PENGELOLAAN AIR PADA TANAH SAWAH
Pengelolaan air
berperan sangat penting dan merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan
produksi padi di lahan sawah. Produksi padi sawah akan menurun jika tanaman
padi menderita cekaman air (water stress).
Gejala umum akibat kekurangan air antara lain daun padi menggulung, daun
terbakar (leaf scorching), anakan
padi berkurang, tanaman kerdil, pembungaan tertunda, dan biji hampa.
Tanaman padi membutuhkan air yang
volumenya berbeda untuk setiap fase pertumbuhannya. Variasi kebutuhan air
tergantung juga pada varietas padi dan sistem pengelolaan lahan sawah.
Pengaturan air untuk sistem mina-padi berbeda dengan sistem sawah tanpa ikan.
Ini berarti bahwa pengelolaan air di lahan sawah tidak hanya menyangkut sistem irigasi,
tetapi juga sistem drainase pada saat tertentu dibutuhkan, baik untuk
mengurangi kuantitas air maupun untuk mengganti air yang lama dengan air
irigasi baru sehingga memberikan peluang terjadinya sirkulasi oksigen dan hara.
Dengan demikian teknik pengelolaan air perlu secara spesifik dikembangkan
sesuai dengan sistem produksi padi sawah dan pola tanam.
Pengelolaan air untuk sawah lama dengan
sawah bukaan baru harus dibedakan. Pada sawah lama umumnya telah terbentuk
lapisan kedap air di bawah zona pengolahan tanah yang sering disebut dengan
lapisan tapak bajak (plow pan),
sedangkan pada sawah baru lapisan ini belum terbentuk. Dari segi kebutuhan air
untuk irigasi, sawah lama akan lebih efisien dibanding sawah bukaan baru karena
sedikit terjadi kehilangan air melalui perkolasi.
Di Indonesia, sawah sering dikategorikan menjadi tiga yaitu
(a) sawah beririgasi;
(b) sawah tadah hujan; dan
(c) sawah rawa (lebak dan pasang surut).
Sistem pengelolaan air pada ketiga macam sawah
tersebut sangat berbeda, karena perbedaan kondisi hidrologi dan kebutuhan air.
Dalam bab ini akan dibahas lahan sawah beririgasi dan sawah tadah hujan. Teknik
pengelolaan air lahan sawah yang diuraikan dalam bab ini selain didasarkan pada
kebutuhan air untuk tanaman (baik padi maupun palawija) juga didasarkan pada
sistem pengelolaan lahan sawah.
Untuk pengembangan tanaman padi dalam kaitannya dengan efisiensi pemanfaatan air, telah ditemukan teknologi irigasi yang dikenal dengan irigasi ”macak-macak, di mana lahan sawah tidak digenangi tetapi cukup hanya dipenuhi untuk mendapatkan hasil padi yang tidak berbeda dengan lahan yang digenangi 5 cm. Pengolahan tanah dengan cara dilumpurkan (puddling) pada sawah bukaan baru juga telah diteliti meskipun belum dikaitkan dengan produksi tanaman padi. Hasilnya menunjukkan bahwa makin intensif pelumpuran dilakukan, makin kecil kehilangan air melalui perkolasi yang berimplikasi pada peningkatan efisiensi pemanfaatan air (Subagyono et al., 2001).
Pada skala makro, irigasi sering
diterapkan secara tidak efisien. Kehilangan air di sepanjang saluran melalui
rembesan (seepage) masih tergolong
tinggi. Sebagian besar petani menerapkan irigasi dengan prinsip mengairi
lahannya dengan volume air sebanyak mungkin tanpa menghiraukan kebutuhan
optimum air untuk pertanamannya, sementara sebagian lahan petani lainnya tidak
mendapatkan air cukup yang berakibat pada rendahnya produktivitas tanaman.
Penerapan irigasi yang tidak efisien bisa terjadi melalui cara pemberian air
yang tidak tepat baik jumlah dan waktunya ataupun oleh kehilangan air yang
berlebihan melalui rembesan (seepage).
Isu mengenai pendangkalan lapisan olah
di lahan sawah mengemuka namun belum banyak penelitian yang diarahkan ke sana.
Demikian juga dalam keterkaitannya dengan program pengelolaan tanaman terpadu
(PTT), teknologi irigasi secara berselang (intermittent)
merupakan strategi pengelolaan air yang perlu dikembangkan. Isu lain yang
berkaitan dengan polusi pada lahan sawah akibat intrusi limbah industri juga
merupakan topik penelitian yang secara mendalam perlu dilanjutkan.
Mengingat lahan sawah umumnya tidak
digunakan untuk padi secara terus-menerus, kecuali di daerah-daerah yang
berpola tanam padi-padi-padi, maka strategi pengelolaan air harus spesifik
tanaman. Pada saat lahan sawah yang dikelola untuk tanaman palawija irigasi
didasarkan pada kebutuhan air untuk tanaman palawija.
Penelitian pengelolaan air ke depan
bertujuan untuk mencari solusi tentang pengelolaan air secara terpadu,
pendangkalan lapisan olah melalui pengolahan tanah dalam, kuantifikasi irigasi
berselang, peningkatan efektivitas penggunaan pupuk, pengendalian gulma dan
penelitian lain yang menyangkut pengelolaan air dan hubungannya dengan
pencemaran lingkungan lahan sawah.
Hidrologi lahan sawah
Pengetahuan tentang hidrologi lahan
sawah sangat diperlukan dalam merancang strategi pengelolaan air. Karakteristik
hidrologi lahan sawah sangat ditentukan oleh kondisi biofisik lahan. Hidrologi
sawah beririgasi berbeda dengan sawah tadah hujan maupun sawah rawa. Oleh
karena itu strategi pengelolaan air pada lahan sawah beririgasi akan berbeda
dengan pada lahan sawah tadah hujan maupun sawah rawa.
