google-site-verification=I3gsFmhNnwraRTClYNy7Zy_HRGb_d1DkfDUi6e1xs34 PENGELOLAAN AIR PADA SAWAH ~ Medik Veteriner Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

PENGELOLAAN AIR PADA SAWAH

 

 

 

PENGELOLAAN AIR PADA TANAH SAWAH

Pengelolaan air berperan sangat penting dan merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di lahan sawah. Produksi padi sawah akan menurun jika tanaman padi menderita cekaman air (water stress). Gejala umum akibat kekurangan air antara lain daun padi menggulung, daun terbakar (leaf scorching), anakan padi berkurang, tanaman kerdil, pembungaan tertunda, dan biji hampa.

Tanaman padi membutuhkan air yang volumenya berbeda untuk setiap fase pertumbuhannya. Variasi kebutuhan air tergantung juga pada varietas padi dan sistem pengelolaan lahan sawah. Pengaturan air untuk sistem mina-padi berbeda dengan sistem sawah tanpa ikan. Ini berarti bahwa pengelolaan air di lahan sawah tidak hanya menyangkut sistem irigasi, tetapi juga sistem drainase pada saat tertentu dibutuhkan, baik untuk mengurangi kuantitas air maupun untuk mengganti air yang lama dengan air irigasi baru sehingga memberikan peluang terjadinya sirkulasi oksigen dan hara. Dengan demikian teknik pengelolaan air perlu secara spesifik dikembangkan sesuai dengan sistem produksi padi sawah dan pola tanam.

Pengelolaan air untuk sawah lama dengan sawah bukaan baru harus dibedakan. Pada sawah lama umumnya telah terbentuk lapisan kedap air di bawah zona pengolahan tanah yang sering disebut dengan lapisan tapak bajak (plow pan), sedangkan pada sawah baru lapisan ini belum terbentuk. Dari segi kebutuhan air untuk irigasi, sawah lama akan lebih efisien dibanding sawah bukaan baru karena sedikit terjadi kehilangan air melalui perkolasi.

Di Indonesia, sawah sering dikategorikan menjadi tiga yaitu 

(a) sawah beririgasi;

 (b) sawah tadah hujan; dan 

(c) sawah rawa (lebak dan pasang surut). 

Sistem pengelolaan air pada ketiga macam sawah tersebut sangat berbeda, karena perbedaan kondisi hidrologi dan kebutuhan air. Dalam bab ini akan dibahas lahan sawah beririgasi dan sawah tadah hujan. Teknik pengelolaan air lahan sawah yang diuraikan dalam bab ini selain didasarkan pada kebutuhan air untuk tanaman (baik padi maupun palawija) juga didasarkan pada sistem pengelolaan lahan sawah.

Untuk pengembangan tanaman padi dalam kaitannya dengan efisiensi pemanfaatan air,  telah  ditemukan  teknologi  irigasi  yang  dikenal  dengan  irigasi ”macak-macak, di mana lahan sawah tidak digenangi tetapi cukup hanya dipenuhi untuk mendapatkan hasil padi yang tidak berbeda dengan lahan yang digenangi 5 cm. Pengolahan tanah dengan cara dilumpurkan (puddling) pada sawah bukaan baru juga telah diteliti meskipun belum dikaitkan dengan produksi tanaman padi. Hasilnya menunjukkan bahwa makin intensif pelumpuran dilakukan, makin kecil kehilangan air melalui perkolasi yang berimplikasi pada peningkatan efisiensi pemanfaatan air (Subagyono et al., 2001).

Pada skala makro, irigasi sering diterapkan secara tidak efisien. Kehilangan air di sepanjang saluran melalui rembesan (seepage) masih tergolong tinggi. Sebagian besar petani menerapkan irigasi dengan prinsip mengairi lahannya dengan volume air sebanyak mungkin tanpa menghiraukan kebutuhan optimum air untuk pertanamannya, sementara sebagian lahan petani lainnya tidak mendapatkan air cukup yang berakibat pada rendahnya produktivitas tanaman. Penerapan irigasi yang tidak efisien bisa terjadi melalui cara pemberian air yang tidak tepat baik jumlah dan waktunya ataupun oleh kehilangan air yang berlebihan melalui rembesan (seepage).

Isu mengenai pendangkalan lapisan olah di lahan sawah mengemuka namun belum banyak penelitian yang diarahkan ke sana. Demikian juga dalam keterkaitannya dengan program pengelolaan tanaman terpadu (PTT), teknologi irigasi secara berselang (intermittent) merupakan strategi pengelolaan air yang perlu dikembangkan. Isu lain yang berkaitan dengan polusi pada lahan sawah akibat intrusi limbah industri juga merupakan topik penelitian yang secara mendalam perlu dilanjutkan.

Mengingat lahan sawah umumnya tidak digunakan untuk padi secara terus-menerus, kecuali di daerah-daerah yang berpola tanam padi-padi-padi, maka strategi pengelolaan air harus spesifik tanaman. Pada saat lahan sawah yang dikelola untuk tanaman palawija irigasi didasarkan pada kebutuhan air untuk tanaman palawija.

Penelitian pengelolaan air ke depan bertujuan untuk mencari solusi tentang pengelolaan air secara terpadu, pendangkalan lapisan olah melalui pengolahan tanah dalam, kuantifikasi irigasi berselang, peningkatan efektivitas penggunaan pupuk, pengendalian gulma dan penelitian lain yang menyangkut pengelolaan air dan hubungannya dengan pencemaran lingkungan lahan sawah.

