google-site-verification=I3gsFmhNnwraRTClYNy7Zy_HRGb_d1DkfDUi6e1xs34 PERKEMBANGAN POPULASI WERENG HIJAU DAN PREDATORNYA PADA BEBERAPA VARIETAS PADI ~ Medik Veteriner Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

PERKEMBANGAN POPULASI WERENG HIJAU DAN PREDATORNYA PADA BEBERAPA VARIETAS PADI

 

PERKEMBANGAN POPULASI WERENG HIJAU DAN PREDATORNYA  PADA BEBERAPA VARIETAS PADI

 

INTISARI

Populasi wereng hijau Nephotettix sp. Sejak persemaian hingga akhir fase vegetatif perlu dipantau dan dikendalikan untuk menghindari dan menekan insidensi tungro. Pengendalian hama terpadu yang berbasis bioekologi dengan menekan penggunaan pestisida, kesesuaian varietas dan pengelolaan musuh alami mempunyai potensi dalam membangun agroekosistem yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola perkembangan populasi wereng hijau dan berbagai jenis predatornya pada beberapa varietas padi sehingga menjadi informasi penting dalam penentuan jenis dan proporsi varietas, pemantauan kepadatan populasi wereng hijau dalam kaitannya dengan insidensi tungro. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang, Sulawesi Selatan pada musim hujan 2013, dengan mengunakan metode observasi untuk mengetahui keberadaan dan perkembangan populasi wereng hijau dan predatornya pada lima varietas padi yang berbeda umur (kegenjahan) dan ketahanannya terhadap wereng hijau, yaitu Inpari 4, Inpari 7, Inpari 9, IR 64, TN1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola populasi wereng hijau meningkat selama fase vegetatif (tiga hingga enam MST) dan menurun pada fase generatif (tujuh hingga delapan MST). Tingkat kepadatan populasi wereng hijau tidak dipengaruhi oleh ketahanan varietas. Secara umum, pola fluktuasi kepadatan populasi predator tidak mengikuti pola fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau di setiap varietas. Berdasarkan nilai indeks Shannon-wiener, keragaman predator berada diatas nilai indek 0,91 menunjukkan peluang konservasi musuh alami dalam pengendalian biologis dengan memfokuskan identifikasi tanggap fungsional predator terhadap hama sasaran.

Kata kunci: populasi, predator, varietas padi, wereng hijau

PENGANTAR

Wereng hijau Nephotettix sp. merupakan salah satu hama penting pada padi terutama di beberapa negara yang terletak di Asia bagian selatan dan tenggara (Padmavathi et al., 2001). Wereng hijau menyerang padi secara langsung dengan cara mengisap cairan tanaman dan secara tidak langsung berperan sebagai penular (vector) virus tungro. Interaksi antara

wereng hijau, virus tungro dan tanaman padi akan menimbulkan penyakit tungro yang merupakan penyakit terpenting pada padi yang disebabkan oleh virus. Terdapat lima jenis wereng hijau yang dapat menularkan virus tungro yaitu Nephotettix virescens,

N. nigropictus, N. malayanus, N. parvus dan Recilia dorsalis (Dahal et al., 1990). N. virescens merupakan vektor terpenting karena efisiensi penularannya paling tinggi (Siwi & Zusuki, 1991) serta lebih awal

 

membentuk koloni dan lebih cepat perkembangan populasinya (Chancellor et al., 1996). Efisiensi penularan virus tungro oleh wereng hijau di daerah endemis mencapai 81% sedangkan di daerah non endemis mencapai 52%. (Supriyadi et al., 2004).

Keberadaan jenis dan populasi vektor, ketersediaan sumber inokulum, varietas dan pola tanam, kondisi lingkungan baik fisik (suhu dan curah hujan) maupun biologi (musuh alami) serta praktik budidaya yang dilakukan berpengaruh terhadap epidemi tungro (Suzuki et al., 1992; Holt et al., 1996; Truong & Tiongco, 2008). Insidensi tungro dipengaruhi oleh tingkat ketahanan varietas, stadia tanaman, ketersediaan sumber inokulum, dan kepadatan populasi vektor (Rapusas & Heinrich, 1987), namun keberadaan vektor yang mengandung virus (viruliferous vector) merupakan faktor yang paling penting karena berperan dalam penularan dan penyebaran virus tungro (Ganapathy et al., 1999). Wereng hijau lebih suka makan pada tanaman muda dan lebih efisien memperoleh virus dari tanaman muda yang terinfeksi, sehingga kejadian tungro cepat meningkat pada tanaman muda (Choi et al., 2009).


