utama dengan vaksin. Titer Serum HA-inhibiting 1:40 atau lebih besar, atau titer serum yang dinetralkan 1:8 atau lebih besar, adalah dianggap melindungi terhadap infeksi. Untuk tingkat yang lebih tinggi antibodi diperlukan untuk perlindungan yang lengkap dalam individu lebih tua (Treanor, 2005).

Respon Imun Selular
Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T penolong (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin dari sel CD4 mengendalikan proses imun seperti pembentukan imunoglobulin oleh sel B, pengaktivan sel T lain dan pengaktifan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (sel CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus (Treanor, 2005).
Hal yang penting dalam infeksi virus Avian influenza adalah CD4 limposit T membantu limposit B untuk menghasilkan antibodi anti-HA dan anti-NA. Epitop HA virus yang dikenali oleh CD4 T helper berbeda dengan yang dikenali oleh antibodi. Sel T helper (Th) dapat juga memberikan informasi pada CD8 cytotoxic limposit T, selanjutnya sel Th akan dibagi menjadi sel Th1 dan sel Th2 berdasarkan pada jenis cytokin yang dihasilkan (Lawrence dan Braciale 2004). Pada infeksi virus Avian influenza, CD8 cytotoxic Limposit T (CTL) mengenali epitop dari HA atau protein internal M, NP, atau PB2 kemudian memperkenalkan pada molekul MHC kelas I (Treanor, 2005).


 MATERIAL DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala pada bulan April sampai Juni 2009.

Sampel Hewan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan 15 ekor ayam arab (Gallus turcicus) yang dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan yaitu 5 ekor ayam divaksin 2 kali, 5 ekor divaksin 4 kali dan 5 ekor tidak divaksin.

Alat dan Bahan Penelitian
Microplate tipe V bottom (Nunc Denmark), Pipet Ukur 1 ml (Iwaki Pyrex), Mikro tip (Axigen®), Mikro tub (Axigen®), spuit 3 cc (Becton Dickinson-Slip tipTM),  tabung reaksi (Iwaki Pyrex), kapas, rak tabung, singlechannel pipet (Volac), multichannel pipet (Baeco Jerman), tabung erlenmeyer (Duran), shaker rotator (Health®), sarung tangan, masker, sterilisator (Heraeus), freezer (LG), socorex, sentrifuge (Heraeus Sepatech).
Bahan yang digunakan adalah antigen AI subtipe H5N1 (produk Pusvetma), eritrosit ayam 1 %, Posphat Buffer Saline (PBS), Vaksin Medivac AI dan serum ayam arab (Gallus turcicus).


Metode Penelitian
15 ekor ayam Arab umur 110 hari yang dibagikan atas 3 kelompok. Kelompok 1 (K0) ayam tidak divaksin, kelompok 2 (K­1) ayam divaksin 2 kali dan kelompok 3 (K­2) ayam divaksin 4 kali. Ayam divaksin dengan Medivac AI dosis 0,5 ml. Vaksinasi dilakukan pada umur ayam 124 hari, vaksinasi berikutnya dilakukan setiap 2 minggu sekali. Darah dikoleksi setiap minggu mulai minggu ke-9 sampai minggu ke-12 pasca vaksinasi. Sampel serum diperiksa dengan menggunakan metode uji haemaglutinasi inhibisi (HI).

Pengambilan Spesimen
Darah diambil dari vena axilaris dengan menggunakan spuit 2,5 ml, kemudian spuit diletakkan dalam keadaan miring agar memudahkan terbentuknya serum selama ± 3 jam. Setelah serum terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam mikro tube dan disimpan pada temperatur -5 oC, sampel dimasukkan ke dalam waterbath dengan temperatur 56 oC selama 30 menit. Selanjutnya didiamkan beberapa saat sebelum digunakan untuk uji HI.