 

Hidrologi lahan sawah

Pengetahuan tentang hidrologi lahan sawah sangat diperlukan dalam merancang strategi pengelolaan air. Karakteristik hidrologi lahan sawah sangat ditentukan oleh kondisi biofisik lahan. Hidrologi sawah beririgasi berbeda dengan sawah tadah hujan maupun sawah rawa. Oleh karena itu strategi pengelolaan air pada lahan sawah beririgasi akan berbeda dengan pada lahan sawah tadah hujan maupun sawah rawa.

Karakteristik hidrologi lahan sawah

Dipandang dari segi hidrologi atau rezim air alami, Moormann dan van Breemen (1978) membedakan lahan sawah menjadi tiga yaitu lahan sawah pluvial, phreatik, dan fluxial (Tabel 1).

Modifikasi rezim air alami dari kondisi kering menjadi lebih basah dapat dilakukan dengan dua cara:

1.       Perataan (leveling) dan pembuatan pematang (pembuatan petak-petak sawah) sehingga terjadi penggenangan air secara merata.

2.       Irigasi ke petak-petak sawah, baik dari sumber air di luar daerah persawahan maupun aliran (overflow) dari petak yang lebih tinggi ke petak yang lebih rendah.

Moormann dan van Breemen (1978) menyarankan agar dalam penentuan kualitas lahan ketersediaan air dalam tanah sawah pluvial mensyaratkan adanya pengamatan dan pengukuran terhadap hal-hal berikut (a) jumlah dan sebaran curah hujan; (b) kapasitas menahan air tanah pada zona perakaran, terutama ditentukan oleh tekstur dan mineral liat serta batas-batas tertentu oleh kandungan bahan organik; (c) kehilangan yang disebabkan oleh aliran permukaan, perkolasi di bawah zona perakaran yang ditentukan oleh pembentukan (genesis) tanah dan tekstur tanah; dan (d) faktor tanah dan pengelolaan lahan yang penting untuk retensi air.

Untuk lahan sawah phreatik dan fluxial penentuan curah hujan efektif dan sifat menahan air tanah sangat penting, tetapi sebagian atau sepenuhnya dapat dipenuhi oleh ketersediaan lengas dari sumber luar air tanah, air permukaan atau keduanya.

Namun demikian sawah phreatik dan/atau fluxial tidak menjamin tersedianya lengas tanah yang cukup. Jumlah dan keteraturan pasokan aliran bawah permukaan (sub-surface flow) dan air permukaan (surface flow) pada zona perakaran dan pergerakan air tanah (groundwater flow) tergantung sepenuhnya pada iklim. Ketersediaan air interflow mengikuti curah hujan dari daerah tangkapan air tanah.

Ketersediaan air tergantung pada kondisi cuaca setempat (lokal) atau dalam beberapa hal tergantung pada sistem pelembahan sungai besar atau pada cuaca di daerah aliran sungai (DAS) hulu yang seringkali cukup jauh jaraknya. Oleh karena itu pada tahun-tahun dengan curah hujan rendah, luasan yang berhasil ditanami padi lebih sempit dibanding pada tahun-tahun dengan curah hujan tinggi. Pola yang sama juga terlihat pada sawah yang diratakan dan berpematang (antraquic) jika air irigasi tidak cukup tersedia.

Lengas tanah optimal dijumpai pada sawah irigasi yang berada pada daerah dengan sumber air berlimpah, yaitu pada daerah dengan curah hujan yang cukup untuk irigasi, walaupun dalam sistem irigasi sederhana seperti misalnya pada lahan yang berteras di Jawa dan Bali. Air tidak selalu tersedia cukup pada lahan sawah yang memiliki sistem irigasi, kalau debit air sungai sebagai sumber air irigasi tidak mencukupi akibat kerusakan DAS. Jadi kualitas lahan sawah sangat tergantung pada ketersediaan lengas yang beragam dari satu tempat ke tempat lain dari tahun ke tahun bahkan di daerah beririgasi sekalipun. Oleh karena itu keragaman ini harus dipertimbangkan dalam melakukan evaluasi lahan tidak terkecuali di daerah beririgasi.

Neraca air

Neraca air didefinisikan sebagai perimbangan antara air yang masuk ke suatu batasan hidrologi dengan air yang keluar. Neraca air tersebut dapat dihitung dalam suatu zona perakaran, zona yang telah ditetapkan pada lahan tertentu atau bahkan dapat dihitung pada skala yang lebih luas. Dengan demikian sebelum menghitung neraca air perlu ditetapkan kondisi batasan (boundary condition) zona-zona tertentu. Secara umum dengan mengetahui jumlah air yang masuk (Win) dan air yang keluar (Wout), dapat dihitung neraca air pada periode waktu tertentu. 

Kebutuhan air

Sekitar 83% wilayah Indonesia mempunyai curah hujan tahunan >2.000 mm, namun sebagian besar terdistribusi selama musim hujan. Dengan hanya menerapkan sistem pengelolaan air konvensional yang sangat tergantung pada curah hujan, deraan kekeringan terutama pada musim kemarau tidak dapat dihindari. Akibatnya tanaman dapat mengalami cekaman air sehingga produksinya dapat menurun drastis. Ada kalanya petani tidak mau mengambil

risiko produksi tanamannya rendah, maka membiarkan lahannya tidak ditanami pada musim kemarau. Dengan penggunaan teknologi irigasi suplemen, musim tanam tanaman pangan tidak terbatas hanya pada musim hujan, tetapi bisa diperpanjang sampai pertengahan musim kemarau.

