RIWAYAT KASUS
Seekor sapi kepunyaan Pak Abu dengan alamat Miruek Taman. Dengan signalement: sapi berjenis kelamin jantan, breed Brahman dengan umur ± 7 bulan dan berat badan ± 100 Kg. Anamnesa yang diperoleh, sapi tersebut telah mengalami anoreksia selama 4 hari. Status present memperlihatkan keadaan umum: gizi baik, temperamen jinak dan habitus lordosis. Suhu tubuh: 38,5 ºC (anus). Kulit dan bulu: kusam. Selaput lendir: pucat.
Pada pemeriksaan secara laboratorium dengan menggunakan mikroskop dimana sampel yang diambil adalah feses maka ditemukan telur cacing nematoda (haemonchus). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sapi tersebut mengalami penyakit yang disebabkan oleh cacing haemonchus atau penyakitnya disebut haemonchosis. Sehingga terapi yang diberikan adalah Albenol sebanyak 30 ml.
METODE PEMERIKSAAN LABORATORIUM
- Metode Natif
Cara Kerja:
- Diambil segumpal tinja, kemudian ditaruh di atas gelas objek
- Diteteskan air dan diratakan
- Ditutup dengan kaca penutup
- Diperiksa dengan mikroskop (10x10)
- Metode Apung
Cara Kerja:
- Diambil 1 gram tinja, ditaruh dalam mortir
- Ditambahkan 5 ml larutan garam jenuh
- Digerus sampai halus dan homogen
- Ditambah lagi 20 ml garam jenuh, diaduk hingga homogen
- Dimasukkan larutan tinja ke dalam sebuah tabung sampai permukaannya cembung
- Didiamkan 15 menit
- Disentuhkan permukaan bawah gelas penutup dengan hati-hati, diletakkan di atas gelas objek
- Dicari dan diidentifikasi jenis telur cacing di bawah mikroskop pembesaran 10x10
PEMBAHASAN KASUS
Haemonchosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing haemonchus yang paling sering menyerang ruminansia, terutama sapi, domba dan kambing. Dan merupakan genus dari nematoda (Levine, 1977). Soulsby (1987) mengatakan bahwa cacing nematoda adalah sekelompok cacing yang berbentuk bulat panjang dengan salah satu ujungnya meruncing dan menginfeksi saluran pencernaan ternak ruminansia. Kepalanya berdiameter kurang dari 50 mikron, dengan kapsula bukal yang kecil berisi gigi yang ramping atau lanset di dasarnya, dan tiga bibir yang tidak menarik perhatian. Terdapat papilla servikal yang jelas menyerupai bentuk duri. Spikulum relatif pendek dan terdapat sebuah gubernakulum. Vulva terdapat di bagian posterior tubuh dan sering ditutupi oleh cuping. Siklus hidup haemonchus mirip dengan siklus Trichostrongylus.
Menurut Levine (1977), Ada beberapa species haemonchus yang bisa menyerang sapi yaitu Haemonchus placei, Haemonchus similis, Haemonchus contortus. Haemonchus placei merupakan cacing perut yang besar pada sapi. Yang jantan mempunyai panjang 10-20 mm dan berdiameter 400 mikron, dengan spikulum yang panjangnya kurang dari 440 mikron dan gubernakulum dengan panjang sekitar 200 mikron. Betinanya 18-30 mm dan berdiameter 500 mikron, dengan telur berukuran 62-90 x 39-50 mikron. Ovarium yang putih membelit secara spiral mengelilingi usus yang berwarna merah, menyebabkan cacing betina mirip barperpole.
Cacing ini terdapat pada abomasum sapi, tetapi dapat menginfeksi domba dan ruminansia lain. Pada dasarnya mirip dengan H.contortus, tetapi spikulum pada cacing jantan lebih panjang dan mempunyai kait-kait terminal yang panjang. Cuping vulva cacing betina biasanya mengecil menjadi bintil, dan larva lebih panjang dan lebih kuat. Biasanya spikulum panjangnya lebih dari 440 mikron. Telur berukuran 69-95 x 35-54 mikron.
Haemonchus contortus merupakan cacing lambung yang besar, disebut juga cacing yang berperpole, cacing lambung berpilin, atau cacing kawat pada ruminansia. Cacing ini disamping terdapat pada abomasum domba, kambing juga terdapat pada abomasum sapi, bahkan bisa juga terdapat pada ruminansia lain dan telah dilaporkan pada manusia cacing ini ditemukan di seluruh dunia, dan merupakan parasit paling penting pada domba di berbagai daerah, terutama penting untuk daerah yang beriklim panas, lembab.
Haemonchus similis disamping terdapat pada abomasum domba juga terdapat pada abomasum sapi di beberapa negara di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Asia dan Fiji. Di AS telah ditemukan hanya negara-negera bagian di sebelah selatan. Cacing ini lebih kecil daripada H,contortus. Cacing jantan 8-13 mm dengan spikulum 310-380 mikron dan gubernakulum dengan panjang 148-210 mikron. Cacing betina panjangnya 12-17 mm, dengan telur 64-82 x 39-49 mikron.