Uji Haemaglutinasi
Mikroplate tipe V bottom disiapkan, dan sebanyak 25 µl larutan Phosphat Buffer Saline (PBS) dimasukkan pada semua lubang dengan multichannel pipet. Sebanyak sebanyak 25 µl antigen AI subtipe H5N1 ditambah pada lubang no.1, dibuat pengenceran bertingkat mulai lubang no.1 sampai ke lubang no.11 dengan multichannel pipet, ditambahkan Phosphat Buffer Saline (PBS) sebanyak 25 µl pada semua lubang, mikroplate digoyang dengan shaker rotator selama 10 detik, ditambahkan eritrosit ayam 1 % sebanyak 25 µl pada masing-masing lubang, mikroplate digoyang kembali dengan shaker rotator selama 10 detik, kemudian didiamkan pada temperatur kamar selama 30 menit dan dilakukan pembacaan hasil.

Pembacaan hasil
Pembacaan hasil dapat dilakukan apabila eritrosit pada tabung kontrol telah mengendap ke dasar tabung. Tabung no 12 merupakan kontrol (tidak terjadi aglutinasi). Hasil dikatakan positif apabila terjadi aglutinasi yang komplit dari sel darah merah dimana terlihat bentuk kasar seperti pasir di bagian pinggir tabung. Batas nilai dari titrasi adalah pengenceran tertinggi dari antigen yang masih menghasilkan aglutinasi yang komplit.

Uji Haemaglutinasi Inhibisi
Mikroplate tipe V bottom disiapkan, sebanyak 25 µl larutan Phosphat Buffer Saline (PBS) dimasukkan pada lubang no.1 sampai lubang no.12 dengan multichannel pipet, sebanyak 25 µl serum ditambahkan pada lubang no.1 (setiap serum diambil dengan mikrotip yang berbeda), dibuat pengenceran bertingkat mulai lubang no.1 sampai ke lubang no.11 dengan multichannel pipet, larutan PBS sebanyak 25 µl dimasukkan lagi pada lubang no.12, antigen AI subtipe H5N1            4 HAU sebanyak 25 µl ditambahkan pada lubang no.1 sampai ke lubang no.11 dengan multichannel pipet, mikroplate digoyang dengan shaker rotator selama 10 detik, didiamkan pada temperatur kamar selama 30 menit, eritrosit ayam 1 % sebanyak 25 µl ditambahkan pada masing-masing lubang, mikroplate digoyang kembali dengan shaker rotator selama 10 detik, kemudian didiamkan pada temperatur kamar selama 30 menit dan selanjutnya dilakukan pembacaan hasil.

Pembacaan hasil
Pembacaan hasil dapat dilakukan apabila eritrosit pada tabung kontrol telah mengendap ke dasar tabung. Tabung no 12 merupakan kontrol (tidak terjadi aglutinasi). Hasil dikatakan positif apabila terbentuk endapan sel darah merah pada dasar tabung dan jika mikroplate dimiringkan maka akan terlihat endapan sel darah merah tersebut meleleh/mengalir ke bawah. Batas nilai dari titrasi HI adalah pengenceran tertinggi dari serum yang masih memperlihatkan terbentuknya endapan sel darah merah (positif antibodi).

Back Titrasi dan Kontrol Positif-Negatif
Back titrasi, kontrol positif dan kontrol negatif dilakukan pada satu mikroplate yang terpisah. Back titrasi dibuat sama dengan cara melakukan uji HA. Hal ini berguna untuk memastikan titer dari antigen yang digunakan. Sedangkan kontrol positif dan negatif dibuat dari serum yang telah diketahui positif atau antibodi terhadap AI subtipe H5N1 dengan perlakuan yang sama dengan uji HI. Tujuannya agar dapat dijadikan standar terhadap hasil dari HI test. Dengan demikian dapat diketahui apakah teknik/cara kerja sudah sesuai prosedur.