Tanaman pangan utama yang dibudidayakan di lahan sawah selain padi, antara lain adalah jagung, kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah. Tanaman tersebut umumnya ditanam pada musim tanam ketiga (MK-2) pada lahan sawah beririgasi atau masa tanam kedua dan ketiga (MK-1 dan MK-2) pada lahan sawah tadah hujan. Secara umum, tanaman palawija memerlukan air sekitar 100-200 mm bulan-1. Namun jumlah ini bervariasi menurut jenis dan fase tanaman, distribusi ukuran pori tanah, kesuburan tanah, dan pengolahan tanah. Vergara (1976) menyatakan bahwa peranan air sangat penting pada saat pembentukan anakan dan awal fase pemasakan, sebaliknya bila terjadi pada akhir fase vegetatif dan akhir fase pemasakan.

Pada pertananaman padi terdapat tiga fase pertumbuhan yaitu fase vegetatif (0-60 hari), fase generatif (60-90 hari) dan fase pemasakan (90-120 hari) sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3.

Untuk mengetahui jumlah air yang harus disediakan untuk irigasi lahan pertanian, informasi atau data kebutuhan air tanaman sangat diperlukan. Kebutuhan air tanaman tergantung jenis dan umur tanaman, waktu atau periode pertanaman, sifat fisik tanah, teknik pemberian air, jarak dari sumber air sampai lahan pertanian, luas areal pertanian yang akan diairi. Oleh sebab itu, agar penggunaan air irigasi lebih efisien dan efektif, maka sangat penting mengetahui pemakaiaan air konsumtif tanaman (evapotranspirasi)

Pada lahan sawah, kehilangan air dapat melalui evaporasi, transpirasi, dan perkolasi. Kehilangan air melalui perkolasi sangat bervariasi. Pada Tabel 2 disajikan data kebutuhan air untuk sawah irigasi di 43 lokasi di China, Jepang, Korea, Philipina, Vietnam, Thailand, dan Bangladesh. Pada lahan sawah beririgasi, kehilangan air bervariasi antara 5,6–20,4 mm hari-1. Yoshida (1981) melaporkan variasi kehilangan air yang paling sering diamati berkisar antara 6–10 mm hari-1. Dengan demikian rata-rata jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi padi yang optimal adalah 180–300 mm bulan-1. Dalam satu periode tanam juga dilaporkan bahwa kebutuhan air untuk seluruh operasional pengelolaan sawah beririgasi (pembibitan, persiapan lahan, dan irigasi) adalah

1.240 mm.

Untuk persiapan lahan terutama kebutuhan air untuk pelumpuran (puddling) bervariasi tergantung pada kadar air tanah awal dan intensitas pelumpurannya (Tabel 3).

Pemakaian air konsumtif dapat diketahui dengan cara perimbangan berat atau penetapan volume air menggunakan lisimeter, tensiometer, dan neutron probe, atau ditetapkan berdasarkan pendugaan, seperti metode pendugan dari Penman (1956), Thornthwaite (1948), dan Blaney-Criddle (1962). Setiap metode pendugaan evapotranspirasi tersebut menggunakan parameter-parameter penduga yang berbeda, diantaranya iklim, tanah dan faktor tanaman. Konsep

evapotranspirasi potensial (PE) juga pernah diusulkan oleh Thornthwaite (1948) untuk menghitung kebutuhan air, yaitu kehilangan air oleh tanaman jika tanah dalam kondisi tidak pernah kekurangan air.

Sumber daya air irigasi

 

Schwab dan Flevert (1981) membagi sumber air irigasi ke dalam air permukaan (surface water), dan air bawah tanah (groundwater). Air permukaan meliputi air danau alami, air sungai atau sungai yang dibendung dan dijadikan waduk sekaligus berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik, pencegah banjir, dan lain-lain. Air permukaan dapat ditingkatkan ketersediaannya dengan memanen air hujan/aliran permukaan, sedangkan sumber air bawah tanah biasanya dimanfaatkan melalui pembuatan sumur-sumur dalam atau artesis (deep wells), mata air (springs) atau menggali/membuat kolam.

Ketersediaan air bawah tanah (groundwater) sangat ditentukan oleh berapa besar pengisian (recharge) dari curah hujan. Pada umumnya semakin tinggi curah hujan makin besar kemungkinan pengisian air bawah tanah, meskipun hubungan tersebut tidak linear (Gambar 7) karena faktor geologi dan karakteristik tanah sangat menentukan. Hubungan antara curah hujan dan pengisian air bawah tanah (groundwater recharge) di daerah humid dan arid telah dilaporkan oleh Tase et al. (2003). Sistem pengisian air bawah tanah di daerah arid sangat terbatas yang berimplikasi sulitnya penggunaan air di daerah tersebut. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya termasuk pada kawasan humid tropik, sistem pengisian air bawah tanah relatif lebih besar dan sangat menunjang keberlanjutan pengelolaannya untuk pengembangan pertanian.

Sumber air irigasi harus memenuhi syarat kualitas agar tidak berbahaya bagi tanaman yang akan diairi, karena dalam jangka panjang dapat berpengaruh terhadap kualitas hasil atau produk pertanian. Schwab dan Flevert, 1981 mensyaratkan kualitas air irigasi sangat tergantung dari kandungan sedimen atau lumpur dan kandungan unsur-unsur kimia dalam air tersebut. Sedimen atau lumpur dalam air pengairan berpengaruh terhadap tekstur tanah, terutama pada tanah bertekstur sedang sampai kasar akan memperlambat permeabilitas penampang tanah akibat pori-pori tanah terisi atau tersumbat sedimen tersebut, dan menurunkan kesuburan tanah. Sedimen atau lumpur yang mengendap di dalam saluran irigasi akan mengurangi kapasitas pengaliran air dan memerlukan biaya tinggi untuk membersihkannya.

