Secara terminologi atresia ani berarti : Atresia (Tresis) berarti keadaan
tidak ada atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubulur secara
kongenital, disebut juga clausura sedangkan, ani berarti anus imperforata jadi
atresia ani adalah bentuk kelainan bawaan dimana tidak adanya lubang dubur
terutama pada bayi, rektum yang buntu terletak di atas levator saling yang juga
dikenal dengan istilah "AGNESIS REKTUM". Atresia
ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar
(Cook dkk, 1995). Atresia ani tidak
lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara
abnormal. Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana
rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan. Jadi
menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana
anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus
akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada
pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
Kelainan bawaan yang terjadi pada daerah anus dan rectum tidak jarang
terjadi sewaktu pada masa embrio, anus dan rectum mempunyai pusat pembentukan
saluran masing-masing yang dalam keadaan normal kemudian akan bersambung dan
menyatu membentuk sebuah saluran, kegagalan pembentukan saluran ini akan
menyebabkan beberapa kelainan seperti atresia ani, atresia ani dan recti, anus
dan rektum yang dipisahkan oleh membran tipis, stenosis rekti,atresia ani dengan
fistula, prolapsus ani dan recti.
Suatu organ yang tertutup pada daerah anus merupakan klasifikasi dari
Atresia Ani. Pada hewan terdapat empat (IV) tipe dasar Atresia Ani. Atresia Ani
Pada tipe pertama (I), merupakan penyakit bawaan sejak lahir dimana diketahui
hewan ini tidak memiliki anus. Atresia Ani tipe kedua (II) hewan memiliki
kekuatan untuk menahan keluarnya feses dari luar anus dan rectum yaitu
daerah-daerah yang menahan tersebut di mulai dari cranial sampai ke anus.
Atresia Ani tipe ketiga (III) juga
menutupi anus, tetapi buntunya sampai ke daerah rectum, lebih jauh lagi dari
daerah kranioal. Atresia Ani tipe
keempat (IV) anus dan rectum berkembang normal dapat dilihat mulai dari daerah
cranial sampai lahir pembungkus kantung saluran pelvis.
Pada dasarnya organ pada anus
selalu memiliki aturan normal dengan kata lain terbentuk dengan normal. Namun
kelainan ini. Dapat juga dikatakan rectum berkembang penuh (sempurna) namun tidak
terbentuknya anus. Pada infeksi hanya terlihat kulit pada daerah dimana dubur
dan yang seharusnya terlihat lubang dari dubur tersebut. (tidak ada lubang
dubur), pada kondisi ini dalam beberapa belas jam akan ditemukan gejala ileus
abstruksi pada hewan yang menderita Atresia Ani.
Klasifikasi atresia ani
Secara fungsional, pasien
atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1.
Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis
dicapai melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi
perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar,
dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan
dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2.
Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme
apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk
intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3
sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah /
infralevator
Rectum mempunyai jalur desenden normal
melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang
berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.
2. Anomali
intermediet
Rectum berada pada atau di bawah
tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada
posisi yang normal.
3.
Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis
dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls
genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak
antara ujung buntu rectum sampai
kulit perineum lebih daai1 cm.
Terdapat
bemacam – macam klasifikasi kelainan anorektal menurut beberapa penulis.
Menurut (Carpenito, Juall,
1997) terdapat 4 tipe :
1.
Tipe I stenosi ani kongenital.
2.
Tipe II anus imperforata membranase,
3.
Tipe III anus imperforata,
4.
Tipe IV atresia recti.
Klasifikasi ini sekarang sudah ditinggalkan. Klasifikasi
berdasarkan hasil foto:
Menurut
(Raffensperger dan Swenson's 1992), bila bayangan udara pada ujung rectum dari foto di
bawah garis puboischias adalah tipe rendah, bila bayangan udara diatas garis
pubococcygeus adalah tipe tinggi dan bila bayangan udara diantara garis
puboischias dan garis pubococcygeus adalah tipe intermediet. Klasifikasi
internasional mempunyai arti penting dalam penatalaksanaan kelainan anorektal.