Karakteristik hidrologi lahan sawah
Dipandang dari segi hidrologi atau rezim
air alami, Moormann dan van Breemen (1978) membedakan lahan sawah menjadi tiga
yaitu lahan sawah pluvial, phreatik, dan fluxial (Tabel 1).
Modifikasi rezim air alami dari kondisi
kering menjadi lebih basah dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Perataan
(leveling) dan pembuatan pematang
(pembuatan petak-petak sawah) sehingga terjadi penggenangan air secara merata.
2. Irigasi
ke petak-petak sawah, baik dari sumber air di luar daerah persawahan maupun
aliran (overflow) dari petak yang
lebih tinggi ke petak yang lebih rendah.
Moormann dan van Breemen (1978)
menyarankan agar dalam penentuan kualitas lahan ketersediaan air dalam tanah
sawah pluvial mensyaratkan adanya pengamatan dan pengukuran terhadap hal-hal
berikut (a) jumlah dan sebaran curah hujan; (b) kapasitas menahan air tanah
pada zona perakaran, terutama ditentukan oleh tekstur dan mineral liat serta
batas-batas tertentu oleh kandungan bahan organik; (c) kehilangan yang
disebabkan oleh aliran permukaan, perkolasi di bawah zona perakaran yang
ditentukan oleh pembentukan (genesis) tanah dan tekstur tanah; dan (d) faktor
tanah dan pengelolaan lahan yang penting untuk retensi air.
Untuk lahan sawah phreatik dan fluxial
penentuan curah hujan efektif dan sifat menahan air tanah sangat penting,
tetapi sebagian atau sepenuhnya dapat dipenuhi oleh ketersediaan lengas dari
sumber luar air tanah, air permukaan atau keduanya.
Namun demikian sawah phreatik dan/atau
fluxial tidak menjamin tersedianya lengas tanah yang cukup. Jumlah dan keteraturan
pasokan aliran bawah permukaan (sub-surface
flow) dan air permukaan (surface flow)
pada zona perakaran dan pergerakan air tanah (groundwater flow) tergantung sepenuhnya pada iklim. Ketersediaan
air interflow mengikuti curah hujan dari daerah tangkapan air tanah.
Ketersediaan air tergantung pada kondisi
cuaca setempat (lokal) atau dalam beberapa hal tergantung pada sistem
pelembahan sungai besar atau pada cuaca di daerah aliran sungai (DAS) hulu yang
seringkali cukup jauh jaraknya. Oleh karena itu pada tahun-tahun dengan curah
hujan rendah, luasan yang berhasil ditanami padi lebih sempit dibanding pada
tahun-tahun dengan curah hujan tinggi. Pola yang sama juga terlihat pada sawah
yang diratakan dan berpematang (antraquic)
jika air irigasi tidak cukup tersedia.
Lengas tanah optimal dijumpai pada sawah
irigasi yang berada pada daerah dengan sumber air berlimpah, yaitu pada daerah
dengan curah hujan yang cukup untuk irigasi, walaupun dalam sistem irigasi
sederhana seperti misalnya pada lahan yang berteras di Jawa dan Bali. Air tidak
selalu tersedia cukup pada lahan sawah yang memiliki sistem irigasi, kalau
debit air sungai sebagai sumber air irigasi tidak mencukupi akibat kerusakan
DAS. Jadi kualitas lahan sawah sangat tergantung pada ketersediaan lengas yang
beragam dari satu tempat ke tempat lain dari tahun ke tahun bahkan di daerah
beririgasi sekalipun. Oleh karena itu keragaman ini harus dipertimbangkan dalam
melakukan evaluasi lahan tidak terkecuali di daerah beririgasi.
Neraca air
Neraca air didefinisikan sebagai perimbangan antara air yang masuk ke suatu batasan hidrologi dengan air yang keluar. Neraca air tersebut dapat dihitung dalam suatu zona perakaran, zona yang telah ditetapkan pada lahan tertentu atau bahkan dapat dihitung pada skala yang lebih luas. Dengan demikian sebelum menghitung neraca air perlu ditetapkan kondisi batasan (boundary condition) zona-zona tertentu. Secara umum dengan mengetahui jumlah air yang masuk (Win) dan air yang keluar (Wout), dapat dihitung neraca air pada periode waktu tertentu.
Kebutuhan air
Sekitar 83% wilayah Indonesia mempunyai
curah hujan tahunan >2.000 mm, namun sebagian besar terdistribusi selama
musim hujan. Dengan hanya menerapkan sistem pengelolaan air konvensional yang
sangat tergantung pada curah hujan, deraan kekeringan terutama pada musim
kemarau tidak dapat dihindari. Akibatnya tanaman dapat mengalami cekaman air
sehingga produksinya dapat menurun
drastis. Ada kalanya
petani tidak mau mengambil
risiko
produksi tanamannya rendah, maka membiarkan lahannya tidak ditanami pada musim
kemarau. Dengan penggunaan teknologi irigasi suplemen, musim tanam tanaman
pangan tidak terbatas hanya pada musim hujan, tetapi bisa diperpanjang sampai
pertengahan musim kemarau.
Pada pertananaman padi terdapat tiga
fase pertumbuhan yaitu fase vegetatif (0-60 hari), fase generatif (60-90 hari)
dan fase pemasakan (90-120 hari) sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3.