Analisis Data
Pengolahan dan analisis data adalah berdasarkan nilai uji Haemaglutinasi inhibisi (HI), data titer antibodi AI yang diperoleh dianalisis dengan uji split plot. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 13.0.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan sebanyak 15 ekor ayam Arab (Gallus turcicus) yang dibagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok 2 kali vaksin sebanyak 5 ekor, kelompok 4 kali vaksin sebanyak 5 ekor dan kelompok kontrol (tidak divaksin) sebanyak 5 ekor dengan interval waktu dari setiap vaksinasi yaitu 2 minggu. Pengambilan sampel serum dilakukan pada minggu ke-9, 10, 11 dan 12. Jenis vaksin yang digunakan adalah Medivac AI dengan dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara subcutan pada bagian leher.
Hasil pemeriksaan uji Haemaglutinasi Inhibisi (HI) terhadap 15 sampel serum ayam Arab (Gallus turcicus) menunjukkan bahwa rata-rata titer antibodi yang terdapat dalam serum ayam tersebut terlihat perbedaan yang sangat nyata. Rata-rata titer antibodi yang diperoleh pada kelompok perlakuan kontrol (K0), kelompok perlakukan 2 kali vaksin (K1) dan 4 kali vaksin (K2) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata (± SD) titer antibodi ayam Arab (Gallus turcicus) yang diberikan vaksin 2 dan 4 kali setelah perlakuan

No
Kelompok Sampel
Titer Antibodi
1
K0
3,4 a
2
K1
62,4 b
3
K2
629 c
Keterangan  : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (p>0,01)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa titer antibodi ayam Arab (Gallus turcicus) pada kelompok perlakukan K1 berbeda sangat nyata dengan kelompok perlakukan K2 pada taraf P>0,01. Kelompok kontrol (K0) merupakan kelompok ayam yang tidak divaksin dengan rata-rata titer antibodi lebih rendah yaitu 3,4 daripada kelompok K1 yang merupakan kelompok ayam dengan perlakuan 2 kali vaksin dengan rata-rata titer antibodi 62,4, sedangkan pada kelompok K yang merupakan kelompok ayam dengan perlakukan 4 kali vaksin dengan rata-rata titer antibodinya yaitu 629.

Tabel 2. Hubungan vaksinasi terhadap peningkatan titer antibodi

Minggu ke -

Ayam tidak divaksin
Ayam divaksin
2 kali vaksin
4 kali vaksin
9
10
11
12
9
10
11
12
9
10
11
12
Tidak Protektif
(< 24)

5


5


5


5


3


0


0


3


0


1


0


2


Protektif
(> 24)


