PENDAHULUAN
Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak digemari oleh masyarakat, banyak diantara anjing-anjing tersebut mengalami gangguan penyakit diantaranya oovaritis, endometritis, metritis dan lain-lainnya. Salah satu organ yang sering mengalami gangguan adalah usus buntu (appendiks). Gangguan pada appendiks dapat berupa keradangan pembentukan mukokel, tempat parasit, tumor benigna atau maligna dapat mengalami trauma, pembentukan pistula interna atau eksterna, kelainan kongenital korpus ileum dan juga kelainan yang lainnya. Khusus untuk appendiks terdapat cara prevensi yang hanya mengurangi morbilitas dan mortalitas sebelum terjadinya gangrene (Tilley and Smith, 2000).
Saluran percernaan makanan pada anjing terdiri dari rongga mulut (cavum oris), kerongkongan (oesophagus), lambung (gastrium), usus (intestinum), caecum, colon rektum dan yang terakhir anus. Intestinum merupakan bagian dari alat pencernaan yang menempati rongga abdomen yang dimulai dari pylorus dan berakhir di rektum, penggantung intestinum adalah mesenterium. Intestinum tenue panjangnya rata-rata 4 meter pada anjing yang terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Sedangkan intestinum crasum terdiri dari caecum, colon dan rektum yang panjangnya kira-kira 60 cm (Frandson, 1982). Appendiks (Umbai cacing) yang dimulai dari caecum dan lumen appendiks bermuara ke dalam caecum. Dinding appendiks mengandung banyak folikel getah bening biasanya terletak pada iliaca kanan di belakang caecum (Henderson, 1992).
Tindakan pengobatan terhadap appendiks dapat dilakukan dengan cara pembedahan (operasi). Pada pembedahan, appendiks dikeluarkan dengan cara appendiktomy yang merupakan suatu tindakan pembedahan membuang appendiks (Puruhito, 1993). Adapun permasalahan yang mungkin timbul setelah dilakukan tindakan pembedahan antara lain : nyeri, keterbatasan aktivitas, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kecemasan potensial terjadinya infeksi (Ingnatavicus, 1991).
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Usus (Intestinum)
Usus merupakan bagian dari alat pencernaan yang menempati rongga abdomen yang dimulai dari pylorus dan berakhir di rektum. Letaknya dipertahankan oleh panggantung yang disebut dengan mesentrium (Sisson and Grossman, 1961). Secara umum usus dibagi menjadi dua bagian yaitu usus halus (intestinum tenue) dan usus besar (intestinum crosum). Usus kecil dibagi lagi ke dalam tiga yaitu: duodenum, jejunum dan ileum, pada anjing memiliki panjang kira-kira 4 m. Usus besar terdiri dari cecum, colon dan rectum yang memiliki panjang 60-70 cm (Bacha dan Bnacha, 2000). Fungsi utama usus halus yaitu untuk penyerapan sari-sari makanan yang diperlukan oleh tubuh dan membantu proses pencernaan. Fungsi usus besar adalah sebagai organ penyerap air, penampung dan pengeluaran bahan-bahan feces (Aiache, 1993).
Secara histologi usus terdiri dari beberapa lapisan yaitu; mukosa, sub mukosa, muskularis mukosa dan serosa (Colville and Bassert, 2002). Mukosa yang sehat dan suplai darah yang baik sangat penting untuk sekresi dan absorbsi normal usus. Sub mukosa terdiri dari pembuluh darah , limpatik dan saraf. Muskularis mukosa dibutuhkan untuk kontraksi normal dan serosa penting untuk pemulihan yang cepat saat terjadi perlukaan atau insisi (Fossum, 2002).
Usus Buntu (Caecum)
Usus buntu atau Caecum (Bahasa Latin: caecus, "buta") dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing. Pada kuda panjangnya sekitar 1,25 m dengan kapasitas kira-kira 25-30 liter (Idawati dkk, 2003).
Umbai cacing atau appendiks adalah organ tambahan kecil pada usus yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat dibawah katup ileocecal. Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris disebut vermiform appendiks atau hanya appendiks adalah ujung lumen usus buntu yang menyambung dengan caecum. Dinding appendiks mengandung banyak folikel getah bening biasanya appendiks terletak pada iliaca kanan di belakang caecum (Henderson, 1992). Infeksi pada organ ini disebut appendisitis atau radang umbai cacing. Appendisitis yang parah dapat menyebabkan appendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (Brunner and Suddart, 1997).
Embriologi appendiks berhubungan dengan caecum, tumbuh dari ujung inferiornya. Pada orang dewasa panjang appendiks rata-rata 9–10 cm, terletak posteromedial caecum kira-kira 3 cm inferior valvula ileosekalis. Posisi appendiks bisa retrosekal, retroileal, subileal atau dipelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak sama. Persyarafan para simpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikkularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis x, karena itu nyeri viseral pada appendiks bermula sekitar umbilikus.
Perdarahan pada appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya trombosis pada infeksi maka appendiks akan mengalami gangren. Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi appendiks.
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh (Sjamsuhidayat, 1997).
PEMBAHASAN
Telah dilakukan operasi appendikstomi pada seekor anjing betina local (Canis domestikus) yang bernama Ziezie, berumur ± 3 bulan, berat badan 2,5 kg dan berwarna kuning. Hasil anamnesa diketahui bahwa anjing tesebut mengalami nyeri bagian abdomen, lemas, anoreksia, dan muntah. Periksa frekuensi nafas, frekuensi pulsus dan suhu tubuh normal, kulit dan rambut tidak rontok. Dari anamnesa dan pemeriksaan umum hewan tersebut menderita radang pada usus buntu. Prognosa dari kasus ini fausta, sedangkan terapinya adalah dengan operasi appendikstomi.