Pada lahan sawah, kehilangan air dapat
melalui evaporasi, transpirasi, dan perkolasi. Kehilangan air melalui perkolasi
sangat bervariasi. Pada Tabel 2 disajikan data kebutuhan air untuk sawah
irigasi di 43 lokasi di China, Jepang, Korea, Philipina, Vietnam, Thailand, dan
Bangladesh. Pada lahan sawah beririgasi, kehilangan air bervariasi antara
5,6–20,4 mm hari-1.
Yoshida (1981) melaporkan variasi kehilangan air yang paling sering diamati
berkisar antara 6–10 mm hari-1. Dengan demikian rata-rata jumlah air yang
dibutuhkan untuk memproduksi padi yang optimal adalah 180–300 mm bulan-1. Dalam satu
periode tanam juga dilaporkan bahwa kebutuhan air untuk seluruh operasional
pengelolaan sawah beririgasi (pembibitan, persiapan lahan, dan irigasi) adalah
1.240
mm.
Untuk persiapan lahan terutama kebutuhan
air untuk pelumpuran (puddling)
bervariasi tergantung pada kadar air tanah awal dan intensitas pelumpurannya
(Tabel 3).
Pemakaian air konsumtif dapat diketahui
dengan cara perimbangan berat atau penetapan volume air menggunakan lisimeter,
tensiometer, dan neutron probe, atau
ditetapkan berdasarkan pendugaan, seperti metode pendugan dari Penman (1956),
Thornthwaite (1948), dan Blaney-Criddle (1962). Setiap metode pendugaan
evapotranspirasi tersebut menggunakan parameter-parameter penduga yang berbeda,
diantaranya iklim, tanah dan faktor tanaman. Konsep
evapotranspirasi
potensial (PE) juga pernah diusulkan oleh Thornthwaite (1948) untuk menghitung
kebutuhan air, yaitu kehilangan air oleh tanaman jika tanah dalam kondisi tidak
pernah kekurangan air.
Sumber
daya air irigasi
Schwab dan Flevert (1981) membagi sumber
air irigasi ke dalam air permukaan (surface
water), dan air bawah tanah (groundwater).
Air permukaan meliputi air danau alami, air sungai atau sungai yang dibendung
dan dijadikan waduk sekaligus berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik,
pencegah banjir, dan lain-lain. Air permukaan dapat ditingkatkan
ketersediaannya dengan memanen air hujan/aliran permukaan, sedangkan sumber air
bawah tanah biasanya dimanfaatkan melalui pembuatan sumur-sumur dalam atau
artesis (deep wells), mata air (springs) atau menggali/membuat kolam.
Ketersediaan air bawah tanah (groundwater) sangat ditentukan oleh berapa
besar pengisian (recharge) dari curah
hujan. Pada umumnya semakin tinggi curah hujan makin besar kemungkinan
pengisian air bawah tanah, meskipun hubungan tersebut tidak linear (Gambar 7)
karena faktor geologi dan karakteristik tanah sangat menentukan. Hubungan
antara curah hujan dan pengisian air bawah tanah (groundwater recharge) di daerah humid dan arid telah dilaporkan
oleh Tase et al. (2003). Sistem
pengisian air bawah tanah di daerah arid sangat terbatas yang berimplikasi
sulitnya penggunaan air di daerah tersebut. Indonesia yang sebagian besar
wilayahnya termasuk pada kawasan humid tropik, sistem pengisian air bawah tanah
relatif lebih besar dan sangat menunjang keberlanjutan pengelolaannya untuk
pengembangan pertanian.
Sumber air irigasi harus memenuhi syarat
kualitas agar tidak berbahaya bagi tanaman yang akan diairi, karena dalam
jangka panjang dapat berpengaruh terhadap kualitas hasil atau produk pertanian.
Schwab dan Flevert, 1981 mensyaratkan kualitas air irigasi sangat tergantung
dari kandungan sedimen atau lumpur dan kandungan unsur-unsur kimia dalam air
tersebut. Sedimen atau lumpur dalam air pengairan berpengaruh terhadap tekstur
tanah, terutama pada tanah bertekstur sedang sampai kasar akan memperlambat
permeabilitas penampang tanah akibat pori-pori tanah terisi atau tersumbat
sedimen tersebut, dan menurunkan kesuburan tanah. Sedimen atau lumpur yang
mengendap di dalam saluran irigasi akan mengurangi kapasitas pengaliran air dan
memerlukan biaya tinggi untuk membersihkannya.
Sifat-sifat kimia air pengairan berpengaruh terhadap kesesuaian air untuk berbagai penggunaan, sehingga aman untuk setiap pemakaian. Sifat-sifat kimia air pengairan yang sangat penting diketahui dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian, diantaranya adalah
(a) konsentrasi garam total yang terlarut;
(b) proporsi garam (Na) terhadap kation lainnya (sodium adsorption ratio = SAR);
(c) konsentrasi unsur-unsur racun potensial yang dapat mencemari atau merusak tanah; dan (d) konsentrasi bikarbonat, yang berkaiatan erat dengan Ca dan Mg.
Bila sifat-sifat kimia air tersebut melebihi konsentrasi yang diizinkan, pertumbuhan tanaman akan terhambat dan mengalami penurunan hasil.
Pada umumnya, aspek kualitas air irigasi
sering diabaikan karena perhatian selalu tertumpu pada kuantitas. Salinitas dan
salinisasi merupakan masalah yang dapat terjadi di lahan beririgasi, termasuk
di lahan sawah beririgasi. Meskipun di Indonesia jarang terjadi, namun hal ini
harus tetap diwaspadai. Dari hasil penelitiannya di Kazakhstan Kitamura et al. (2003) melaporkan bahwa sumber
salinitas ini dapat berasal dari sumber air irigasi yang berkadar garam relatif
tinggi atau dapat juga dari air bawah tanah yang melalui proses aliran air ke
atas (upward movement).