Wereng hijau mempunyai kemampuan memencar yang tinggi sehingga sangat efektif menyebarkan virus tungro meskipun kepadatan populasinya rendah terutama di daerah dengan pola tanam tidak serempak (Widiarta, 2005). Fluktuasi insidensi tungro berkorelasi positif dengan fluktuasi kepadatan populasi vektor apabila tersedia sumber inokulum (Tiongco et al., 1993). Infeksi awal virus tungro ditentukan oleh kepadatan populasi vektor infektif yang migrasi ke pertanaman, sedangkan perkembangan serangan selanjutnya ditentukan oleh sumber inokulum di pertanaman dan kepadatan populasi vektor generasi pertama (Sumardiyono et al., 2004). Keberadaan 30–40% sumber inokulum di pertanaman yang disertai dengan peningkatan populasi vektor menyebabkan tingginya insidensi tungro (Raga et al., 2004).

Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, diantaranya dengan penanaman varietas tahan, penggunaan insektisida (antifidan) (Widiarta et al., 2001), penerapan pengendalian secara biologi dengan pemanfaatan musuh alami (Bambaradeniya & Edirisinghe, 2008) serta penerapan kultur teknis dengan sistem tanam jajar legowo (Widiarta et al., 2003).

Penggunaan varietas tahan merupakan komponen yang paling efektif (Daradjat et al., 1999), ekonomis dan ramah lingkungan dalam strategi pengendalian wereng hijau dan virus tungro (Angeles & Khush, 2000). Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa penanaman varietas tahan wereng hijau terbukti efektif menurunkan keberadaan tungro dan peningkatan proporsi varietas tahan di suatu hamparan dapat menekan insidensi tungro (Holt et al., 1996). Namun demikian, tidak semua varietas tahan ditanam di semua daerah yang tergolong endemis karena beberapa varietas tahan bersifat spesifik lokasi, keterbatasan preferensi petani terhadap varietas tertentu serta di beberapa daerah masih sulit untuk dikembangkan varietas baru karena lebih memilih menanam varietas lokal dengan pertimbangan selera atau rasa. Pertimbangan daya hasil yang tinggi juga menjadi alasan petani untuk menanam suatu varietas tanpa mempertimbangkan bahwa wilayah pengembangannya termasuk endemis (Rahayu, 2012). Penggunaan insektisida sering tidak efektif karena penularan virus tungro oleh vektor berlangsung dalam jangka waktu yang pendek dan terjadi pergerakan vektor dari pertanaman sekitar secara terus-menerus (Praptana & Muliadi, 2013).

Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dalam rangka pengendalian hama terpadu yang berbasis bioekologi dengan menekan penggunaan pestisida, kesesuaian varietas dan pengelolaan musuh alami mempunyai potensi dalam membangun agroekosistem yang sehat dan berkelanjutan. Hubungan yang sinergis dan stabil antara serangga hama dan musuh alami dapat dikelola dan dipertahankan dengan meminimalkan penggunaan pestisida dan pengelolaan gulma di agroekosistem sawah (Cabunagan et al., 2008). Konservasi pengendalian biologis merupakan implementasi pengendalian biologis di lapangan. Hingga saat ini, konservasi pengendalian biologis telah dikelola pada hama dan artropoda dengan tingkat resistensi tinggi terhadap insektisida di negara-negara berkembang. Perbandingan jumlah insektisida resisten dengan jumlah konservasi pengendalian biologis yang dikelola terhadap hama padi seperti wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens), penggerek batang padi (Chilo suppresalis), dan wereng hijau masing-masing adalah (123 : 7), (51 : 15), (25 : 0) (Wyckhuys et al., 2013). Potensi pengembangan konservasi pengendalian biologis menjadi dipertimbangkan, terutama pada wereng hijau. Keterpaduan antara penggunaan varietas dan pengelolaan musuh alami diharapkan akan membentuk keseimbangan alami dan diperoleh hasil yang stabil tinggi. Tujuan penelitian adalah mengetahui pola perkembangan populasi wereng hijau dan berbagai jenis predatornya pada beberapa varietas padi sehingga menjadi informasi penting dalam penentuan jenis dan proporsi varietas, pemantauan kepadatan populasi wereng hijau dalam kaitannya dengan insidensi tungro dalam rangka perakitan strategi pengendalian tungro.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Wereng hijau dewasa maupun nimfa belum ditemukan di semua varietas pada 2 MST. Hal tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi migrasi wereng hijau dewasa dari pertanaman sekitar atau tidak terjadi migrasi dari pertanaman sekitar ke persemaian sehingga tidak terjadi peneluran pada bibit dan tidak terjadi penetasan di pertanaman. Umumnya wereng hijau meletakkan telur pada jaringan selubung daun bibit di persemaian atau tanaman muda (Azzam et al., 2002). Wereng hijau juga memiliki sifat memencar yang tinggi jika pertanaman dalam kondisi kering (Widiarta, 2005), sehingga belum terjadi migrasi karena pertanaman sekitar masih dalam kondisi basah (berair). Predator juga tidak ditemukan di semua varietas pada 2 MST karena belum tersedia wereng hijau ataupun serangga hama lain yang menjadi mangsa (pakan). Pertanaman akan terhindar dari infeksi awal virus tungro dengan tidak adanya wereng hijau di persemaian dan tanaman muda karena fase kritis infeksi awal virus tungro terjadi jika tersedia sumber inokulum di awal vegetatif dan adanya migrasi wereng hijau membawa virus (viruliferous vector) ke persemaian ataupun tanaman muda (10–20 HST) (Sumardiyono et al., 2004).

Hasil observasi menunjukkan bahwa wereng hijau mulai ditemukan di semua varietas pada 3 MST dengan kepadatan populasi 1–2 ekor per plot. Populasi wereng hijau terus-menerus naik pada minggu- minggu berikutnya dan mencapai puncaknya pada 7 MST, kemudian turun kembali pada 8 MST. Pola fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau relatif sama pada setiap varietas (Gambar 1). Fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau pada varietas Inpari 9 lebih rendah dari pada yang terjadi pada keempat varietas lain dan populasi tertinggi terjadi pada varietas Inpari 7. Adanya variasi populasi wereng hijau pada setiap minggu pengamatan di semua varietas menunjukkan bahwa wereng hijau tidak memiliki preferensi terhadap satu atau beberapa varietas ter- tentu. Pola fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau lebih dipengaruhi oleh pola tanam (Widiarta et al., 1999). Wereng hijau cenderung akan bermigrasi jika sumber makanan dan kondisi lingkungan tidak sesuai untuk kelangsungan hidupnya, bahkan migrasi akan cepat dilakukan setelah proses probing atau pencarian makanan yang sesuai, artinya bahwa

jika makanan tidak sesuai maka wereng hijau akan segera berpindah ke pertanaman lainnya.

Keberadaan wereng hijau pada 3 MST tidak diikuti oleh kemunculan predator, namun mulai 4 MST muncul beberapa predator di beberapa varietas yaitu capung jarum (Agriocnemis pygmaea: Coenagrionidae), laba-laba bulat (Araneus inustus: Araenidae), laba- laba tungkai panjang (Tetragnatha maxillosa: Tetragnathidae), laba-laba mata jalang (Oxyopes javanus: Oxyopidae) dan laba-laba pemburu (Lycosa pseudoannulata: Lycosidae), kemudian pada minggu- minggu berikutnya mulai ditemukan belalang antena panjang (Conocephalus longipennis: Tettigonidae), jangkrik (Metioche vittaticolis: Gryllidae), kumbang macan (lady beettle: Menochilus sexmaculatus: Coccinellidae), kumbang karabid (ground beetle: Ophionea nigrofasciata: Carabidae) dan capung besar (dragonfly: Libellula depressa: Libellulidae). Tidak semua jenis predator ditemukan di setiap varietas. Spesies predator terbanyak ditemukan di varietas Inpari 4 dan Inpari 7 dan paling sedikit di varietas TN1. Laba-laba bulat dan laba-laba tungkai panjang selalu ditemukan pada setiap minggu pengamatan di semua varietas

