SALMONELLOSIS AKUT
SIGNALEMENT : kuda, turunan murni, jantan yang telah dikastrasi, umur 10 tahun.
MASALAH YANG TIMBUL : Diare dalam durasi 24 jam, anorexia, lemah, pirexia (demam), dehidrasi dengan taksiran mencapai 7 %, hiperpnea.
DATA LABORATORIUM
Hematology
Hct 51.5 H %
Hb 17.1 H g/dl
RBC morfologi: normal
Platelets: cukup
WBC | 4.2 | | L | x l03/µl |
Seg | 0.882 | (21%) | L | x l03/µl |
Band | 2.310 | (55%) | H | x l03/µl |
Lymph | 0.126 | (3%) | L | x l03/µl |
Mono | 0.882 | (21%) | | x l03/µl |
Eos | 0.0 | | | x l03/µl |
Baso | 0.0 | | | x l03/µl |
WBC morfologi : sitoplasma basofilia dan vakuolasi
Fibrinogen` 1100 H mg/dl
Kimia Serum
BUN | 51 | H | mg/dl |
Total protein | 7.8 | H | g/dl |
Albumin | 3.6 | H | g/dl |
A/G ratio | 0.86 | | |
Plasma protein | 8.5 | H | g/dl |
Sodium | 112 | L | mmol/L |
Potassium | 3.0 | | mmol/L |
Chloride | 100 | | mmol/L |
Total CO: | 7 | L | mmol/L |
Anion gap | 8 | L | mmol/L |
Analisis Gas Darah
HCO3 6.1 L mEq/L
PCO2 20.5 L mmHg
pH 7.10 L
PERMASALAHAN :
1. Polysitemia. Polysitemia dapat merupakan hasil dari kumpulan sel darah merah relatif atau mutlak pada peningkatan dalam jumlah sel darah merah. Polisitemia relatif lebih umumnya dan dapat disebabkan oleh dehidrasi dan kontraksi ginjal akibat dari suatu ransangan, rasa takut, atau latihan jangka pendek yang berat (respon epinefrin). Pada kuda ini, polisitemia adalah merupakan hasil dari dehidrasi (suatu efek yang dapat juga direfleksikan oleh hiperproteinemia dengan A/G normal).
2. Leukopenia, neutropenia, perubahan degeneratif bagian kiri, perubahan yang bersifat toksik dari neutrofil dan limfopenia. Perubahan-perubahan yang tampak pada leukogram memberi arti suatu prognosis yang tidak baik dan menunjukkan terjadinya suatu infeksi akut atau endotoxemia (keracunan darah).
a. Leukopenia. Neutrofil adalah leukosit yang utama yang beredar dalam darah kuda yang sehat. Oleh karena itu, neutropenia berat dapat dihasilkan di dalam kasus leukopenia.
b. Neutropenia. Neutropenia mengindikasikan gejala tidak baik. Neutropenia memberikan bentuk jaringan tissue yang membutuhkan neutrofil dalam jumlah besar. Pada kasus diare berat, intestinal merupakan jaringan organ yang memerlukan neutrofil yang banyak. Pada kasus endotoxemia, neutrofil ke dalam tempat pembentukan netrofil bagian tepi (dimana netrofil tersebut tidak dapat dihitung dengan hitungan WBC) dan dikeluarkan ke dalam jaringan atau tissue.
c. Perubahan degeneratif bagian kiri. Perubahan degeneratif juga mengindikasikan prognosis yang tidak baik. Perubahan ini pada leukogram menunjukkan bahwa pada tempat pematangan tulang belakang (bone marrow) dan tempat penyimpanan sumsum tulang belakang, neutrofil tidak dapat untuk memenuhi kebutuhan jaringan untuk fagositosis ini.
d. Perubahan neutrofil akibat racun. Adanya perubahan akibat bahan toksik (sitoplasma basofil dan vakuola) menandakan gangguan pematangan sel di dalam bone marrow. Neutrofil yang bersifat toksik juga dapat menyebabkan menurunnya dari fungsi sel yang membuat mereka kurang efektif sebagai fagositosis. Perubahan toksik juga berhubungan dengan inflamasi atau infeksi berat.
e. Limfopenia. Limfopenia berat juga mempunyai kontribusi terhadap leukopenia. Perubahan ini menandakan tingkat stress dengan pendistribusian kembali pada limfosit. Bagaimanapun pengrusakan jaringan dilimfoid oleh agen infeksius tidak dapat diabaikan.