Konsep
dasar pengelolaan air
Pengelolaan air yang utama pada lahan
sawah adalah irigasi. Secara umum irigasi didefinisikan sebagai pemberian air
untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Pekerjaan irigasi meliputi menampung
dan mengambil air dari sumbernya, mengalirkannya melalui saluran-saluran ke
lahan pertanian dan membuang kelebihan air ke saluran pembuangan. Tujuan
irigasi adalah memberikan tambahan (supplement)
air terhadap air hujan dan memberikan air
untuk
tanaman dalam jumlah yang cukup dan pada saat dibutuhkan. Irigasi pada lahan
sawah dimaksudkan untuk menjenuhkan tanah agar diperoleh struktur lumpur (puddling) yang baik bagi pertumbuhan
tanaman padi, memenuhi kebutuhan air tanaman, kebutuhan penggenangan, dan
mengganti kehilangan air di saluran.
Secara umum, irigasi juga berguna untuk
(a) mempermudah pengolahan tanah ; (b) mengatur suhu tanah dan iklim mikro ;
(c) membersihkan atau mencuci tanah dari garam-garam yang larut atau asam-asam yang tinggi ; (d) membersihkan
kotoran atau sampah yang ada dalam saluran-saluran
air ; dan (e) menggenangi tanah untuk memberantas tanaman
pengganggu (gulma) dan hama penyakit.
Pembangunan sistem irigasi yang meliputi pembangunan bendung dan waduk serta jaringannya memerlukan investasi yang sangat mahal. Oleh sebab itu, air harus digunakan secara efektif dan efisien. Dalam hal itu, penentuan jumlah air yang dibutuhkan untuk mencapai produksi tanaman yang optimal sangat penting dilakukan.
Teknik
pengelolaan air
Pengelolaan air di lahan sawah sangat
ditentukan oleh kondisi topografi dan pola curah hujan. Lahan sawah yang
berasal dari lahan kering yang diairi umumnya berupa lahan irigasi, baik yang
berupa irigasi teknis (dengan bangunan irigasi permanen), setengah teknis
(dengan bangunan irigasi semi permanen), maupun irigasi sederhana (tanpa
bangunan irigasi). Apabila sumber air berasal langsung dari air hujan maka
disebut sawah tadah hujan. Sawah yang dikembangkan di rawa-rawa lebak disebut
sawah lebak. Tanah sawah juga dapat berasal dari lahan rawa pasang surut.
Sawah irigasi
Di Indonesia terdapat kurang lebih 5
juta ha sawah beirigasi. Sebagai pengguna air terbesar (85%) sawah beririgasi
masih dihadapkan kepada masalah efisiensi, yang disebabkan oleh kehilangan air
selama proses penyaluran air irigasi (distribution
lossses) dan selama proses pemakaian (field
application losses). Tingkat efisiensi di saluran primer dan sekunder
diperkirakan sebesar 70- 87%, saluran tersier antara 77-81% dan jika
digabungkan dengan kehilangan di tingkat petakan, maka efisiensi penggunaan air
secara keseluruhan baru berkisar antara 40-60% (Kurnia, 1977 dalam Kurnia, 2001). Angka-angka
tersebut, dewasa ini diperkirakan akan lebih rendah lagi. Hal ini disebabkan
biaya operasi dan pemeliharaan (OP) dari pemerintah dikurangi, belum stabilnya
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke kabupaten/kota dan karena belum
siapnya petani di dalam menerima program penyerahan irigasi (Kurnia, 2001).
Penggenangan (standing
water)
Rendahnya tingkat efisiensi penggunaan air selama proses pemakaian diantaranya disebabkan oleh kebiasaan petani yang masih senang menggunakan genangan yang tinggi sampai 15 cm secara terus-menerus (continous flow); beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air (irigasi) macak- macak dan tidak secara terus-menerus (rotasi) hasilnya tidak berbeda nyata dengan genangan tinggi secara terus-menerus
Sistem penggenangan juga sangat
berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan air. Genangan dalam (10-15 cm)
seperti yang dilakukan petani pada umumnya dapat menyebabkan tingginya
kehilangan air lewat perkolasi yang didalamnya juga terlarut unsur hara yang
bersifat mobil, sehingga tingkat kehilangan hara juga menjadi tinggi. Penurunan
tingkat genangan menjadi 5-7 cm selain dapat menurunkan tingkat kebutuhan air
irigasi dan juga dapat meningkatkan hasil tanaman (Tabel 6).
Penelitian yang dilakukan IRRI dengan
menggunakan padi varietas IR-8 menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata terhadap
hasil tanaman untuk tingkat penggenangan
antara 1 dan 15 cm. Sistem genangan dangkal (shallow flooding), bagaimanapun memberikan hasil per unit penggunaan air yang lebih rendah, salah satunya disebabkan oleh relatif
lebih rendahnya kehilangan air lewat perkolasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa meskipun pada dasarnya pengenangan secara terus-menerus tidak menyebabkan peningkatan hasil,
penggenangan sedalam 5-7 cm secara
terus-menerus kemungkinan merupakan praktek terbaik, khususnya dalam hubungannya pengendalian gulma dan efisiensi pemupukan
(De Datta et al. dalam Bhuiyan, 1980).