Etiologi
Hamonchosis disebabkan oleh haemonchus sp, cacing ini tinggal di dalam lambung asam (abomasum) ternak. Cacing dewasa yang tinggal dalam lambung asam akan menghasilkan telur-telur. Kemudian telur dikeluarkan bersama tinja. Di alam yang kondisinya sesuai, telr tersebut akan menetasda meghasilkan larva. Larva cacing ini menempel pada rumput. Selanjutnya infeksi akan terjadi apabila ternak yang sehat makan rumput yang tercemar oleh larva cacing tersebut.
Patogenesa
Cacing lambung ini sangat berbahaya, karena selain menghisap darah, daya berkembangbiakannya sangat tinggi. Kadang-kadang hewan bisa mati. Anemia terjadi akibat perdarahan akut dimana cacing menghisap darah 0,05 ml perhari.
Pada haemonchosis akut anemia kelihatan dua minggu setelah infeksi yang ditandai dengan penurunan yang cepat dan dramatis volume sel-sel darah merah. Minggu-minggu selanjutnya hematokritnya tetap rendah karena eritropoisis bekerja 2-3 kali lebih banyak untuk menutupi anemia akut ini. Akan tetapi karena kehilangan zat besi dan protein secara teru-menerus mengakibatkan eritropoisis tidak mampu menandingi sehingga angka hematokrit terus menurunsebelum hewan mati.
Haemonchosis hiperakut terjadi bila 30.000 ekor cacing menginfeksi ternak. Ternak yang kelihatan sehat tiba-tiba mati mendadak karena radang lambung dan perdarahan yang hebat. (hal ini jarang terjadi).
Yang sering terjadi dan kurang diketahui kehadirannya adalah haemonchosis kronis yang terjadi karena musim kering yang panjang dan re-infeksi dapat diabaikan akan tetapi makanan tidak mencukupi. Selama periode tersebut kehilangan darah walaupun sedikit namun terus-menerus cukup untuk menghasilkan gejala-gejala klinis yang terutama ditampakkan umumnya dengan kehilangan berat badan , lemah dan kehilanga nafsu makan.
Gejala klinis
Gejala klinis yang tampak pada ternak yang mengidap cacing ini adalah:
a). Pada tingkat infeksi berat, ternak akan terserang anemia yang sangat cepat sehingga akan menimbulkan kematian.
b). Pada tingkat infeksi yang agak ringan, ternak akan menunjukkan gejala lemah, pucat bagian selaput lendir mata, bulunya suram, nafsu makan berkurang, jalannya sempoyongan dan akhirnya tak mampu lagi berjalan.
Gejala diare jarang terjadi karena cacing ini tinggal dalam abomasum. Apabila dijumpai gejala diare ada kemungkinan hewan mengalami komplikasi dengan penyakit lainnya.
Epidemiologi
Tergantung pada daerah tropis atau subtropis dan sedang.
Tropis dan subtropis
Karena perkembangan larva Haemonchus terjadi secara optimal pada temperatur yang relatif tinggi, haemonchosis praktis merupakan satu penyakit ternak pada daerah-daerah yang beriklim panas. Akan tetapi, karena kelembaban yang tinggi paling kurang pada lingkungan mikro feses dan rumput juga penting untuk perkembangan dan keselamatan larva. Frekuensi da keparahan penyakit ni sangat tergantung pada curah hujan pada daerah tertentu.
Dengan kondisi iklim ini kejadian haemonchosis akut yang tiba-tiba kelihatannya tergantung pada dua faktor:
- tingginya ttgt (telur tiap gram tinja) yang mengakibatkan tingginya jumlah L3 di padang pengembalaan dengan cepat
- tidak adanya kekebalan dapatan pada ternak yang terdapat di daerah endemik.
Di beberapa daerah tropis dan subtropis seperti Australia, Brazil, Timur tengah dan Nigeria kelangsungan hidup parasit juga berhubungan kemampuan larva untuk mengalami hipobiosis. Hipobiosis terjadi pada saat awal musim kering yang panjang dan membuat parasit bertahan dalam tubuh induk semang sebagai L4 dari pada dewasa dan menghasilkan telur yang tidak akan mampu berkembang di padang rumput. Permulaan perkembangan terjadi sesaat sebelum musim hujan dimulai.
Iklim Sedang
Berbeda dari tropis dan subtropis. L3 tertelan oleh ternak pada awal musim panas dan sebagian besar dari L4 akan terhenti perkembangannya di abomasum dan tidak komplit perkembangannya sampai musim semi berikutnya. Selam masa pendewasaan larva hipobiosis ini gejala klinis haemonchosis akut dapat terjadi.