Populasi wereng hijau pada 4 MST didominasi oleh stadia nimfa di semua varietas. Keberadaan nimfa menunjukkan bahwa wereng hijau telah menemukan lingkungan untuk membentuk populasi dengan menghasilkan generasi baru. Populasi wereng hijau pada 3 MST masih rendah karena dalam tahap pembentukan populasi, yaitu penemuan inang dan penyesuaian dengan lingkungan baru. Setelah me- nemukan sumber makanan yang sesuai maka akan berkembang, sehingga populasi meningkat pada minggu-minggu berikutnya (Widiarta 1992). Pada 5 MST variasi populasi wereng hijau mulai terlihat berbeda nyata pada setiap varietas. Populasi wereng hijau di plot Inpari 7 dan Inpari 9 mengalami pe- nurunan. Seiring dengan pertumbuhan tanaman hingga umur 8 MST, kepadatan populasi wereng hijau pada varietas Inpari 9 paling rendah dan berbeda nyata dibanding kepadatan populasi di varietas yang lain. Namun terjadi variasi kepadatan populasi wereng hijau dan tidak berbeda nyata di antara varietas Inpari 4, Inpari 7, IR 64, dan TN1. Diduga populasi wereng hijau telah mengalami adaptasi yang lebih baik terhadap varietas Inpari 4, Inpari 7, IR 64, dan TN 1 yang merupakan varietas rentan dan lebih lama ditanam pada waktu-waktu

jauh sebelumnya. Berbeda pada varietas Inpari 9 yang memiliki ketahanan terhadap penyakit tungro (Suprihatno et al., 2009), namun tidak tahan terhadap wereng hijau menunjukan bahwa wereng hijau belum adaptif terhadap varietas tersebut karena belum banyak dikembangkan di masyarakat dan dilepas pada tahun 2009 (Praptana & Muliadi, 2013). Pada 4 hingga 5 MST menunjukkan keberadaan dan kepadatan populasi wereng hijau yang relatif tinggi. Kurun waktu tersebut berkorelasi dengan

penularan sekunder oleh virus tungro (Burhanuddin et al, 2006; Praptana & Burhanuddin, 2008). Kegiatan eradikasi sumber inokulum di pertanaman (rouging) harus dilakukan untuk menekan insidensi tungro (Praptana & Yasin, 2008).

Keberadaan predator yang menyertai populasi wereng hijau di lapangan mulai tampak keragamannya pada 4 MST dan cenderung semakin beragam hingga 8 MST di setiap varietas yang ditunjukkan dengan nilai indek keragaman Shannon (Tabel 1). Nilai maksimal indeks keragaman Shannon ditolerir hingga 0,91 sebagai indikator ekologis, bahwa nilai indeks kurang dari 0,91 menunjukkan kelompok predator masuk dalam kategori keragaman rendah yang disebabkan oleh terganggunya ekosistem akibat pengaruh polusi di lingkungan tersebut, terutama oleh paparan bahan aktif insektisida (Feng et al., 2015). Namun, Indeks keragaman predator secara umum berada di atas ambang tolerir. Hal ini merupakan peluang konservasi musuh alami dalam pengendalian biologis. Ada tiga bentuk mekanisme hubungan antara predator terhadap penekanan mangsa di lapangan (Straub et al., 2008). Pertama, pelestarian keragaman predator dapat memperkuat penekanan mangsa (positif). Kedua, pelestarian keragaman predator tidak mempengaruhi penekanan mangsa (netral). Dan ketiga, pelestarian keragaman predator dapat melemahkan penekanan mangsa (negatif). Meski demikian, fokus pada identifikasi tanggap fungsional predator terhadap hama sasaran adalah penting dalam penerapan konservasi musuh alami.