Benson (1962) membagi berdasarkan garis
pubocoxigeus dan garis yang melewati ischii kelainan disebut :
· Letak
tinggi : rectum berakhir diatas m.levator ani (m.pubo coxigeus).
· Letak
intermediet : akhiran rectum terletak di m.levator ani.
· Letak
rendah : akhiran rectum berakhir bawah m.levator ani.
Anamnesis perjalanan penyakit yang khas
dan gambaran klinis perut membuncit seluruhnya merupakan kunci diagnosis
pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis ialah
pemeriksaan radiologik dengan enema barium. disini akan terlihat gambaran
klasik seperti daerah transisi dari lumen sempit kedaerah yang melebar. pada
foto 24 jam kemudian terlihat retensi barium dan gambaran makrokolon pada
hirschsprung segmen panjang. Pemeriksaan biopsi hisap rektum dapat digunakan
untuk mencari tanda histologik yang khas yaitu tidak adanya sel ganglion
parasimpatik dilapisan muskularis mukosa dan adanya serabut syaraf yang menebal
pada pemeriksaan histokimia, aktifitas kolinaterase meningkat.
Atresia ani biasanya jelas
sehingga diagnosis sering dapat ditegakkan segera setelah bayi lahir dengan
melakukan inspeksi secara tepat dan cermat pada daerah perineum. Diagnosis
kelainan anurektum tipe pertama dan keempat dapat terlewatkan sampai diketahui
bayi mengalami distensi perut dan tidak mengalamikesulitan mengeluarkan
mekonium.Pada bayi dengan kelainan tipe satu/kelainan letak rendah baik berupa
stenosis atau anus ektopik sering mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium.
Pada stenosis yang ringan, bayi sering tidak menunjukkan keluhan apapun selama
beberapa bulan setelah lahir.
Megakolon sekunder dapat
terbentuk akibat adanya obstruksi kronik saluran cerna bagian bawah daerah
stenosis yang sering bertambah berat akibat
mengerasnya tinja. Bayi dengan kelainan tipe kedua yang tidak disertai
fistula/fistula terlalu kecil untuk dilalui mekonium sering akan mengalami
obstruksi usus dalam 48 jam stelah lahir. Didaerah anus seharusnya
terentukpenonjolan membran tipis yang tampak lebih gelap dari kulit
disekitarnya, karena mekonium terletak dibalik membrane tersebut. Kelainan
letak tinggi atau agenesis rectum seharusnya terdapat suatu lekukan yang
berbatas tegas dan memiliki pigmen yang lebih banyak daripada kulit
disekitarnya sehingga pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan lubang fistulla
pada dinding posterior vagina/perinium, atau tanda-tanda adanya fistula
rektourinaria.
Fistula rektourinaria biasanya
ditandaioleh keluarnya mekonium serta keluarnya udara dari uretra. Diagnosi
keempat dapat terlewatkan sampai beberpa hari karena bayi tampak memiliki anus
yang normal namun salurran anus pendek dan berakhir buntu. Manifestasi
obstruksi usus terjadi segera setelah bayi lahir karena bayi tidak dapat
mengeluarkan mekonium. Diagnosis biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan colok
dubur.
PENEMUAN KLINIS
Etiologi secara
pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan
anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan
rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus,
sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih
jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25%
untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom
genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk
menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan
pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai
dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.
Pada kasus atresia ani dan
recti kebuntuan anus dan rekti dapat pula disertai dengan kebuntuan kolon
desendens, diagnosa kelainan ini secara pasti juga hanya diketahui melalui
pemeriksaan rontgen dan apabila hewan
diinginkan tetap hidup, maka satu-satunya mengatasi ileus obstruksi dengan
kolostomi permanen, yang kemudian setelah hewan relatif cukup kuat, dilanjutkan
dengan operasi melalui rongga perut.
Gejala Klinis
Gejala yang menunjukkan
terjadinya atresia ani atau anus imperforate terjadi dalam waktu 24 sampai 48
jam dengan gejala yang tampak yaitu perut kembung, muntah, tidak bias buang air
besar, pada pemeriksaan radiology dengan posisi tegak serta terbalik dapat
dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan, tidak dapat atau megalami kesulitan
mengeluarkan mekonium (mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
Hewan yang mengalami penyakit
Atresia Ani tipe pertama (I) menunjukkan
penderitaan dengan menahan rasa sakit hingga terjadi kelemahan.
Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan pada tipe ini adalah konstipasi, kelemahan
tenesmus, pembukaan stenotic pada anus. Kemudian pemeriksaan yang dilakukan
adalah pemeriksaan pada daerah perinial.
Anak-anak anjing dan kucing
yang baru lahir, penderita Atresia Tipe Kedua (II), secara klinis tampak
normal, untuk jangka waktu 2 sampai 4 minggu pada usia mereka, dan kemudian
akan mengalami anoreksia, kegelisahan, kelemahan dan pembesaran abdomen, tidak
ada proses defekasi (buang air besar). Untuk Atresia Ani tipe II dan III, mulai
tampak sebuah lekukan yang terlihat pada anus yang tertutup.
Antresia Ani pada hewan yang
baru dilahirkan menunjukkan gejala perejanan. Anus yang tidak ada dan biasanya
tampak penononjolan pada daerah perineum, yang seharusnya berfungsi sebagai
pengumpulan feses dan meconium.
Gejala yang menunjukan
terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48
jam. Manifestasi klinis yang terjadi
pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak
ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada
perineum (Wong dan Donna, 2003). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika
bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan
intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat
menonjol. Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga
merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat
berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena
cairan mekonium.
MATERI DAN METODE OPERASI
Persiapan Alat-alat Operasi
Alat yang digunakan meliputi :
-
Scalpel dan blade
-
Gunting lurus
-
Gunting bengkok
-
Arteri klem
-
Needle holder
-
Needle
-
Pinset anatomis
-
Pinset chirurgis
-
Alli’s forceps
-
Dook steril
-
Dook klem
-
Tampon
-
Benang catgut dan cotton secukupnya
-
Kapas secukupnya
Persiapan Obat-obatan dan Kemikalia
Obat dan kemikalia yang diperlukan dalam operasi
ini antara lain:
-
Atropin sulfat 0,025% dosis 0,02-0,04 mg/kg BB
-
Ketamin 10% dosis 10-40 mg/kg BB
-
Xilazin 10% dosis 2-3 mg/kg BB
-
Larutan penicili-streptomicin
-
Ampisilin 10%
-
Alkohol 70%
-
Yodium tincture 3%
-
Salep Betadine
-
Larutan
PK dan Larutan DR 5%
Persiapan Operasi
Operasi Atresia Ani pada hewan yang penyakit ini perlu
dilakukan dengan diagnosa yang tepat maupun dengan fhoto roentgen. Keberhasilan operasi ini dipengaruhi
antara lain persiapan sebelum menjalankan operasi, penanganan operasi yang
sempurna serta perawatan pasca operasi.
Persiapan Hewan
Sebelum operasi dilakukan hewan terlebih dahulu
diperiksa, yaitu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah secara laboratorik
umum yang dilakukan meliputi anamnesa, penghitungan frekwensi napas, frekwensi
pulpus, temperatur, berat badan, pemeriksaan kulit dan rambut, susunan alat
pencernaan, perkencingan, peredaran darah, susunan pernafasan dan susunan
syaraf. Pemeriksaan darah secara laboratorik meliputi kadar PCV, Hb, RBC, WBC,
diferensial leukosit, kadar TPP dan fibrinogen. Hewan sebelum dioperasi
dipuasakan terlebih dahulu selama ± 12 jam. Kemudian hewan diberi Premidikasi yang
digunakan adalah atropin sulfat dengan dosis 0,02-0,04 mg/kg BB secara
subkutan. 10 menit kemudian dilanjutkan dengan pemberian ketamin dengan dosis
10-40 mg/kgBB, xilazin dengan dosis 2-3 mg/kg BB secara intramuskular. Setelah
pemberian anestesi, kemudian hewan direbahkan dengan posisi rebah dorsal
kemudian bulu daerah abdomen dicukur dan dibersihkan. Setelah bersih kemudian
diolesi dengan yodium tincture.