Jumlah pemberian air irigasi per periode
tertentu berpengaruh pada produktivitas padi. Hasil penelitian IRRI untuk padi
varietas IR-8 dengan aplikasi pupuk nitrogen 100 kg ha-1, pemberian air maksimum
tercapai pada level 6,5 mm hari-1 pada musim kering 1969, dan 5,5 mm hari-1 pada musim
kering 1970 dan 1971 (Gambar 8). Perbedaan nilai maksimum level irigasi antara
musim kering tahun 1969 dengan 1970 dan 1971 disebabkan oleh perbedaan
evaporasi yang
diakibatkan oleh perbedaan radiasi matahari. Penambahan air melebihi nilai maksimum tersebut tidak akan meningkatkan hasil padi secara proposional hingga level 7 mm hari-1 untuk tahun 1970 dan 1971, sehingga tidak dapat lagi menambah keuntungan dari penambahan air irigasi. Nilai maksimum level irigasi pada musim kering 1969 mencapai 9 mm hari-1 (Bhuiyan, 1980).
penambahan pupuk N 100 kg ha-1 Sumber:
Bhuiyan (1980) dengan modifikasi
Efisiensi penggunaan air merupakan aspek
penting berkenaan dengan upaya peningkatan nilai ekonomi produksi pertanian
pada lahan beririgasi. Berkenaan dengan sawah beririgasi, Abas et al. (1985) melaporkan bahwa efisiensi
penggunaan air pada lahan yang diirigasi secara macak-macak hampir 2
–
3 kali lebih tinggi dibanding dengan lahan yang digenangi terus-menerus (Tabel
7).
Hasil yang serupa dilaporkan juga oleh Budi (2001), bahwa dengan irigasi
macak-macak dari sejak tanam sampai 7 hari menjelang panen pada musim kemarau
maupun musim hujan dapat menghemat penggunaan air 40% dibanding dengan
penggenangan secara kontinu.
b. Irigasi bergilir
(rotational irrigation)
Sistem irigasi bergilir merupakan teknik irigasi dimana pemberian air dilakukan pada suatu luasan tertentu dan untuk periode tertentu, sehingga areal tersebut menyimpan air yang dapat digunakan hingga periode irigasi berikutnya dilakukan. Sistem ini banyak diterapkan di Jepang dan Taiwan (Bhuiyan, 1980). Jumlah air yang diberikan dan interval irigasi adalah setara dengan unit luasan lahan yang diirigasi dan jumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi, rembesan (seepage), perkolasi dan komponen kehilangan air lainnya.
Hasil penelitian di Taiwan menunjukkan
bahwa teknik irigasi dengan sistem rotasi dapat menghemat penggunaan air 20-30%
tanpa menyebabkan terjadinya penurunan hasil. Metode ini juga mendukung lebih
baiknya pertumbuhan tanaman dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan
penggunaan tenaga kerja (Wen dalam Bhuiyan,
1980). Hasil penelitian yang dilakukan di Nueva Ecija, Filipina juga menunjukkan
bahwa pemberian air dengan sistem rotasi tidak menyebabkan terjadinya penurunan
hasil, bahkan nampak adanya kecenderungan peningkatan hasil panen (Tabel 8).
Meskipun efisiensi hasil padi yang dicapai pada lahan dengan irigasi bergilir lebih besar dibanding irigasi terus-menerus (continue irrigation), tetapi sistem ini memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah pengaruhnya terhadap reaksi tanah. Lahan yang di irigasi secara bergilir ini cenderung memiliki pH tanah yang lebih rendah dibanding pada lahan yang diirigasi secara terus- menerus dan digenangi
Irigasi berselang (alternate wet/dry irrigation)
Sistem irigasi berselang merupakan sistem pemberian air ke lahan sawah dengan level tertentu kemudian pemberian air berikutnya dilakukan pada periode tertentu setelah genangan air pada level tersebut surut hingga tidak terjadi genangan. Dalam penelitiannya di Maduari, Tamil Nadu, India, Krishnasamy et al. (2003) menerapkan irigasi setinggi 5 cm sehari setelah air surut hingga tidak terjadi genangan air di lahan sawah. Dengan sistem irigasi ini produktivitas padi (varietas ASD 19) dapat ditingkatkan, dan produksinya relatif lebih tinggi dibanding sistem irigasi terus-menerus dan irigasi bergilir
Dengan irigasi berselang hasil padi
meningkat hampir 7% dibanding hasil pada lahan yang terus-menerus digenangi,
sementara hasil padi dengan irigasi bergilir meningkat 2%. Kebutuhan air
irigasi untuk sistem irigasi dengan penggenangan terus-menerus adalah sebesar
725 mm, sedangkan untuk irigasi bergilir dan berselang masing-masing adalah 659
mm dan 563 mm. Curah hujan selama periode irigasi adalah 579 mm (Krishnasamy et al., 2003). Dari hasil penelitiannya
di Tuanlin, Provinsi Huibei, China, Cabangon et al. (2002)
melaporkan
bahwa irigasi dengan penggenangan terus-menerus
membutuhkan air yang lebih banyak, kemudian secara berurutan diikuti
dengan irigasi berselang, sistem penjenuhan pada bedengan, irigasi dengan
penggelontoran (flush irrigation)
pada lahan kering (tanah dalam kondisi aerobik), dan irigasi padi lahan tadah
hujan. Irigasi berselang lebih tinggi kontribusinya dalam peningkatan jumlah
anakan padi, lebar daun (leaf area)
dan produksi biomassa Gani et al. (2002).
Irigasi dengan selang 4 hari merupakan
batas kritis bagi kultivar padi IR-64, pengairan dengan selang >4 hari
tersebut nyata menurunkan hasil gabah. Irigasi dengan selang 4 hari memberikan
efisiensi penggunaan air paling tinggi yaitu 8,9 kg gabah mm ha-1 (Budi,
2001).