Predator capung jarum dan laba-laba mulai muncul setelah populasi wereng hijau sebagai mangsa terbentuk. Nimfa capung jarum berada di permukaan air dan akan naik pada batang padi untuk memangsa nimfa wereng hijau, sedangkan dewasanya aktif terbang di bawah kanopi tanaman untuk memangsa wereng hijau dewasa yang terbang (Laba & Atmadja, 1992). Laba-laba bulat dan laba-laba tungkai panjang memangsa wereng hijau dewasa menggunakan perangkap jala serta dapat memakan dua hingga tiga ekor mangsa per hari. Kedua jenis laba-laba tersebut merupakan predator banyak jenis mangsa (generalist predators) (Kobayashi et al., 2011). Laba-laba pemburu

merupakan predator yang paling rakus dengan ke- mampuan makan 15–20 ekor nimfa wereng hijau per hari (Shepard et al., 1987). Namun demikian, ke- beradaan populasi predator tersebut belum mampu menekan populasi wereng hijau pada varietas Inpari 4, Inpari 7, Inpari 9, IR64 dan TN1 sehingga kepa- datan populasi wereng hijau tetap naik pada 5 MST. Kepadatan populasi capung jarum dan laba-laba pemburu yang rendah tidak mampu mengimbangi kepadatan populasi nimfa wereng hijau.

Populasi laba-laba pada 5 hingga 6 MST cenderung menurun sehingga populasi wereng hijau baik nimfa maupun dewasa meningkat pada 6 hingga 7 MST walaupun telah mulai muncul belalang antena panjang dan kumbang macan namun masih sangat rendah populasinya.

Puncak populasi wereng hijau terjadi di semua varietas pada 7 MST dan menurun pada 8 MST. Populasi wereng hijau yang tinggi tidak diimbangi dengan keberadaan dan populasi predator yang cenderung stabil sejak 5 hingga 7 MST. Terlihat bahwa populasi predator pada 8 MST sangat tinggi dibanding minggu-minggu sebelumnya sehingga mampu menekan populasi wereng hijau bahkan muncul predator lain seperti kumbang karabid dan jangkrik dengan populasi cukup tinggi. Selain akibat dari aktivitas pemangsaan oleh predator, populasi wereng hijau menurun pada fase generatif karena tidak sesuai lagi untuk perkembangannya dan cenderung untuk bermigrasi ke pertanaman lain yang lebih muda.

Keberadaan serangga hama yang lain diduga berpengaruh terhadap dinamika fluktuasi populasi wereng hijau walaupun rerata populasi dari seluruh plot varietas jauh di bawah populasi wereng hijau. Hasil observasi menunjukkan bahwa mulai tanaman berumur 3 MST telah ditemukan wereng cokelat (Nilaparvata lugens Stal.), ulat penggulung daun (Cnaphalocrosis medinalis) dan wereng zigzag (Recilia dorsalis) hingga 8 MST dengan kepadatan populasi yang fluktuatif dengan rerata populasi maksimal dari seluruh plot sebanyak 10 ekor (Tabel 2).

Laba-laba dan predator generalis lain memiliki preferensi tertentu jika terdapat beberapa jenis mangsa (Kobayashi et al., 2011). Predasi akan meningkat ketika mangsa melimpah, konsekuensinya predasi pada jenis mangsa tertentu akan terganggu ketika tersedia cukup mangsa alternatif (Kuusk & Ekbom, 2010). Fluktuasi populasi predator secara umum tidak mengikuti pola populasi wereng hijau di setiap varietas. Efektivitas predator dalam mengendalikan populasi wereng hijau diukur dari daya predasinya. Sifat musuh alami yang sesuai adalah bahwa aktivitas dan populasinya akan meningkat jika populasi mangsanya meningkat dan kenaikan populasi mangsa

 


Tabel 1. Nilai indeks keragaman (H’) predator pada beberapa varietas padi di musim hujan 2013

No.       Varietas                                                Keragaman predator

 

 