3. Hiperfibrinogenemia. Hiperfibrinogenemia ekstrim juga memperkuat cirri-ciri peradangan pada suatu penyakit. Fibrinogen adalah suatu reaksi fase akut yang konsentrasinya meningkat pada penyakit peradangan akut menjadi akut. Dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan relatif dalam konsentrasi fibrinogen, tetapi perhitungan pada rasio protein/fibrinogen (8,5 / 1,1 = 7,7) mengindikasikan adanya hiperfibrinogenemia. Pada beberapa individual, hiperfibrinogenemia dapat mengetahui terjadinya perubahan-perubahan dalam leukogram.
4. Azotemia. Peningkatan konsentrasi BUN mengindentifikasikan adanya azotemia. Dehidrasi penyebab yang umum dari prerenal azotemia: bagaimanapun juga, pemeriksaan urin dan informasi klinis lainnya adalah dibutuhkan untuk membuka renal dan prerenal penyebab azotemia.
5. Hiperproteinemia, hiperalbuminemia, dan rasio A/G normal
a. Hiperproteinemia. Hiperproteinemia dapat bersifat relatif atau mutlak. Yang relatif biasanya disebabkan oleh dehidrasi, dan yang absolute berhubungan dengan produksi immunoglobulin. Hiperfibrinogenemia tidak termasuk di dalamnya karena serum protein diukur dari profil biokimia (fibrinogen hanya hadir di dalam plasma).
b. Hiperalbuminemia. Tubuh tidak memproduksikan jumlah albumin yang berlebihan. Oleh karena itu, perubahan ini seharusnya menjadi suatu peningkatan relatif di dalam konsentrasi albumin akibat dehidrasi.
c. Rasio A/G normal. Kehadiran rasio A/G normal mengindikasikan konsentrasi albumin dan globulin telah meningkat bersama-sama sebagai akibat dari dehidrasi.
6. Hiponatremik dehidrasi. Hiponatremia terutama yang berat, mengindikasikan kehilangan sodium yang lebih banyak dan tidak proporsional dibandingkan dengan kehilangan air. Penemuan laboratorium ini adalah ciri khas dari diare akut pada kuda. Meskipun konsentrasi klorida dalam serum adalah tidak lebih dari interval normal, isi total klorida tubuh adalah rendah (serum klorida x penurunan volume ECF). Kecuali diukur sebaliknya, osmolalitas diduga menjadi rendah disebabkan oleh hiponatremia berat. Hilangnya ion K+ dengan diare dan perubahan internal ion K+ dari ICF menjadi ECF diakibatkan oleh habisnya total acidemia tubuh K+, walaupun serum konsentrasi K+ serum berada dalam interval normal pada saat ini.
7. Metabolik asidosis. Metabolik asidosis berat terlihat. Walaupu penggantian pernafasan diindikasikan dengan rendahnya PCO2, pH darah adalah mengalami penurunan yang membahayakan (asidemia). Hilangnya cairan pada intestinal yang kaya akan HCO3 diindetifikasikan dengan anion gap normal dan konsentrasi Cl normal pada permukaan hiponatremia berat (hipoklorida kimia).
Asidosis menyebabkan ICFK+ ECFK+ diseimbangkan dengan hilangnya dari ECFK+ di dalam cairan diare pada saat pengambilan sampel. Gap anion normal termasuk titrasi dari HCO3 sebagai penyebab dari asidosis.