Lebih jauh Krishnasamy et al. (2003) melaporkan bahwa produktivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding penggenangan, dan dengan sistem tersebut penggunaan air irigasi dapat dihemat hingga 21% lebih tinggi dari sistem penggenangan. Efisiensi irigasi dengan sistem irigasi berselang mencapai 77%, lebih tinggi dibanding pada sistem penggenangan terus-menerus (52%) dan sistem irigasi bergilir (68%)
Sawah tadah hujan
Pada lahan sawah tadah hujan, pengolahan
tanah dengan cara dilumpurkan (puddling)
tidak dilakukan dan kebutuhan air untuk padi ladang dan padi sawah berbeda.
Oleh karena itu pengelolaan air di lahan sawah tadah hujan harus dibedakan
dengan yang dilakukan di lahan sawah beririgasi. Sistem penanaman termasuk
didalamnya penentuan masa pengolahan tanah dan tanam harus diperhitungkan
sehingga air hujan dapat dipergunakan secara efektif dan kebutuhan air untuk
tanaman pada setiap fase pertumbuhannya dapat terpenuhi.
Cekaman air sering terjadi pada sawah
tadah hujan akibat pengaturan masa tanam yang kurang tepat, dan hal ini sangat
berpengaruh terhadap hasil padi. Sumber air irigasi pada lahan sawah tadah
hujan umumnya hanya mengandalkan curah hujan.
Kendala-kendala penerapan teknologi
irigasi umumnya mencakup penggunaan air yang belum efisien. Sebagian besar
sistem irigasi yang diterapkan baik di lahan kering maupun di lahan sawah tidak
efisien, disebabkan oleh antara lain kehilangan air melalui rembesan (seepage) di sepanjang saluran, dan
aplikasinya yang masih boros.
Penerapan teknologi irigasi yang
membutuhkan investasi cukup besar pada
awal pembangunan jaringan irigasi belum diimbangi dengan pemilihan tanaman yang
diusahakan. Petani masih sulit merubah pertanaman mereka, yang umumnya bukan
tanaman-tanaman bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian investasi yang ditanam
tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh. Demikian juga sulit
merubah pola tanam petani yang sudah mapan (established).
Kendala lain berkaitan dengan sumber air irigasi untuk peningkatan intensitas tanam. Sebagian besar lahan kering di
Indonesia terletak di zona beriklim
basah dimana curah hujannya >2.000 mm. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi dua kali musim tanam (IP 200) curah
hujan tersebut telah mencukupi, tetapi untuk peningkatan ke IP 300
harus disertai dengan suplai air
tanah dengan pompanisasi. Selain itu penerapan teknologi panen air (water
harvesting) untuk meningkatkan ketersediaan
air untuk irigasi juga menjadi sangat penting.
Pemanenan air (water harvesting)
Sebagaimana pada pengelolaan tanaman
lain di lahan kering, untuk tanaman padi pada lahan tadah hujan memerlukan
irigasi untuk peningkatan produktivitasnya. Sementara itu kebutuhan air untuk
tanaman sangat tergantung pada curah hujan yang keberadaannya sangat dinamis
tergantung pada kondisi iklim. Perubahan kondisi lahan akibat rusaknya fungsi
hidrologi daerah aliran sungai (DAS) di mana sebagian besar lahan kering
berada, berakibat pada hilangnya potensi sumber daya air untuk irigasi. Oleh
karena itu diperlukan upaya untuk memanen air di musim hujan untuk dimanfaatkan
pada musim kemarau sehingga mampu memperpanjang masa tanam.
Beberapa teknologi panen air telah
dikembangkan, di antara yang paling populer dan sudah dikenal dan diterapkan
oleh petani adalah teknologi embung. Embung merupakan bangunan yang berfungsi
selain sebagai pemanen aliran permukaan dan air hujan, juga sebagai tempat
resapan yang akan meningkatkan kadar air tanah (Gambar 13). Tujuan pembuatan
embung adalah untuk penyediaan air yang akan diaplikasikan di musim kemarau.
Uraian mengenai embung dalam kaitannya dengan upaya memanen air telah diuraikan
oleh Subagyono et al. (2005) dalam
buku Teknologi Konservasi Tanah dan Air.
Pengembangan sawah tadah hujan secara
luas telah dilakukan oleh Thailand
terutama di kawasan lahan kering di utara negara tersebut. Untuk memanen air
dan pendistribusiannya, telah dikembangkan teknologi
yang dikenal dengan thamnop. Thamnop merupakan bangunan
semacam dam yang terbuat dari tanah umumnya dengan dimensi yang
bervariasi yang dapat digunakan untuk mengairi
lahan seluas 320 – 480 ha (Fukui and Hoshikawa, 2003).
Pemanfaatan
air secara efisien
Tidak seperti lahan sawah beririgasi,
publikasi mengenai pengelolaan air pada lahan sawah tadah hujan masih terbatas.
Mengenai kebutuhan air untuk padi tadah hujan, banyak ahli berpendapat berbeda.
Beberapa menyatakan bahwa kebutuhan air untuk padi tadah hujan lebih banyak
dibanding tanaman serealia lain, tetapi beberapa yang lain berpendapat bahwa
kebutuhan tersebut hampir sama. Penulis berpendapat sama dengan pendapat kedua,
sehingga penerapan pengelolaan air pada lahan ini tidak jauh berbeda dengan
pengelolaan air untuk tanaman semusim lain di lahan kering termasuk tanaman
serealia, lebih- lebih jika pola tanam pada lahan ini mengintroduksikan tanaman
semusim lahan kering seperti jagung, kedelai, kacang hijau dan lain-lain.
Pada sawah tadah hujan, sumber air
irigasi yang telah dipanen harus didistribusikan (dimanfaatkan) secara efisien.