2 MST

3 MST

4 MST

5 MST

6 MST

7 MST

8 MST

1

Inpari 4

0

0

1,40

1,18

1,10

1,65

1,92

2

Inpari 7

0

0

1,08

1,08

1,35

1,42

1,88

3

Inpari 9

0

0

0,87

1,30

1,12

1,09

1,83

4

IR 64

0

0

0,96

1,14

1,28

1,34

1,59

5

TN1

0

0

1,09

0,98

1,39

1,37

1,70

 


Tabel 2. Rerata populasi serangga hama selain wereng hijau di semua varietas pada 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 MST

Serangga hama                                                  Kepadatan populasi (ekor)

 

 

2 MST

3 MST

4 MST

5 MST

6 MST

7 MST

8 MST

Wereng cokelat

0

1

3

5

10

6

6

Ulat penggulung daun

0

0

1

2

5

10

4

Wereng zigzag

0

0

1

0

1

1

1

 

 

akan diimbangi kematiannya akibat dari aktivitas pemangsaan (Laba & Atmadja, 1992; Moreno et al., 2010). Keberadaan jenis maupun populasi musuh alami akan berpengaruh terhadap populasi wereng hijau di pertanaman (Raga et al., 2004), namun kemampuan musuh alami sendiri belum dapat menekan populasi wereng hijau sehingga cukup rendah untuk mencegah terjadinya kerusakan secara ekonomi (Siwi & Zusuki, 1991). Oleh karena itu perlu usaha pemeliharaan dan pelestarian predator melalui kegiatan konservasi musuh alami dengan mengintegrasikan berbagai komponen kultur teknis dengan tujuan menyediakan kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan dan kelangsungan hidup musuh alami. Pelestarian musuh alami dapat dilakukan dengan meningkatkan keragaman tumbuhan berbunga pada sekitar habitat padi (Lou et al., 2013), penanaman tanaman atau inang alternatif, mengelola gulma dan pemanfaatan pakan buatan. Penggunaan varietas tahan akan mendukung potensi dan peranan predator dalam mengendalikan populasi wereng hijau di pertanaman (Laba et al., 2001).

 

KESIMPULAN

Pola populasi wereng hijau meningkat selama fase vegetatif (3 hingga 6 MST) dan menurun pada fase generatif (7 hingga 8 MST). Kepadatan populasi wereng hijau tidak dipengaruhi oleh ketahanan varietas. Secara umum, pola fluktuasi kepadatan populasi predator tidak mengikuti pola fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau di setiap varietas. Berdasarkan nilai indeks Shannon-Wiener, keragaman predator berada di atas nilai indeks 0,91 menunjukkan peluang konservasi musuh alami dalam pengendalian biologis dengan memfokuskan identifikasi tanggap fungsional predator terhadap hama sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Angeles, E.R. & G.S. Khush. 2000. Genetic Analysis of Resistance to Green Leafhopper, Nephotettix virescens (Distant): in Three Varieties of Rice. Plant Breeding 119: 446–448.

Azzam, O. & T.C.B. Chancellor. 2002. The Biology, Epidemiology, and Management of Rice Tungro Disease. Plant Disease 86: 88–100.

Bambaradeniya, C.N.B. & J.P. Edirisinghe. 2008. Composition, Structure and Dynamics of Arthropod Communities in a Rice Agro-Ecosystem. Ceylon Journal of Science (Biological Science) 37: 23–48.

Burhanuddin, I.N. Widiarta, & A. Hasanuddin. 2006. Penyempurnaan Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro dengan Strategi Menghindari Infeksi dan Pergiliran Varietas Tahan. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 6: 92–99.

Cabunagan, R.C., E.R. Tiongco, & I.R.Choi. 2008. Component Technologies for Management of Rice Tungro Disease, p. 197–212. In E.R. Tiongco, E.R. Angeles, & L.S. Sebastian (eds.), Rice Tungro Virus Disease: a Paradigm in Disease Management. Science City of Munoz, Nueva Ecija: Philippine Rice Research Institute and Honda Research Institute Japan Co. Ltd.

 

 


 


 

 

 


 


 

Terima kasih telah membaca artikel tentang PERKEMBANGAN POPULASI WERENG HIJAU DAN PREDATORNYA PADA BEBERAPA VARIETAS PADI di blog Medik Veteriner jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com