Kerugian Ekonomi
Penyakit cacing pada ternak memberikan kerugian ekonomi yang sangat berarti. Dimana DITKESWAN (1980) menyampaikan bahwa kerugian akibat cacing nematoda saluran pencernaan ditaksir dapat mencapai milyaran rupiah setiap tahun. Dan pada tahun 1985 saja perkiraan kerugian akibat haemonchosis mencapai 4,7 juta dollar USA per tahunnya (Ronohardjo et al., 1985).
Diagnosa
Diagnosis penyakit selain didasarkan atas pengamatan gejala klinis, perlu juga disertai pemeriksaan laboratorium (mikroskopis) untuk mengidentifikasi telur cacing. Dimana bahan pemeriksaan yang diprlukan adalah tinja (faeses) ternak yang bersangkutan.
Pemeriksaan telur cacing dalam faeses dapat dilakukan dengan metode natif dan metode apung.
Menurut anonimus (2003) bahwa dalam satu daerah ada satu kemungkinan besar bahwa sekelompok cacing terdapat pada sekelompok umur hewan pada waktu tertentu dalam tahun tertentu pula.oleh karena itu, anemia yang terjadi pada pertengahan musim gembala, maka haemonchus patu dicurigai sebagai penyebabnya.
Jika hewan mati atau merana, pemeriksaan paska mati beberapa hewan tersebut merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menentukan spesies cacing apa penyebabnya dan berapa jumlahnya. Turunnya berat badan dan diare, dan anemia adalah gejala yang tipikal dari helminosis pada ruminansia, akan tetapi agen infeksius yang lain dan beberapa kasus keracunan dapat juga menyebabkan gejala yang sama. Oleh karena itu, perlu tetap diingat kemungkinan adanya agen penyakit lain sewaktu melakukan pemeriksaan paska mati.
Pengobatan
Menurut Anonimus (2003) bahwa penyakit cacing (Helmintosis) pada hewan ternak merupakan masalah kelompok dan sebaiknyalah diperlakukan begitu. Antelmentika yang biasanya digunakan untuk membasmi cacing nematoda saluran pencernaan adalah:
- organofosfat seperti trikhlorfon, coumaphos, reulene dan lain-lain
- benzimidazole seperti thiabendazole, mebendazole, cambendazole, fembendazole, oxfendazole
- methyridine
- thiazole seperti tetramisole, levamisole
- microcyclic lactone seperti avermectin, doramectin dan milbemicine.
Semua obat ini pemakaiannya melalui oral akan tetapi tetramisol, levamisol dan golongan macrocyclic lactone dapat digunakan melalui suntikan. Dua antelmemtika pertama telah digunakan sejak tahun 1960, umumnya mempunyai spektru yang luas dan kurang efektif terhadap larva cacing dalam jaringan. Umumnya batasan amannya antara dosis terapis dan dosis toksik lebar kecuali beberapa antelmentika dari golongan organofosfat. Cacing yang resisten terhadap benzimidazole sudah sering dilaporkan sebagai akibat pemakaian antelmentika ini secara berulang-ulang.
Pengendalian dan Pencegahan
Disamping pemberian antelmentika, pengendalian haemonchosis dapat dilakukan dengan menekan jumlah larva infektif melalui pengeringan lapangan tempat ternak merumput, melakukan penghitungan telur cacing per gram tinja induk semang sampai batas patogen yaitu 300 butir telur per gram tinja (t.p.g) serta melakukan pencegahan yaitu menyapih pedet seawal mungkin karena ternak dewasa merupakan sumber infeksi bagi hewan muda, mencegah pencemaran pakan dan minuman dari tinja dan menyediakan tempat yang telah didesinfeksi atau padang rumput yang tidak terinfeksi cacing untuk melahirkan (Levine, 1990).
Anonimus (2006) menambahkan bahwa tindakan yang dapat diambil yaitu memisahkan hewan yang muda dengan yang dewasa. Karena hewan yang muda sangat rentan terhadap infeksi parasit cacing. Selain itu harus dijaga kebersihan kandang dan menghindari tempat yang basah atau becek. Salah satu hal yang termasuk usaha pencegahan adalah dengan memberikan makanan yang bernilai gizi tinggi. Terutama terhadap ternak yang masih muda. Pemeriksaan kesehatan ternak perlu dilakukan secara rutin.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2006. Manual Pengobatan Hewan Bagi Paramedik Veteriner dan Pelaksana Teknis Peternakan. Dinas Pertanian dan Peternakan.
Anonimus. 2006. Penuntun Praktikum Penyakit Parasitik. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.
Anonimus. 2003. Buku Ajar Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.
DITKESWAN. 1980. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid II. Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian Indonesia.
Levine, N.D. 1977. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Saulsby, E.J.L. 1987. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. The English Language Book Society and Bailliere, Tindall, London.
Terima kasih telah membaca artikel tentang HAEMONCHOSIS di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.