Persiapan Operator dan Cooperator
Sebelum
operasi operator dan cooperator mencuci tangan dari ujung jari sampai ke siku
dengan air sabun dan dibilas dengan air bersih. Tangan dikeringkan dengan
handuk bersih kemudian didisinfeksi dengan alkohol 70%, kemudian operator dan
cooperator menggunakan sarung tangan dan pakaian khusus. Keadaan aseptis
tersebut dipertahankan hingga operasi selesai.
Pelaksanaan Operasi
Anestesi Umum
Hewan
diletakkan dengan posisi dorsal recumbency, pemberian ketamin dengan dosis 10-40 mg/kg BB,
xilazin dengan dosis 2-3 mg/kg BB secara intramuskular.. Sebelumnya
diberikan premedikasi dengan antropin sulfat 0,025 % secara sub cutan.
Cooperator memantau frekwensi kerja jantung dan nafas. Stadium 3 plane 3
ditandai dengan respirasi abdominal dengan amplitude yang minimal, bola mata
terletak di tengah, jaw tension menghilang dan reflek pedal hilang sama sekali
yang berarti hewan tersebut telah teranestesi sempurna dan siap untuk
dioperasi.
Teknik Operasi
Hewan dengan atresia ani
tipe I diobati dengan cara membuang secara total penyumbatan pada rektum.
Perawatan pada spincter ani externus lebih ditekankan. Pada hewan dengan
atresia ani tipe II dan tipe III, dilakukan pembedahan. Dalam menyayat sangat
penting sekali diperhatikan sphincter ani externus, saccus anal dan
pembukaannya, setelah ditemukan bagian distal rektum, lakukan diseksi pada
jaringan di sekelilingnya dengan gunting tumpul dan musculusnya dipindahkan.
Karena kepekaan jaringan di daerah rektal, diseksi yang dilakukan haruslah
dengan sangat teliti. Bagian distal kantong rektal diangkat melalui otot-otot
sphincter, buka dan jahit hingga sekeliling lapisan subcutan dengan benang dan
jahit dengan satu lapis benang absorbable monofilamen dengan pola jahitan
simple interupred. Pada hewan dengan tipe IV, pada abdomennya agak sukar
dipindahkan bagian distal colon dan rektum karena sangat potensial sekali
terkontaminasi dan terinfeksi dan antibiotik sangat disarankann dan dilakukan
dilakukan pembedahan dengan laparatomi (Slatter, 1993).
Penanganan tipe empat dilakukan dengan
kolostomi yaitu Insisi Thorakoabdominal,
baik kanan maupun kiri, akan membuat cavum pleura dan cavum abdomen menjadi
satu. Dimana insisi ini akan membuat akses operasi yang sangat baik. Insisi
thorakoabdominal kanan biasanya dilakukan untuk melakukan emergensi ataupun
elektif reseksi hepar Insisi thorakoabdominal kiri efektif jika dilakukan untuk
melakukan reseksi dari bagian bawah esophagus dan bagian proximal dari lambung.
Penderita berada dalam
posisi “cork-screw”. Abdomen diposisikan kira-kira 45° dari garis horizontal,
sedangkan thorax berada dalam posisi yang sepenuhnya lateral. Insisi pada
bagian abdomen dapat merupakan midline insision ataupun upper paramedian
insision. Insisi ini dilanjutkan dengan insisi oke spasi interkostal VIII
sampai ujung scapula. Setelah abdomen dibuka, insisi pada dada diperdalam
dengan menembus m.latissimus dorsi, serratus anterior, dan obliquus externus
dan aponeurosisnya. Insisi pada abdomen tadi dilanjutkan hingga mencapai batas
costa. M.Intercostal 8 dipisahkan untuk mencapai cavum pleura. Finochietto chest retractor dimasukkan
pada intercostal 8 dan pelan-pelan di buka. Dan biasanya kita tidak perlu untuk
memotong costa. Diphragma dipotong melingkar 2 – 3 cm dari tepi dinding lateral
toraks sampai hiatus esofagus untuk menghindari perlukaan n.phrenicus. Pada
akhir operasi dipasang drain toraks lewat irisan lain. Penutupan dari insisi
ini adalah dimulai dengan menjahit diaphragma secara matras 2 lapis dengan
benang non absorbabel, otot dada dan dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
(Anonimus, 2009).