Salmonellosis yang disebabkan oleh berbagai spesies dan serotype kuman salmonella pada pedet dan sapi dewasa, atau pada spesies ternak lainnya, mengakibatkan septisemia dan radang usus yang akut maupun kronik. Pada hewan betina yang sedang bunting salmonelosis dapat menyebabkan keluron.
Salmonela sering bersifat pathogen untuk manusia atau hewan lain bila masuk melalui mulut. Bakteri ini ditularkan melalui hewan, produk hewan kepada manusia dan menyebabkan enteritis, infeksi sistemik dan demam enterik.
Penyebab salmonellosis adalah genus Salmonella. Bakteri ini bersifat gram negatif dan terbagi-bagi dalam grup, subgroup, dan serotipe. Berdasarkan nomenklatur yang disusun tahun 1996, genusSalmonella hanya dibagi menjadi 2 spesies, yakni Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica dibagi menjadi 6 subspesies, yakni enterica, salamae, arizonae, diarizonae, houtanae, dan indica. Menurut klasifikasi Kauffmann-White, yang didasarkan atas antigen somatic “O” dan antigen flagella “H” ditemukan sekitar 2.000 serotipe di dunia.
Berdasarkan spesifitas induk semang, serotipe yang ada dapat dikelompokkan menjadi :
a. S. typhi, S. paratyphi A,B dan C penyebab demam enteric (typhoid) hanya pada manusia.
b. S. dublin (sapi), S. cholera suis (babi), S. gallinarum dan S. pullorum (unggas), S. abortus equi (kuda), dan S abortus ovis(domba). Salmonella spp yang beradaptasi pada hewan jenis tertentu jarang menimbulkan penyakit pada manusia dan bersifat Salmonellosis non typhoid.
Golongan O | Spesies |
D | S.typhi |
A | S.paratyphi |
C1 | S.choleraesuis |
B | S.typhimurium |
D | S.enteritis |
Distribusi kejadian salmonellosis tersebar di seluruh dunia baik pada hewan ataupun manusia. Adapun kejadian salmonellosis pada hewan dan manusia adalah sebagai berikut:
Macam-macam hewan yang peka terhadap infeksi bakteri Salmonella sp.adalah sebagai berikut:
·Unggas
Ayam : S. gallinarum dan S. pullorum
Burung : S. enteritidis
·Hewan Ternak
Sapi : S. dublin
Domba dan Kambing :S. typhimurium, S. bovis morbicans, S. derby, dan S. havana
Kuda : S. typhimurium, S. bovis-morbificans dan S. Newport
Babi : S. Cholerasuis
·Hewan Liar
Pernah dilaporkan bahwa satwa liar juga bisa menularkansalmonellosis seperti primata, iguana, ular, dan burung.
Salmonella sp. Berkembangbiak dengan baik pada suhu di atas 240C, terhambat perkembangannya pada suhu 100C, dan tidak berkembang sama sekali pada suhu di bawah 50C.
PENGOBATAN
Antibotik yang digunakan dalam pengobatan salmonellosis adalah kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3 – 4 kali pemberian dan diberikan secara oral atau intravena, selama 14 hari. Jika terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol, diberi ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3–4 kali pemberian yang diberikan secara intravena selama 21 hari atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3–4 kali pemberian yang diberikan secara oral/intravena selama 21 hari. Kotrimoksasol dengan dosis 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 – 3 kali pemberian yang diberikan secara oral selama 14 hari. Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari diberikan sekali sehari secara intravena selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon. Tahun 1972 dilaporkan di Mexico bakteri S. typhi telah resisten terhadap antibiotik kloramfenikol. Di Amerika Serikat, India, Thailand, dan Vietnam dilaporkan juga bahwa beberapa strain bakteri salmonella sudah resisten terhadap kloramfenikol.
KESIMPULAN : salmonellosis telah dipastikan pada saat nekropsi.
WAHYUDI, SKH
0902101020059
Terima kasih telah membaca artikel tentang SALMONELLOSIS PADA KUDA di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.