Sifat-sifat kimia air pengairan berpengaruh terhadap kesesuaian air untuk berbagai penggunaan, sehingga aman untuk setiap pemakaian. Sifat-sifat kimia air pengairan yang sangat penting diketahui dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian, diantaranya adalah

 (a) konsentrasi garam total yang terlarut; 

(b) proporsi garam (Na) terhadap kation lainnya (sodium adsorption ratio = SAR); 

(c) konsentrasi unsur-unsur racun potensial yang dapat mencemari atau merusak tanah; dan         (d) konsentrasi bikarbonat, yang berkaiatan erat dengan Ca dan Mg.

 Bila sifat-sifat kimia air tersebut melebihi konsentrasi yang diizinkan, pertumbuhan tanaman akan terhambat dan mengalami penurunan hasil.

Pada umumnya, aspek kualitas air irigasi sering diabaikan karena perhatian selalu tertumpu pada kuantitas. Salinitas dan salinisasi merupakan masalah yang dapat terjadi di lahan beririgasi, termasuk di lahan sawah beririgasi. Meskipun di Indonesia jarang terjadi, namun hal ini harus tetap diwaspadai. Dari hasil penelitiannya di Kazakhstan Kitamura et al. (2003) melaporkan bahwa sumber salinitas ini dapat berasal dari sumber air irigasi yang berkadar garam relatif tinggi atau dapat juga dari air bawah tanah yang melalui proses aliran air ke atas (upward movement).

 

Konsep dasar pengelolaan air

 

Pengelolaan air yang utama pada lahan sawah adalah irigasi. Secara umum irigasi didefinisikan sebagai pemberian air untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Pekerjaan irigasi meliputi menampung dan mengambil air dari sumbernya, mengalirkannya melalui saluran-saluran ke lahan pertanian dan membuang kelebihan air ke saluran pembuangan. Tujuan irigasi adalah memberikan tambahan (supplement) air terhadap air hujan dan memberikan air

untuk tanaman dalam jumlah yang cukup dan pada saat dibutuhkan. Irigasi pada lahan sawah dimaksudkan untuk menjenuhkan tanah agar diperoleh struktur lumpur (puddling) yang baik bagi pertumbuhan tanaman padi, memenuhi kebutuhan air tanaman, kebutuhan penggenangan, dan mengganti kehilangan air di saluran.

Secara umum, irigasi juga berguna untuk (a) mempermudah pengolahan tanah ; (b) mengatur suhu tanah dan iklim mikro ; (c) membersihkan atau mencuci tanah dari garam-garam yang larut atau asam-asam yang tinggi ; (d) membersihkan kotoran atau sampah yang ada dalam saluran-saluran air ; dan (e) menggenangi tanah untuk memberantas tanaman pengganggu (gulma) dan hama penyakit.

Pembangunan sistem irigasi yang meliputi pembangunan bendung dan waduk serta jaringannya memerlukan investasi yang sangat mahal. Oleh sebab itu, air harus digunakan secara efektif dan efisien. Dalam hal itu, penentuan jumlah air yang dibutuhkan untuk mencapai produksi tanaman yang optimal sangat penting dilakukan.

Teknik pengelolaan air

 

Pengelolaan air di lahan sawah sangat ditentukan oleh kondisi topografi dan pola curah hujan. Lahan sawah yang berasal dari lahan kering yang diairi umumnya berupa lahan irigasi, baik yang berupa irigasi teknis (dengan bangunan irigasi permanen), setengah teknis (dengan bangunan irigasi semi permanen), maupun irigasi sederhana (tanpa bangunan irigasi). Apabila sumber air berasal langsung dari air hujan maka disebut sawah tadah hujan. Sawah yang dikembangkan di rawa-rawa lebak disebut sawah lebak. Tanah sawah juga dapat berasal dari lahan rawa pasang surut.

 

Sawah irigasi

Di Indonesia terdapat kurang lebih 5 juta ha sawah beirigasi. Sebagai pengguna air terbesar (85%) sawah beririgasi masih dihadapkan kepada masalah efisiensi, yang disebabkan oleh kehilangan air selama proses penyaluran air irigasi (distribution lossses) dan selama proses pemakaian (field application losses). Tingkat efisiensi di saluran primer dan sekunder diperkirakan sebesar 70- 87%, saluran tersier antara 77-81% dan jika digabungkan dengan kehilangan di tingkat petakan, maka efisiensi penggunaan air secara keseluruhan baru berkisar antara 40-60% (Kurnia, 1977 dalam Kurnia, 2001). Angka-angka tersebut, dewasa ini diperkirakan akan lebih rendah lagi. Hal ini disebabkan biaya operasi dan pemeliharaan (OP) dari pemerintah dikurangi, belum stabilnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke kabupaten/kota dan karena belum siapnya petani di dalam menerima program penyerahan irigasi (Kurnia, 2001).

Penggenangan (standing water)

Rendahnya tingkat efisiensi penggunaan air selama proses pemakaian diantaranya disebabkan oleh kebiasaan petani yang masih senang menggunakan genangan yang tinggi sampai 15 cm secara terus-menerus (continous flow); beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air (irigasi) macak- macak dan tidak secara terus-menerus (rotasi) hasilnya tidak berbeda nyata dengan genangan tinggi secara terus-menerus

Sistem penggenangan juga sangat berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan air. Genangan dalam (10-15 cm) seperti yang dilakukan petani pada umumnya dapat menyebabkan tingginya kehilangan air lewat perkolasi yang didalamnya juga terlarut unsur hara yang bersifat mobil, sehingga tingkat kehilangan hara juga menjadi tinggi. Penurunan tingkat genangan menjadi 5-7 cm selain dapat menurunkan tingkat kebutuhan air irigasi dan juga dapat meningkatkan hasil tanaman (Tabel 6).