Perawatan Pasca Operasi
Hari pertama penderita sudah diperbolehkan makan. Antibiotika dan analgetik diberikan selama 3 hari.
Pelunak faeces dapat diberikan pada penderita dengan riwayat konstipasi
sebelumnya. Tampon anus dibuka setelah 2×24 jam atau jika terdapat perdarahan dapat dibuka sebelumnya. Rawat luka dilakukan
setiap hari. Setelah penderita mampu
mobilisasi, penderita diminta rendam duduk 2x sehari dengan larutan Permanganas
Kalikus selama 20
DISKUSI
Anatomi dan Fisiologi
Usus besar terdiri atas colon,
rectum dan anus. Di dalam colon tidak terjadi pencernaan. Sisa makanan
yang tidak dicerna di dorong ke bagian belakang dengan gerakan peristaltic. Air
dan garam mineral diabsorbsi kembali oleh dinding colon yaitu colon ascendens.
Sisa makanan berada pada colon selama 1 sampai 4 hari. Pada waktu pembusukan
dibantu oleh bakteri E. Coli.
Selanjutnya dengan gerakan peristaltic, sisa makanan terdorong sedikit demi
sedikit ke tempat penampungan tinja yaitu di rectum. Apabila lambung dan usus
halus telah terisi makanan kembali akan merangsang colon untuk melakukan
defekasi (reflek gastrokolik). Peregangan rectum oleh feses akan mencetuskan
kontraksi reflek otot-otot rectum dan keinginan BAB pada saat tekanan rectum
meningkat sampai sekitar 18 mmHg. Apabila tekanan ini mencapai 15 mmHg,
sfingter interior maupun eksterior melemas dan isi rectum terdorong keluar.
Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter eksterior tercapai, terjadilah
kontraksi otot-otot abdomen (mengejan), sehingga membantu reflex pengosongan
rectum yang teregang (Ganong, 2002).l
Anus imperforata merupakan suatu kelainan malformasi kongenital di mana
tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus
secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah
anus. Anus imperforata ini dapat meliputi bagian anus, rektum, atau bagian
diantara keduanya, adapun pengertian atresia ani yang lain adalah (malformasi anorektal/ anus imperforate) adalah bentuk
kelainan konginetal yang menunjukan keadaan tidak ada anus, rectum yang buntu
terletak di atas muskulus levator ani pada bayi (agenesis rectum). Dalam
istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut
juga clausura. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan
operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya.
Atresia ani atau anus imperforata disebut
sebagai malformasi anorektal,
adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna,
termasuk Agenesis ani, Agenesis
rekti dan Atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat
muncul sebagai penyakit tersering yang merupakan syndrom VACTRERL ( Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal,
Limb). Slatter (1993) memberikan
terminologi untuk atresia anorektal meliputi sebagian besar malformasi
kongenital dari daerah anorektal. Kanalis anal adalah merupakan bagian yang
paling sempit tetapi normal dari ampula rekti. Menurut definisi ini maka
sambungan anorektal terletak pada permukaan atas dasar pelvis yang dikelilingi
muskulus sfingter ani eksternus. 2/3 bagian atas kanal ini derivat hindgut, sedang 1/3
bawah berkembang dari anal pit. Penggabungan dari epitilium disini adalah derivat ectoderm dari anal pit dan endoderm
dari hindgut dan disinilah letak linea dentate. Garis ini adalah tempat
anal membrana dan disini terjadi perubahan epitelium columner ke stratified squamous
cell.