Sistem irigasi yang menggunakan air dalam jumlah terendah tetapi masih
memberikan hasil yang optimum merupakan alternatif yang perlu dikembangkan.
Jumlah air yang harus diaplikasikan dan interval irigasi didasarkan pada luas
lahan yang akan diirigasi, evapotranspirasi, rembesan (seepage), kebutuhan untuk perkolasi dan kehilangan air yang mungkin
terjadi di sepanjang saluran.
Irigasi dengan sistem bergilir (rotational irrigation) akan lebih
efisien diterapkan dibanding dengan irigasi terus-menerus. Pengalaman IRRI
bekerjasama dengan Philippines national
irrigation administration menunjukkan bahwa irigasi bergilir yang
diterapkan dengan rotasi 5 hari sekali mampu memberikan hasil padi yang lebih
tinggi (meskipun secara statistik tidak berbeda nyata) dibanding irigasi
terus-menerus (Bhuiyan, 1980). Pemberian air hingga macak-macak dapat
dipertimbangkan, tetapi perlu dibarengi dengan upaya
mengatasi
masalah gulma. Untuk menanggulangi masalah gulma, pemberian air hingga level
genangan setinggi 5-7 cm dapat menjadi alternatif yang efisien.
Khusus pada pertanaman padi sistem gogo
rancah (Gora), dan jika pola tanam pada lahan tadah hujan mengintroduksikan
tanaman semusim lain seperti jagung, kedelai atau kacang hijau, maka strategi
pengelolaan air didasarkan pada upaya memanfaatkan air secara efisien melalui
irigasi dan peningkatan kelengasan tanah. Umumnya air irigasi diberikan jika
kadar air tanah telah menurun hingga mencapai 50% air tersedia. Prinsip dasar
ini tidak tepat diterapkan pada tanah-tanah liat yang memiliki sifat mengembang
dan mengkerut dan tanah-tanah pasir (Withers et al., 1974). Hal ini karena pada dasarnya tanah- tanah pasir
mampu melepas air hingga 80% air tersedia sedangkan tanah-tanah liat mampu
menahan air cukup kuat (high water
holding capacity). Faktor kedua yang dilupakan dan sering tidak
dipertimbangkan dalam aplikasi irigasi adalah bahwa pertumbuhan dan
perkembangan akar tanaman tidak statis selama pertumbuhan tanaman. Aplikasi
irigasi secara efisien harus didasarkan pada kedua faktor tersebut untuk
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman (crop
water use).
Subagyono (1996) dan Panda dan Behera
(2003) menggunakan konsep management
allowable depletion (MAD) atau dikenal juga dengan maximum allowable depletion untuk merancang penjadwalan irigasi
masing-masing pada tanaman jagung dan gandum. Dari penelitian tersebut
dilaporkan, untuk tanaman jagung efisiensi penggunaan air irigasi (water use efficiency) tertinggi dicapai
pada level MAD 75% pada tanah lempung berpasir dari Zeebrugge, Belgia dan untuk
tanaman gandum dicapai pada level MAD 45% pada jenis tanah dengan tekstur yang
sama di kebun percobaan Indian Institute
of Technology, Kharagpur, India.
Management
allowable depletion (MAD) atau maximum allowable depletion adalah batas penurunan maksimum kadar
air yang masih memberikan kontribusi yang optimum terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman. Menurut James (1978) MAD dapat didefinisikan sebagai derajat
kekeringan tanah yang masih diperbolehkan untuk menghasilkan produksi tanaman
optimum. Untuk menentukan jumlah dan frequensi pemberian air irigasi nilai
kritis penurunan kadar air tersedia yang masih mampu menghasilkan efisiensi
penggunaan air (water use efficiency/WUE)
yang optimum sangat penting untuk ditetapkan.
Untuk penjadwalan irigasi, penetapan
kadar air tersedia sangat diperlukan. Kadar air tersedia adalah kadar air
antara kapasitas lapang dengan titik layu permanen. Penetapan kadar air pada
saat kapasitas lapang setara pF 2,54 di laboratorium tidak tepat digunakan
untuk semua jenis tanah, karena proses drainase internal dan dinamika retensi
air tanah lebih dipengaruhi oleh komposisi seluruh profil tanah dari pada
spesifik lapisan tertentu. Oleh karena itu drainase
internal
perlu ditetapkan di lapangan (Hillel, 1990) dengan menggunakan petak 1 m x 1 m
dan tensiometer dipasang di tengah petakan sedalam 30 cm. Petakan diairi hingga
jenuh, kemudian dibiarkan beberapa waktu hingga proses drainase internal
terjadi. Kapasitas lapang tercapai jika potensial air tanah berubah menjadi
relatif constant. Selanjutnya nilai konstan potensial air tanah dikonversi ke
kadar air dengan menggunakan kurva pF yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan titik layu permanen (permanent
wilting point) bisa dipertimbangkan konstan. Kapasitas air tersedia (available water capacity/AWC) ditetapkan
dengan menghitung selisih nilai kadar air pada saat kapasitas lapang yang didapat
dari percobaan drainase internal dengan saat titik layu permanen.
Kedalaman dan interval irigasi
ditentukan berdasarkan data tensiometer pada setiap pertumbuhan maksimum
perakaran tanaman sebagai berikut:
W= ((θfc-θMAD)/100) x D (6.16)
W adalah jumlah air yang ditambahkan
(mm), θfc dan θMAD masing- masing adalah kadar air (%
volume) pada kapasitas lapang dan kadar air pada level MAD, dan D adalah
kedalaman akar (mm). Setelah level MAD tercapai (diindikasikan dengan potensial
air pada setiap perlakuan), kemudian pemberian air irigasi dilakukan hingga
batas kapasitas lapang. Untuk mendapatkan gambaran pertumbuhan dan perkembangan
akar tanaman yang akan digunakan untuk menentukan kedalaman air irigasi,
pengamatan distribusi akar dilakukan pada setiap periode pertumbuhan tanaman.