Penelitian yang dilakukan IRRI dengan menggunakan padi varietas IR-8 menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata terhadap hasil tanaman untuk tingkat penggenangan antara 1 dan 15 cm. Sistem genangan dangkal (shallow flooding), bagaimanapun memberikan hasil per unit penggunaan air yang lebih rendah, salah satunya disebabkan oleh relatif lebih rendahnya kehilangan air lewat perkolasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun pada dasarnya pengenangan secara terus-menerus tidak menyebabkan peningkatan hasil, penggenangan sedalam 5-7 cm secara terus-menerus kemungkinan merupakan praktek terbaik, khususnya dalam hubungannya pengendalian gulma dan efisiensi pemupukan (De Datta et al. dalam Bhuiyan, 1980).

Jumlah pemberian air irigasi per periode tertentu berpengaruh pada produktivitas padi. Hasil penelitian IRRI untuk padi varietas IR-8 dengan aplikasi pupuk nitrogen 100 kg ha-1, pemberian air maksimum tercapai pada level 6,5 mm hari-1 pada musim kering 1969, dan 5,5 mm hari-1 pada musim kering 1970 dan 1971 (Gambar 8). Perbedaan nilai maksimum level irigasi antara musim kering tahun 1969 dengan 1970 dan 1971 disebabkan oleh perbedaan evaporasi yang

diakibatkan oleh perbedaan radiasi matahari. Penambahan air melebihi nilai maksimum tersebut tidak akan meningkatkan hasil padi secara proposional hingga level 7 mm hari-1 untuk tahun 1970 dan 1971, sehingga tidak dapat lagi menambah keuntungan dari penambahan air irigasi. Nilai maksimum level irigasi pada musim kering 1969 mencapai 9 mm hari-1 (Bhuiyan, 1980).

penambahan pupuk N 100 kg ha-1 Sumber: Bhuiyan (1980) dengan modifikasi

Efisiensi penggunaan air merupakan aspek penting berkenaan dengan upaya peningkatan nilai ekonomi produksi pertanian pada lahan beririgasi. Berkenaan dengan sawah beririgasi, Abas et al. (1985) melaporkan bahwa efisiensi penggunaan air pada lahan yang diirigasi secara macak-macak hampir 2

– 3 kali lebih tinggi dibanding dengan lahan yang digenangi terus-menerus (Tabel

7). Hasil yang serupa dilaporkan juga oleh Budi (2001), bahwa dengan irigasi macak-macak dari sejak tanam sampai 7 hari menjelang panen pada musim kemarau maupun musim hujan dapat menghemat penggunaan air 40% dibanding dengan penggenangan secara kontinu.

 

b. Irigasi bergilir (rotational irrigation)

Sistem irigasi bergilir merupakan teknik irigasi dimana pemberian air dilakukan pada suatu luasan tertentu dan untuk periode tertentu, sehingga areal tersebut menyimpan air yang dapat digunakan hingga periode irigasi berikutnya dilakukan. Sistem ini banyak diterapkan di Jepang dan Taiwan (Bhuiyan, 1980). Jumlah air yang diberikan dan interval irigasi adalah setara dengan unit luasan lahan yang diirigasi dan jumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi, rembesan (seepage), perkolasi dan komponen kehilangan air lainnya.

Hasil penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa teknik irigasi dengan sistem rotasi dapat menghemat penggunaan air 20-30% tanpa menyebabkan terjadinya penurunan hasil. Metode ini juga mendukung lebih baiknya pertumbuhan tanaman dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan penggunaan tenaga kerja (Wen dalam Bhuiyan, 1980). Hasil penelitian yang dilakukan di Nueva Ecija, Filipina juga menunjukkan bahwa pemberian air dengan sistem rotasi tidak menyebabkan terjadinya penurunan hasil, bahkan nampak adanya kecenderungan peningkatan hasil panen (Tabel 8).

Meskipun efisiensi hasil padi yang dicapai pada lahan dengan irigasi bergilir lebih besar dibanding irigasi terus-menerus (continue irrigation), tetapi sistem ini memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah pengaruhnya terhadap reaksi tanah. Lahan yang di irigasi secara bergilir ini cenderung memiliki pH tanah yang lebih rendah dibanding pada lahan yang diirigasi secara terus- menerus dan digenangi

Irigasi berselang (alternate wet/dry irrigation)

Sistem irigasi berselang merupakan sistem pemberian air ke lahan sawah dengan level tertentu kemudian pemberian air berikutnya dilakukan pada periode tertentu setelah genangan air pada level tersebut surut hingga tidak terjadi genangan. Dalam penelitiannya di Maduari, Tamil Nadu, India, Krishnasamy et al. (2003) menerapkan irigasi setinggi 5 cm sehari setelah air surut hingga tidak terjadi genangan air di lahan sawah. Dengan sistem irigasi ini produktivitas padi (varietas ASD 19) dapat ditingkatkan, dan produksinya relatif lebih tinggi  dibanding sistem irigasi terus-menerus dan irigasi bergilir

Dengan irigasi berselang hasil padi meningkat hampir 7% dibanding hasil pada lahan yang terus-menerus digenangi, sementara hasil padi dengan irigasi bergilir meningkat 2%. Kebutuhan air irigasi untuk sistem irigasi dengan penggenangan terus-menerus adalah sebesar 725 mm, sedangkan untuk irigasi bergilir dan berselang masing-masing adalah 659 mm dan 563 mm. Curah hujan selama periode irigasi adalah 579 mm (Krishnasamy et al., 2003). Dari hasil penelitiannya di Tuanlin, Provinsi Huibei, China, Cabangon et al. (2002)

melaporkan bahwa irigasi dengan penggenangan terus-menerus  membutuhkan air yang lebih banyak, kemudian secara berurutan diikuti dengan irigasi berselang, sistem penjenuhan pada bedengan, irigasi dengan penggelontoran (flush irrigation) pada lahan kering (tanah dalam kondisi aerobik), dan irigasi padi lahan tadah hujan. Irigasi berselang lebih tinggi kontribusinya dalam peningkatan jumlah anakan padi, lebar daun (leaf area) dan produksi biomassa Gani et al. (2002).