Pada bayi normal, susunan otot serang lintang
yang berfungsi membentuk bangunan seperti cerobong yang melekat pada os
pubis, bagian bawah sacrum dan bagian tengah pelvis. Kearah medial otot-otot
ini membentuk diafragma yang melingkari rectum, menyusun kebawah sampai kulit
perineum. Bagian atas bangunan cerobong ini dikenal sebagai M. Levator dan
bagian terbawah adalah M. Sfingter externus. Pembagian secara lebih rinci, dari
struktur cerobong ini adalah: M. Ischiococcygeus, Illeococcygeus, Pubococcygeus,
Puborectalis, deep external spincter externus dan superficial external
sfingter. M sfingter externus merupakan serabut otot para sagital yang saling
bertemu didepan dan dibelakang anus. Bagian diantara m. levator dan sfingter
externus disebut muscle complex atau
vertikal fiber Kanal anal dan rectum mendapat vaskularisasi dari arteria hemoroidalis superior, a
hemoroidalis media dan a hemoroidalis inferior. Arteri
hemoroidalis superior merupakan akhir dari arteria mesenterika inferior dan
melalui dinding posterior dari rectum dan mensuplai dinding posterior, juga ke
kanan dan ke kiri dinding pada bagian tengah rectum, kemudian turun ke
pectinate line.
Arteria
hemoroidalis media merupakan cabang dari arteria illiaca interna. Arteria
hemoroidalis inferior cabang dari arteri pudenda interna, ia berjalan di medial
dan vertical untuk mensuplai kanalis anal di bagian distal dari pectinate line.
Inervasi para simpatis berasal dari nervus sacralis III, V yang kemudian
membentuk N Epiganti, memberikan cabang ke rectum dan berhubungan dengan
pleksus Auerbach. Saraf ini berfungsi sebagai motor dinding usus dan inhibitor
sfingter serta sensor distensi rectum. Persarafan simpatis berasal dari
ganglion Lumbalis II, III, V dan pleksus para aurticus, kemudian membentuk
pleksus hipogastricus kemudian turun sebagai N pre sacralis. Saraf ini
berfungsi sebagai inhibitor dinding usus dan motor spingter internus. Inervasi
somatic dari m levator ani dan muscle complex berasal dari radix anterior N
sacralis III dan V.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
a. Putusnya saluran pencernaan
dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
b. Kegagalan pertumbuhan saat
bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
c. Adanya gangguan atau berhentinya
perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus
urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
Anus
dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian
belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur
anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal
anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan
perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga
karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat
dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstruksi.
KESIMPULAN
Secara terminologi atresia ani
berarti : Atresia (Tresis) berarti keadaan tidak ada atau tertutupnya lubang
badan normal atau organ tubulur secara kongenital, disebut juga clausura
sedangkan, ani berarti anus imperforata jadi atresia ani adalah bentuk kelainan
bawaan dimana tidak adanya lubang dubur terutama pada bayi, rektum yang buntu
terletak di atas levator saling yang juga dikenal dengan istilah "AGNESIS
REKTUM".h Hewan yang mengalami penyakit Atresia Ani
tipe pertama (I) menunjukkan penderitaan
dengan menahan rasa sakit hingga terjadi kelemahan. Tanda-tanda klinis
yang ditunjukkan pada tipe ini adalah konstipasi, kelemahan tenesmus, pembukaan
stenotic pada anus. Kemudian pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan pada
daerah perinial.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimus, 2009. Laparotomi dan Torako-Laparatomi. http://bedahumum.wordpress.com
Benson CD et al (1962)
Pediatric Surgery, Vol.2. Chicago :
Year Book Medica Publishers, inc.; 82156.
Carpenito, Lynda Juall.
1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.
Edisi ke-6. Jakarta : EGC.
Cook, John; Sankaran, Balu;
Wasunna, Ambrose E.O (1995). Penatalaksanaan Bedah Umum di Rumah Sakit.
Jakarta: EGC
Ganong, William
F (2002). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 20. Jakarta : EGC.
Raffensperger; G. Swenson's (1992) Peddiatric Surgery,
5th eds. Connecticut :
Apple &Lange,; 586623
Slatter, D.
1993. Text Book of Small Animal Surgery, Edisi 3. Philadhelpia
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan
Pediatrik. Sri Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.
Terima kasih telah membaca artikel tentang Atresia ani di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.
1 komentar :
tolong kucing saya, dia menderita atresia ani :'(
Balassudah operasi tapi nyatanya sampai saat ini tidak bisa poop .
sudah jutaan rupiah duit saya keluar tapi tidak ada hasilnya :'(
mohon bantuannya...