0


0


0


0


2


5


5


2


5


4


5


3


Pada minggu ke-9, 10, 11 dan 12 antibodi ayam Arab seluruhnya (100%) tidak protektif terhadap AI. Ayam yang divaksin 2 kali menunjukkan bahwa pada minggu ke-9 dan 12 pasca vaksinasi 60% memiliki titer antibodi protektif dan 40% tidak protektif terhadap AI. Pada minggu ke-10 dan 11 pasca vaksinasi menunjukkan titer antibodi yang protektif terhadap AI. Ayam Arab yang divaksin 4 kali pada minggu ke-9 sampai 11 pasca vaksinasi protektif terhadap AI. Sedangkan pada minggu ke-12 pasca vaksinasi 40% memiliki titer antibodi protektif dan 60% tidak protektif terhadap AI.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Nidom (2006) bahwa nutrisi sangat diperlukan terutama untuk menimbulkan antibodi secara baik pada saat dilakukan vaksinasi. Mahardika (2006) melanjutkan bahwa keseimbangan nutrisi terutama energi, protein dan lemak harus dijaga dengan baik pada masa vaksinasi. Ketika unggas terinfeksi virus AI pengambilan oksigen akan terhambat, kekurangan oksigen tersebut dapat menghambat proses metabolisme energi, protein dan lemak. Terhambatnya proses metabolisme tersebut berpengaruh terhadap produksi antibodi dalam tubuh dari seekor hewan.
Brugh dkk. (1979) dalam Indriani 2004 melaporkan bahwa pada ayam kalkun yang telah divaksinasi dengan vaksin inaktif AI adjuvant dan mempunyai titer antibodi 3 log 2 atau 8 mampu memproteksi serangan virus AI dengan partikel virus tantang sebesar 106,7 EID50 secara tetes mata. Selanjutnya Charles dkk. (1991) juga melaporkan bahwa ayam yang divaksinasi dengan vaksin rekombinan fowl pox pada sayap dan dengan uji HI mempunyai titer antibodi 10 mampu memproteksi dari serangan virus AI H5N2 dengan partikel virus tantang 105,9 EID 50 yang diinfeksikan secara tetes mata.
Titer antibodi pada uji haemaglutinasi inhibisi dari serum diperoleh dari pengenceran tertinggi yang menghambat haemaglutinasi setelah kontrol eritrosit mengendap. Antibodi yang terdapat dalam serum tersebut merupakan antibodi yang dapat mengikat antigen terlarut membentuk kompleks yang tidak larut yang kemudian mengendap, setiap partikel antigen akan terlapisi oleh antibodi dari dalam serum yang diuji sehingga proses haemaglutinasi tidak terjadi. Reaksi positif ditandai dengan mengendapnya sel darah merah di dasar lubang dari mikroplate sebagai indikator ada antibodi dalam serum (Frank dkk., 1993).
Antibodi yang diperoleh melalui vaksinasi dapat memberikan perlindungan pada ayam terhadap infeksi virus tertentu dalam hal ini virus avian influenza. Ayam yang terlindungi dengan baik menunjukkan gambaran respon seperti peningkatan titer antibodi yang dapat diamati dalam interval waktu tertentu. Selain itu ayam yang telah divaksinasi tidak menunjukkan gejala klinis apapun dan juga tidak terjadi kematian. Pengunaan vaksin homolog (H5N1) dapat melindungi ayam dari infeksi AI dan respon seperti ini dapat diamati pada kelompok ayam yang telah divaksinasi dengan program yang tepat (Indriani dkk., 2004).
Nidom (2006) menyatakan bahwa keberhasilan vaksinasi AI dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis seed vaksin yang digunakan dan adjuvannya; teknik vaksinasi dan vaksinatornya; kondisi unggas yang akan divaksin dan lingkungannya. Dari jenis seed yang digunakan, vaksin AI selama ini ada dua macam yaitu vaksin homolog dan heterolog. Vaksin homolog (H5N1) mempunyai seed yang strukturnya mirip dengan virus AI yang menginfeksi. Dengan menggunakan vaksin homolog, antibodi yang terbentuk cocok untuk protein HA dan NA dari virus yang menginfeksi, sehingga seluruh bagian protein virus dapat dinetralisir oleh antibodi yang ditimbulkan oleh vaksin.
Rasional penerapan vaksinasi adalah karena vaksin mampu mengurangi tingkat kepekaan terhadap infeksi dan mengurangi keluarnya virus dari tubuh unggas (shedding virus), baik dari segi waktu dan jumlah. Tujuan penggunaan vaksin dalam pemberantasan penyakit adalah untuk mendapatkan kekebalan. Kekebalan diperoleh setelah 7 hari dan bertahan pada tingkat puncak pada 21 hari pasca vaksinasi. Vaksin AI yang digunakan pada ayam melawan HPAI subtipe H5N1 bermanfaat untuk mencegah ayam sakit dan mencegah kematian; lalu menghambat replikasi dan perluasan virus dari sistem pernapasan dan saluran usus. Sifat vaksin HPAI tipe H5N1 melawan virus yang sama ini merupakan satu keunikan yang dapat diidentifikasi secara lengkap resisten terhadap vaksin-vaksin dengan strain tertentu (Nidom, 2006).