Irigasi dengan selang 4 hari merupakan batas kritis bagi kultivar padi IR-64, pengairan dengan selang >4 hari tersebut nyata menurunkan hasil gabah. Irigasi dengan selang 4 hari memberikan efisiensi penggunaan air paling tinggi yaitu 8,9 kg gabah mm ha-1 (Budi, 2001).


Lebih jauh Krishnasamy et al. (2003) melaporkan bahwa produktivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding penggenangan, dan dengan sistem tersebut penggunaan air irigasi dapat dihemat hingga 21% lebih tinggi dari sistem penggenangan. Efisiensi irigasi dengan sistem irigasi berselang mencapai 77%, lebih tinggi dibanding pada sistem penggenangan terus-menerus (52%) dan sistem irigasi bergilir (68%)

Sawah tadah hujan

Pada lahan sawah tadah hujan, pengolahan tanah dengan cara dilumpurkan (puddling) tidak dilakukan dan kebutuhan air untuk padi ladang dan padi sawah berbeda. Oleh karena itu pengelolaan air di lahan sawah tadah hujan harus dibedakan dengan yang dilakukan di lahan sawah beririgasi. Sistem penanaman termasuk didalamnya penentuan masa pengolahan tanah dan tanam harus diperhitungkan sehingga air hujan dapat dipergunakan secara efektif dan kebutuhan air untuk tanaman pada setiap fase pertumbuhannya dapat terpenuhi.

Cekaman air sering terjadi pada sawah tadah hujan akibat pengaturan masa tanam yang kurang tepat, dan hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil padi. Sumber air irigasi pada lahan sawah tadah hujan umumnya hanya mengandalkan curah hujan. 

Kendala-kendala penerapan teknologi irigasi umumnya mencakup penggunaan air yang belum efisien. Sebagian besar sistem irigasi yang diterapkan baik di lahan kering maupun di lahan sawah tidak efisien, disebabkan oleh antara lain kehilangan air melalui rembesan (seepage) di sepanjang saluran, dan aplikasinya yang masih boros.

Penerapan teknologi irigasi yang membutuhkan investasi cukup  besar pada awal pembangunan jaringan irigasi belum diimbangi dengan pemilihan tanaman yang diusahakan. Petani masih sulit merubah pertanaman mereka, yang umumnya bukan tanaman-tanaman bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian investasi yang ditanam tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh. Demikian juga sulit merubah pola tanam petani yang sudah mapan (established).

Kendala lain berkaitan dengan sumber air irigasi untuk peningkatan intensitas tanam. Sebagian besar lahan kering di Indonesia terletak di zona beriklim basah dimana curah hujannya >2.000 mm. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi dua kali musim tanam (IP 200) curah hujan tersebut telah mencukupi, tetapi untuk peningkatan ke IP 300 harus disertai dengan suplai air tanah dengan pompanisasi. Selain itu penerapan teknologi panen air (water harvesting) untuk meningkatkan ketersediaan  air untuk irigasi juga menjadi sangat penting.

 

Pemanenan air (water harvesting)

Sebagaimana pada pengelolaan tanaman lain di lahan kering, untuk tanaman padi pada lahan tadah hujan memerlukan irigasi untuk peningkatan produktivitasnya. Sementara itu kebutuhan air untuk tanaman sangat tergantung pada curah hujan yang keberadaannya sangat dinamis tergantung pada kondisi iklim. Perubahan kondisi lahan akibat rusaknya fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) di mana sebagian besar lahan kering berada, berakibat pada hilangnya potensi sumber daya air untuk irigasi. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memanen air di musim hujan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau sehingga mampu memperpanjang masa tanam.

Beberapa teknologi panen air telah dikembangkan, di antara yang paling populer dan sudah dikenal dan diterapkan oleh petani adalah teknologi embung. Embung merupakan bangunan yang berfungsi selain sebagai pemanen aliran permukaan dan air hujan, juga sebagai tempat resapan yang akan meningkatkan kadar air tanah (Gambar 13). Tujuan pembuatan embung adalah untuk penyediaan air yang akan diaplikasikan di musim kemarau. Uraian mengenai embung dalam kaitannya dengan upaya memanen air telah diuraikan oleh Subagyono et al. (2005) dalam buku Teknologi Konservasi Tanah dan Air.

Pengembangan sawah tadah hujan secara luas telah dilakukan oleh Thailand terutama di kawasan lahan kering di utara negara tersebut. Untuk memanen air dan pendistribusiannya, telah dikembangkan teknologi yang dikenal dengan thamnop. Thamnop merupakan bangunan semacam dam yang terbuat dari tanah umumnya dengan dimensi yang bervariasi yang dapat digunakan untuk mengairi lahan seluas 320 480 ha (Fukui and Hoshikawa, 2003).

 

Pemanfaatan air secara efisien

 

Tidak seperti lahan sawah beririgasi, publikasi mengenai pengelolaan air pada lahan sawah tadah hujan masih terbatas. Mengenai kebutuhan air untuk padi tadah hujan, banyak ahli berpendapat berbeda. Beberapa menyatakan bahwa kebutuhan air untuk padi tadah hujan lebih banyak dibanding tanaman serealia lain, tetapi beberapa yang lain berpendapat bahwa kebutuhan tersebut hampir sama. Penulis berpendapat sama dengan pendapat kedua, sehingga penerapan pengelolaan air pada lahan ini tidak jauh berbeda dengan pengelolaan air untuk tanaman semusim lain di lahan kering termasuk tanaman serealia, lebih- lebih jika pola tanam pada lahan ini mengintroduksikan tanaman semusim lahan kering seperti jagung, kedelai, kacang hijau dan lain-lain.