Radang usus buntu (appendisitis) biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri dan juga akibat dari penyumbatan (obstruksi). Faktor penyumbatan disebabkan oleh hiperplasia kelenjar getah bening dan adanya fekalit (massa keras dari feses) dalam lumen appendiks. Adanya benda asing seperti cacing, stiktura karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.
Peradangan appendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks mulai dari sub mukosa lamina muskularis dan lamina serosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 – 24 jam. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan statis pada bagian distal appendiks, sehingga mucus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminar meningkat. Kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen appendiks cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem. Kondisi ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkanulserasi mukosa appendiks.
Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intra luminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Keadaan ini menyebabkan udem bertambah berat, sehingga terjadinya iskhemi dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding appendiks. Pada keadaan yang lebih lanjut tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi arterial yang kemudian terjadinya ganggren pada dinding appendiks. Gejala awal usus buntu adalah hilangnya nafsu makan yang berkembang menjadi mual dan muntah yang kemudian menyebabkan terjadinya obstruksi usus (Junaidi, 1982) .
Beberapa pemeriksaan untuk menentukan dan mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (appendisitis), diantaranya adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiology dan bedah.
1. Pemeriksaan fisik.
Pada appendisitis akut, secara kasat mata akan tampak adanya pembengkakan rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi). jika dipalpasi di daerah perut kanan bawah, dengan sedikit ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign), keadaan ini dapat didiagnosis sebagai apendisitis akut. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan rektal dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga. Suhu rektal yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.
2. Pemeriksaan Laboratorium.
Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
3. Pemeriksaan radiologi.
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit, namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam menegakkan diagnosis appendisitis (71 – 97 %). Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98 %).
Peradangan pada usus buntu sering dikelirukan dengan beberapa penyakit yang memiliki persamaan, baik dari gejala klinisnya maupun dari letak nyeri yang terasa. Beberapa Penyakit yang mirip dengan appendiks yang sering terjadi kekeliruan dalam mendiagnosa, antara lain : Gastroentseritis akut, Adenitis mesebrikum, Divertikulitis Meckeli, Enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter, salpingitis akut, dan kista ovarium terpuntir juga sering dikacaukan dengan appendicitis (Anonimous, 2010).
Penanganan dan perawatan penyakit radang usus buntu bila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk penyakit radang usus buntu (appendisitis) adalah operasi. Pada kondisi dini apabila sudah dapat langsung terdiagnosa kemungkinan pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian tingkat kekambuhannya mencapai 35%.
Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari. Selanjutnya adalah perawatan luka operasi yang harus terhindar dari kemungkinan infeksi sekunder dari alat yang terkontaminasi dll. Nonsurgical pengobatan mungkin digunakan jika operasi tidak tersedia atau pasien tidak cukup sehat untuk menjalani operasi serta diagnosis tidak jelas. Beberapa penelitian menunjukkan radang usus buntu dapat sembuh tanpa operasi. Pengobatan Non-surgical termasuk antibiotik untuk mengobati infeksi dan diet cair atau lunak sampai infeksi mereda.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aiache, M. J. dan A. M. Guyot-Herman. (1993). Bioformasi. Edisi ke-2 (penerjemah Dr. Widji Soeratri). Penerbit Airlangga. University Press. Surabaya.
Anonimous (2004). Penuntun Ilmu Bedah dan Radiology. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Siyah Kuala. Banda Aceh.
Bacha,W.J. and L.M. Bnacha. (2000). Color Atlas Histology. 2nd ed. Mosby. USA
Brunner dan Suddart. (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. EGC. Jakarta.
Colville,T.and J.M. Bassert. (2002). Clinical Anatomy and Fisiology for Veterinary Technicians. Mosby. USA.
Ignatavicus D.P, (1991). Medical surgical Nursing A Nursing Aproach , edisi I. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Digestive Surgency, Surabaya.
Fossum, T.W. (2002). Small Animal Surgery. 2nd ed. Mosby. USA.
Frandson (1982). Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4 UGM. Press.
Idawati, N., Chamisah, T. Siregar dan M. Sabri. (2003). Buku Ajar Anatomi Veteriner I. Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah. Banda Aceh.
Henderson M.A, (1992). Ilmu Bedah Untuk Perawat, Penerbit Yayasan essentia media. Jakarta.
Purnama Junaidi, Atiek S. Soemasto, Husna Amels, (1982). Kapita selecta kedokteran edisi II Media Aeskulis, FKUI
Puruhito Dr, Soetanto Wibowo Dr, Soetomo Basuki Dr, (1993). Pedoman Tehnik Operasi“OPTEK” UNAIR Press, SURABAYA.
Sjamsuhidayat dan Win Dejong, (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC
Sisson, S and D. Grossman. (1961). The Anatomy of The Domestica Animal. 14 Ed. W.B. Sauders Co. Philadelphia.
Tilley. P.L. and F.W.K. Smith. (2000). The Five Minutes Veterinary Consult Canine and Feline. 2nd ed. Lippicont. Philadelphia.
Terima kasih telah membaca artikel tentang APPENDIKS di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.