 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Hasil pemeriksaan uji Haemaglutinasi Inhibisi (HI) terhadap 15 sampel serum ayam arab (Gallus turcicus) berdasarkan analisis statistik (uji Duncan) menunjukkan bahwa titer antibodi ayam arab (Gallus turcicus) pada kelompok perlakukan K1 berbeda nyata dengan kelompok perlakukan K2 pada taraf P>0,01. Rata-rata titer antibodi yang terdapat dalam serum ayam tersebut terjadi peningkatan pada kelompok perlakuan 2 kali vaksin dan kelompok 4 kali vaksin dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Saran
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan vaskinasi dapat memberikan efek protektif terhadap infeksi AI. Oleh karena itu, program vaksinasi merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan di kalangan peternak ayam Arab.



KEPUSTAKAAN


Alexander, D.J., 2000. Highly Pathogenic Avian Influenza (Fowl Plaque) Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines. OIE,

Anonimus, 2006. Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu. Media Indonesia, edisi 27 Februari, 2006.

Anonimus, 2008. Pentingnya Sistem Kekebalan Tubuh (Sistem Imun). http://4lifetransferfactorindonesia.wordpress.com.

Asmara W., 2007. Peran Biologi Molekuler dalam Pengendalian Avian Influenza dan Flu Burung, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12 Maret 2007.

Beigel. J.H., J. Farrar, and AM. Han, 2003. Avian Influenza (H5N1) Infection in Humans. N Engl J. Med. 2005:1374-1385.

Bridges C.B., M.J. Keuhnet, C.B. Hall, 2003. Transmissions of Influenza: Implication for Control in Health Care Setting. Clin Infect; 23: 1094-1101.

Bridges, C.B., W. Lim and J. Hu-Primmer, 2002. Risk of Influenza A (H5N1) Infection Among Poultry Workers, Hong Kong, 1997-1998. J Infect Dis; 185: 1005-1010. Abstract: http:www.amedeo.com. – Full text at http:www. journals.uchicago.edu.html.

Brugh, M., C.W. Beard and H.D. Stone. 1979. Imumunization of Chickens and Turkeys Against Avian Influenza with Monovalent and Polyvalent Oil Emulsion Vaccines. Am. J. Vet. Res. pp. 165-169.

Capua, I and S. Marangon. 2003. The Use of Vaccination as an Option for The Control of Avian Influenza. General Session OIE, Paris, 18-23 May 2003. http.www.amedeo.com.

Charles, W.B., W.S. Schnitzlein and D.N. Tripathy. 1991. Protection of Chicken Against Highly Pathogenic Avian Influenza Virus (H5N2) by Recombinant Fowl Pox Virus. Avian Dis. 35: 356-359.

Easterday, B.C., and V.S. Hinshaw, 1991. Influenza. Disease of Poultry. 9th ed. Iowa State University Press, Ames, Iowa USA.

Frank, J.F., E.P.J. Gibbs, F.A. Murphy, R. Rudolf, J.S. Michael and O.W. David, 1993. Virologi Veteriner. Terjemahan Harya Putra, D.K., Edisi Kedua, IKIP Semarang Press. Jakarta.

Garcia-Sastre A., A. Egorov and D. Matassov, 1998. Influenza A Virus Lacking The NS1 Gene Replicates in Interferon-deficient Systems. Virology; 252. http://amedeo.com/lit.php? id=9878611.

Indriani R., N.L.P.I. Dharmayanti, A. Wiyono, Darminto dan L. Parede, 2004. Deteksi Respon Antibodi dengan Uji Hemaglutinasi Inhibisi dan Titer Proteksi terhadap Virus Avian Influenza subtype H5N1. JITV Vol. 9 No. 3.tahun 2004.

Indriani, R., N.L.P.I. Dharmayanti, T. Syafriati, A. Wiyono dan R.M.A. Adjid. 2005. Pengembangan Prototipe Vaksin Inaktif Avian Influenza H5N1 Isolat Lokal dan Aplikasinya pada Hewan Coba Ditingkat Laboratorium. JITV 10(4): 315-321.