Pada sawah tadah hujan, sumber air irigasi yang telah dipanen harus didistribusikan (dimanfaatkan) secara efisien. Sistem irigasi yang menggunakan air dalam jumlah terendah tetapi masih memberikan hasil yang optimum merupakan alternatif yang perlu dikembangkan. Jumlah air yang harus diaplikasikan dan interval irigasi didasarkan pada luas lahan yang akan diirigasi, evapotranspirasi, rembesan (seepage), kebutuhan untuk perkolasi dan kehilangan air yang mungkin terjadi di sepanjang saluran.

Irigasi dengan sistem bergilir (rotational irrigation) akan lebih efisien diterapkan dibanding dengan irigasi terus-menerus. Pengalaman IRRI bekerjasama dengan Philippines national irrigation administration menunjukkan bahwa irigasi bergilir yang diterapkan dengan rotasi 5 hari sekali mampu memberikan hasil padi yang lebih tinggi (meskipun secara statistik tidak berbeda nyata) dibanding irigasi terus-menerus (Bhuiyan, 1980). Pemberian air hingga macak-macak dapat dipertimbangkan, tetapi perlu dibarengi dengan upaya

mengatasi masalah gulma. Untuk menanggulangi masalah gulma, pemberian air hingga level genangan setinggi 5-7 cm dapat menjadi alternatif yang efisien.

Khusus pada pertanaman padi sistem gogo rancah (Gora), dan jika pola tanam pada lahan tadah hujan mengintroduksikan tanaman semusim lain seperti jagung, kedelai atau kacang hijau, maka strategi pengelolaan air didasarkan pada upaya memanfaatkan air secara efisien melalui irigasi dan peningkatan kelengasan tanah. Umumnya air irigasi diberikan jika kadar air tanah telah menurun hingga mencapai 50% air tersedia. Prinsip dasar ini tidak tepat diterapkan pada tanah-tanah liat yang memiliki sifat mengembang dan mengkerut dan tanah-tanah pasir (Withers et al., 1974). Hal ini karena pada dasarnya tanah- tanah pasir mampu melepas air hingga 80% air tersedia sedangkan tanah-tanah liat mampu menahan air cukup kuat (high water holding capacity). Faktor kedua yang dilupakan dan sering tidak dipertimbangkan dalam aplikasi irigasi adalah bahwa pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman tidak statis selama pertumbuhan tanaman. Aplikasi irigasi secara efisien harus didasarkan pada kedua faktor tersebut untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman (crop water use).

Subagyono (1996) dan Panda dan Behera (2003) menggunakan konsep management allowable depletion (MAD) atau dikenal juga dengan maximum allowable depletion untuk merancang penjadwalan irigasi masing-masing pada tanaman jagung dan gandum. Dari penelitian tersebut dilaporkan, untuk tanaman jagung efisiensi penggunaan air irigasi (water use efficiency) tertinggi dicapai pada level MAD 75% pada tanah lempung berpasir dari Zeebrugge, Belgia dan untuk tanaman gandum dicapai pada level MAD 45% pada jenis tanah dengan tekstur yang sama di kebun percobaan Indian Institute of Technology, Kharagpur, India.

Management allowable depletion (MAD) atau maximum allowable depletion adalah batas penurunan maksimum kadar air yang masih memberikan kontribusi yang optimum terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Menurut James (1978) MAD dapat didefinisikan sebagai derajat kekeringan tanah yang masih diperbolehkan untuk menghasilkan produksi tanaman optimum. Untuk menentukan jumlah dan frequensi pemberian air irigasi nilai kritis penurunan kadar air tersedia yang masih mampu menghasilkan efisiensi penggunaan air (water use efficiency/WUE) yang optimum sangat penting untuk ditetapkan.

Untuk penjadwalan irigasi, penetapan kadar air tersedia sangat diperlukan. Kadar air tersedia adalah kadar air antara kapasitas lapang dengan titik layu permanen. Penetapan kadar air pada saat kapasitas lapang setara pF 2,54 di laboratorium tidak tepat digunakan untuk semua jenis tanah, karena proses drainase internal dan dinamika retensi air tanah lebih dipengaruhi oleh komposisi seluruh profil tanah dari pada spesifik lapisan tertentu. Oleh karena itu drainase

internal perlu ditetapkan di lapangan (Hillel, 1990) dengan menggunakan petak 1 m x 1 m dan tensiometer dipasang di tengah petakan sedalam 30 cm. Petakan diairi hingga jenuh, kemudian dibiarkan beberapa waktu hingga proses drainase internal terjadi. Kapasitas lapang tercapai jika potensial air tanah berubah menjadi relatif constant. Selanjutnya nilai konstan potensial air tanah dikonversi ke kadar air dengan menggunakan kurva pF yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan titik layu permanen (permanent wilting point) bisa dipertimbangkan konstan. Kapasitas air tersedia (available water capacity/AWC) ditetapkan dengan menghitung selisih nilai kadar air pada saat kapasitas lapang yang didapat dari percobaan drainase internal dengan saat titik layu permanen.