Untuk mencari pada level MAD yang mana
penjadwalan irigasi dilakukan, maka perlu diadakan percobaan lapang untuk
menguji beberapa level MAD yang dikaitkan dengan pencapaian efisiensi
penggunaan air (water use efficiency/WUE) yang paling tinggi.
Sebagai gambaran, perlakuan level irigasi 20% air tersedia (20% MAD level), 40%
air tersedia (40% MAD level), 60% air tersedia (60% MAD level) dan 80% air
tersedia (80% MAD level) dapat diuji dalam hubungannya dengan efisiensi
penggunaan air. Untuk memberikan pedoman yang lebih praktis dari metode di atas
(karena petani tidak mungkin menggunakan tensiometer), maka dinamika perubahan
potensial air tanah dari data tensiometer pada MAD level yang memberikan
kontribusi maksimal pada efisiensi penggunaan air dikonversi ke berapa jumlah
air yang diberikan (irrigation depth)
dan berapa hari pemberian sekali irigasi tersebut harus dilakukan.
Dinamika perubahan kelengasan tanah
terhadap waktu akibat penerapan irigasi digunakan sebagai dasar penjadwalan
irigasi. Di lapangan, perubahan kelengasan tanah tersebut dapat diukur langsung
dengan menggunakan alat pengukur kadar air seperti neutron probe, time domain
reflectometer (TDR), secara grafimetrik, atau cara lain. Namun demikian
penggunaan tensiometer memungkinkan untuk mendapatkan nilai tersebut dengan
cara mengukur perubahan tegangan air tanah (menggunakan tensiometer baik manual
maupun
digital) kemudian dikonversi nilai tegangan air (matrik potensial) ke kadar air dengan menggunakan kurva pF atau kurva karakteristik air tanah. Data perubahan kadar air tanah tersebut dapat dikonversi ke simpanan air tersedia (available water storage) yang sangat penting di dalam perencanaan penjadwalan irigasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abas, A.I. 1980. Pengaruh
pengelolaan air, pengelolaan tanah
dan dosis pemupukan N terhadap
pertumbuhan dan produksi
padi (Effects of soil and water management and dosage
of N fertilizer on growth and yield of rice). Kumpulan Makalah
Pertemuan Teknis. Proyek Penelitian Tanah. Buku I Jilid ke-3. Pusat Penelitian Tanah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Abas, A.I. dan A. Abdurachman. 1981.
Pengaruh pengelolaan air, pengelolaan
tanah, dan pemupukan terhadap padi sawah (Effects of soil and water management
and fertilizer on rice yield). Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis. Proyek Penelitian Tanah. Buku II bagian 3. Pusat Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Abas, A.I. dan A. Abdurachman. 1985.
Pengaruh pengelolaan air dan pengolahan tanah terhadap efisiensi penggunaan air
padi sawah di Cihea, Jawa Barat. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4: 1-6.
Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1983.
Pengaruh penggenangan dan pemupukan terhadap tanah Podsolik Lampung Tengah.
Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 2: 1- 8.
Allen, R.G. L.S. Pereira, D. Raes, and
M. Smith. 1998. Guidelines for computing cropwater requirement. FAO Drainage
and Irrigation Papar No. 56. Rome.
Ambler, J.S. 1992. Dinamika Irigasi
Petani: Kerangka dan prinsip-prinsip kelembagaan hlm. 3-29 dalam Ambler, J.S. (Ed.)
Irigasi di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). IKAPI. Jakarta.
Bhuiyan, S.I. 1980. Water allocation,
distribution, and use criteria for irrigation system design and management:
selected research findings. p. 139-157. In
IRRI (1980) Report of a Planning Workshop on Irrigation Water Management.
International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines.
Blaney, H.
F, and W. D. Criddle. 1962. Determining consumptive use and irrigation water
requirements. ARS-USDA Tech. Bull. No.
1275.
Budi, D.S. 2000. Strategi antisipasi
kekeringan dalam budidaya tanaman padi sawah melalui teknik tabel, TOT dan
pengelolaan air. hlm. dalam Amin (Eds.) Perubahan Penggunaan Lahan, Iklim
dan Produktivitas Tanaman.
Budi, D.S. 2001. Strategi peningkatan
efisiensi pendistribusian air irigasi dalam sistem produksi padi sawah
berkelanjutan. hlm. 116-128 dalam Prosiding
Lokakarya Padi, Implementasi Kebijakan Strategies untuk Peningkatan Produksi Padi
Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.
Cabangon, G. Lu. R., T.P Tuong, P.
Belder, B.A.M. Bouman, and E. Castillo. 2002. The effects of irrigation
management on yield and water productivity of inbred, hybrid, and aerobic rice
varieties. pp. 15-28. In Bouman
B.A.M., H. Hengsdijk, B. Hardy, P.S. Bindraban, T.P. Tuong, and J.K. Ladha (Eds.) Water-wise Rice Production.
International Rice Research Institute/IRRI and Plant Research International.
Castillo EG, Buresh RJ, and Ingram KT.
1992. Lowland rice yield as affected by timing of water deficit and nitrogen
fertilization. Agron J. 84: 152-159.
Dikshit, U.N., D. Parida, and D.
Satpathy. 1987. Genetic evaluation and utilization: Drought tolerance. IRRN 12:
6-7.
Dorenboos, A.H. and Kassam. 1979. Yeild Response to Water. FAO Drainage and Irrigation Papar No. 33. Rome