Indriani R., N.L.P.I. Dharmayanti, L. Parede dan R.M.A. Adjid, 2006. Kajian Vaksinasi Avian Influenza Subtipe H5N1 pada Burung Puter (Stretopelia bitorquata) dan Merpati (Columba livia). Disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Bogor.

Lawrence C.W., and T.J. Braciale, 2004. Activation, Differentiation, and Migration of Naive Virus-Specific CD8+ T Cells During Pulmonary Influenza Virus Infection. J Immunol 2004; 173. http://amedeo.com/lit.php?id=15240712

Machdum N., 2007. Avian Influenza, Perkembangan Kasus Avian Influenza. http://infovet. blogspot.com/2007/08/avian-influenza.html.

Mahardika I.G.N.K. 2006. Cukup Satu Hari Untuk Tahu Subtipe Hemaglutinin AI. http://infovet.multiply.com/journal. diakses pada 15 Juni 2006.

Mahardika I.G.N.K., I.N. Suartha, I.G.A.A. Suartini, I.M.S. Antara, I.M. Sukada, 2008. Model Penanggulangan Flu Burung Berbasis Hasil Penelitian yang Berkelanjutan. Makalah, Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah dalam Dies Natalis 3-6 September 2008. Universitas Udayana, Denpasar.

Mandelboim O., N. Lieberman, and M. Lev, 2001. Recognition of Haemagglutinins on Virus-Infected Cells by NKp46 Activates Lysis by Human NK Cells. Nature; 409: http://amedeo.com/lit.php?id=11234016

Naipospos, T.S.P., 2005. Arah Kebijakasanaan Pemerintah Pusat dalam Penanggulangan Wabah Avian Influenza di Indoensia. Direktorat Kesehatan Hewan, Jakarta

Nidom, C.A., 2006. Kupas Tuntas AI Versi Nidom. Info Iptek edisi 144 Juli 2006. http://infovet.multiply.com/journal.

Palladino G., K. Mozdzanowska, G. Washko and W. Gerhard, 1995. Virus Neutralizing Antibodies of Immunoglobulin G (IgG) But Not of IgM or IgA Isotypes Can Cure Influenza Virus Pneumonia in SCID Mice. J Virol; 69: http://amedeo.com/lit.php? id=7884853.

Radji, M., 2006. Avian Influenza A (H5N1): Patogenesis, Pencegahan dan Penyebaran Pada Manusia, vol 3 (2).

Sipahutar, A.M., 2007. Respon Imun. http://keperawatanadil.blogspot.com/2007/11 /respon-imun.html.

Soejoedono, S.D. dan H. Ekowati, 2002. Flu Burung. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Sopian, T., 2005. Iptek Manca Negara-Bidang Biologi, pangan dan kesehatan. Ditemukan resistensi virus flu burung terhadap oseltamivir, www.iptek.org.

Sudarisman, 2006. Pencegahan Penvakit Virus pada Hewan dengan Vaksin Mukosal. Wartazoa Vol. 16 No . 4 Tahun 2006.

Swayne, D.E. and D.L. Suarez, 2000. Highly Pathogenic Avian Influenza. Rev Sci Tech; 19:  463-468. Abstract: http:www.amedeo.com.

Tabbu, R.C., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya-Volume 1. Kanisius. Jakarta.

Tabbu R.C., 2008. AI, Virus vs Vaksinasi http://www.poultryindonesia.com/ modules.php.

Treanor J.J., 2005. Influenza Virus. In: Mandell G.L., J.E. Bennett, R. Dolin, eds. Mandell, Douglas, and Bennett's. Principles and Practice of Infectious Diseases. 6th ed. Churchill Livingstone.

World Health Orgaization, 2005. Avian Influenza: Assessing the pandemic threat. http://www.who.int/csr/disease/influenza/H5N1-9reduit.pdf.







Terima kasih telah membaca artikel tentang Perbandingan Respon Antibodi Ayam Arab (Gallus turcicus) Antara Dua dan Empat Kali Vaksinasi Flu Burung (Avian Influenza) di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com