Kedalaman dan interval irigasi ditentukan berdasarkan data tensiometer pada setiap pertumbuhan maksimum perakaran tanaman sebagai berikut:

W= ((θfcMAD)/100) x D                        (6.16)

W adalah jumlah air yang ditambahkan (mm), θfc dan θMAD masing- masing adalah kadar air (% volume) pada kapasitas lapang dan kadar air pada level MAD, dan D adalah kedalaman akar (mm). Setelah level MAD tercapai (diindikasikan dengan potensial air pada setiap perlakuan), kemudian pemberian air irigasi dilakukan hingga batas kapasitas lapang. Untuk mendapatkan gambaran pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman yang akan digunakan untuk menentukan kedalaman air irigasi, pengamatan distribusi akar dilakukan pada setiap periode pertumbuhan tanaman.

Untuk mencari pada level MAD yang mana penjadwalan irigasi dilakukan, maka perlu diadakan percobaan lapang untuk menguji beberapa level MAD yang dikaitkan dengan pencapaian efisiensi penggunaan air (water use  efficiency/WUE) yang paling tinggi. Sebagai gambaran, perlakuan level irigasi 20% air tersedia (20% MAD level), 40% air tersedia (40% MAD level), 60% air tersedia (60% MAD level) dan 80% air tersedia (80% MAD level) dapat diuji dalam hubungannya dengan efisiensi penggunaan air. Untuk memberikan pedoman yang lebih praktis dari metode di atas (karena petani tidak mungkin menggunakan tensiometer), maka dinamika perubahan potensial air tanah dari data tensiometer pada MAD level yang memberikan kontribusi maksimal pada efisiensi penggunaan air dikonversi ke berapa jumlah air yang diberikan (irrigation depth) dan berapa hari pemberian sekali irigasi tersebut harus dilakukan.

Dinamika perubahan kelengasan tanah terhadap waktu akibat penerapan irigasi digunakan sebagai dasar penjadwalan irigasi. Di lapangan, perubahan kelengasan tanah tersebut dapat diukur langsung dengan menggunakan alat pengukur kadar air seperti neutron probe, time domain reflectometer (TDR), secara grafimetrik, atau cara lain. Namun demikian penggunaan tensiometer memungkinkan untuk mendapatkan nilai tersebut dengan cara mengukur perubahan tegangan air tanah (menggunakan tensiometer baik manual maupun

 

digital) kemudian dikonversi nilai tegangan air (matrik potensial) ke kadar air dengan menggunakan kurva pF atau kurva karakteristik air tanah. Data perubahan kadar air tanah tersebut dapat dikonversi ke simpanan air tersedia (available water storage) yang sangat penting di dalam perencanaan penjadwalan irigasi.




DAFTAR PUSTAKA

 

Abas, A.I. 1980. Pengaruh pengelolaan air, pengelolaan tanah dan dosis pemupukan N terhadap pertumbuhan dan produksi padi (Effects of soil and water management and dosage of N fertilizer on growth and yield of rice). Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis. Proyek Penelitian Tanah. Buku I Jilid ke-3. Pusat Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Abas, A.I. dan A. Abdurachman. 1981. Pengaruh pengelolaan air, pengelolaan tanah, dan pemupukan terhadap padi sawah (Effects of soil and water management and fertilizer on rice yield). Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis. Proyek Penelitian Tanah. Buku II bagian 3. Pusat Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Abas, A.I. dan A. Abdurachman. 1985. Pengaruh pengelolaan air dan pengolahan tanah terhadap efisiensi penggunaan air padi sawah di Cihea, Jawa Barat. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4: 1-6.

Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1983. Pengaruh penggenangan dan pemupukan terhadap tanah Podsolik Lampung Tengah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 2: 1- 8.

Allen, R.G. L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith. 1998. Guidelines for computing cropwater requirement. FAO Drainage and Irrigation Papar No. 56. Rome.

Ambler, J.S. 1992. Dinamika Irigasi Petani: Kerangka dan prinsip-prinsip kelembagaan hlm. 3-29 dalam Ambler, J.S. (Ed.) Irigasi di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). IKAPI. Jakarta.

Bhuiyan, S.I. 1980. Water allocation, distribution, and use criteria for irrigation system design and management: selected research findings. p. 139-157. In IRRI (1980) Report of a Planning Workshop on Irrigation Water Management. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines.

Blaney, H. F, and W. D. Criddle. 1962. Determining consumptive use and irrigation water requirements. ARS-USDA Tech. Bull. No. 1275.

Budi, D.S. 2000. Strategi antisipasi kekeringan dalam budidaya tanaman padi sawah melalui teknik tabel, TOT dan pengelolaan air. hlm. dalam Amin (Eds.) Perubahan Penggunaan Lahan, Iklim dan Produktivitas Tanaman.

Budi, D.S. 2001. Strategi peningkatan efisiensi pendistribusian air irigasi dalam sistem produksi padi sawah berkelanjutan. hlm. 116-128 dalam Prosiding Lokakarya Padi, Implementasi Kebijakan Strategies untuk Peningkatan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Cabangon, G. Lu. R., T.P Tuong, P. Belder, B.A.M. Bouman, and E. Castillo. 2002. The effects of irrigation management on yield and water productivity of inbred, hybrid, and aerobic rice varieties. pp. 15-28. In Bouman B.A.M., H. Hengsdijk, B. Hardy, P.S. Bindraban, T.P. Tuong, and J.K. Ladha (Eds.) Water-wise Rice Production. International Rice Research Institute/IRRI and Plant Research International.

Castillo EG, Buresh RJ, and Ingram KT. 1992. Lowland rice yield as affected by timing of water deficit and nitrogen fertilization. Agron J. 84: 152-159.

Dikshit, U.N., D. Parida, and D. Satpathy. 1987. Genetic evaluation and utilization: Drought tolerance. IRRN 12: 6-7.

Dorenboos, A.H. and Kassam. 1979. Yeild Response to Water. FAO Drainage and Irrigation Papar No. 33. Rome

Terima kasih telah membaca artikel tentang PENGELOLAAN AIR PADA SAWAH di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com