PERKEMBANGAN POPULASI WERENG HIJAU DAN PREDATORNYA PADA BEBERAPA VARIETAS
PADI
INTISARI
Populasi wereng hijau Nephotettix sp. Sejak persemaian hingga akhir fase vegetatif perlu dipantau dan dikendalikan untuk menghindari dan menekan insidensi tungro. Pengendalian hama terpadu yang berbasis bioekologi dengan menekan penggunaan pestisida, kesesuaian varietas dan pengelolaan musuh alami mempunyai potensi dalam membangun agroekosistem yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola perkembangan populasi wereng hijau dan berbagai jenis predatornya pada beberapa varietas padi sehingga menjadi informasi penting dalam penentuan jenis dan proporsi varietas, pemantauan kepadatan populasi wereng hijau dalam kaitannya dengan insidensi tungro. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang, Sulawesi Selatan pada musim hujan 2013, dengan mengunakan metode observasi untuk mengetahui keberadaan dan perkembangan populasi wereng hijau dan predatornya pada lima varietas padi yang berbeda umur (kegenjahan) dan ketahanannya terhadap wereng hijau, yaitu Inpari 4, Inpari 7, Inpari 9, IR 64, TN1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola populasi wereng hijau meningkat selama fase vegetatif (tiga hingga enam MST) dan menurun pada fase generatif (tujuh hingga delapan MST). Tingkat kepadatan populasi wereng hijau tidak dipengaruhi oleh ketahanan varietas. Secara umum, pola fluktuasi kepadatan populasi predator tidak mengikuti pola fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau di setiap varietas. Berdasarkan nilai indeks Shannon-wiener, keragaman predator berada diatas nilai indek 0,91 menunjukkan peluang konservasi musuh alami dalam pengendalian biologis dengan memfokuskan identifikasi tanggap fungsional predator terhadap hama sasaran.
Kata kunci: populasi, predator, varietas padi, wereng
hijau
PENGANTAR
Wereng
hijau Nephotettix sp. merupakan salah satu hama penting pada padi terutama di
beberapa negara yang terletak di Asia
bagian selatan dan tenggara
(Padmavathi et al., 2001). Wereng
hijau menyerang padi secara
langsung dengan cara mengisap cairan
tanaman dan secara
tidak langsung berperan
sebagai penular (vector) virus tungro. Interaksi antara
wereng
hijau, virus tungro dan tanaman padi akan menimbulkan penyakit tungro yang merupakan penyakit terpenting pada padi yang disebabkan oleh
virus. Terdapat lima jenis wereng hijau yang dapat menularkan virus tungro yaitu Nephotettix virescens,
N. nigropictus, N. malayanus, N. parvus dan Recilia dorsalis (Dahal et al., 1990). N. virescens merupakan vektor terpenting karena efisiensi penularannya paling tinggi (Siwi & Zusuki, 1991) serta lebih awal
membentuk
koloni dan lebih cepat perkembangan populasinya (Chancellor et al., 1996). Efisiensi
penularan virus tungro oleh wereng hijau di daerah endemis mencapai 81% sedangkan di daerah
non endemis mencapai 52%. (Supriyadi et al., 2004).
Keberadaan jenis dan populasi vektor, ketersediaan
sumber inokulum,
varietas dan pola tanam, kondisi
lingkungan baik fisik (suhu dan curah hujan) maupun biologi (musuh alami) serta praktik
budidaya yang dilakukan berpengaruh terhadap epidemi tungro
(Suzuki et al., 1992; Holt et al., 1996; Truong & Tiongco, 2008). Insidensi tungro
dipengaruhi oleh tingkat
ketahanan varietas, stadia tanaman, ketersediaan sumber inokulum, dan kepadatan populasi
vektor (Rapusas & Heinrich,
1987), namun keberadaan vektor yang mengandung virus (viruliferous vector) merupakan faktor yang paling penting karena berperan
dalam penularan dan penyebaran virus tungro (Ganapathy
et al., 1999). Wereng hijau lebih
suka makan pada tanaman muda dan lebih efisien memperoleh virus dari tanaman muda yang terinfeksi, sehingga kejadian tungro cepat meningkat pada tanaman
muda (Choi et al., 2009).
Wereng hijau mempunyai kemampuan memencar yang tinggi sehingga sangat efektif menyebarkan virus tungro meskipun
kepadatan populasinya rendah terutama di daerah dengan pola tanam tidak serempak (Widiarta, 2005). Fluktuasi insidensi tungro berkorelasi positif dengan fluktuasi kepadatan populasi vektor apabila tersedia sumber inokulum (Tiongco et
al., 1993). Infeksi awal virus tungro ditentukan oleh kepadatan populasi vektor infektif yang migrasi ke pertanaman, sedangkan perkembangan serangan selanjutnya
ditentukan oleh sumber inokulum di pertanaman dan kepadatan populasi
vektor generasi pertama (Sumardiyono et al., 2004). Keberadaan 30–40% sumber inokulum
di pertanaman yang disertai dengan peningkatan populasi vektor
menyebabkan tingginya insidensi
tungro (Raga et al., 2004).
Berbagai
usaha pengendalian telah dilakukan, diantaranya dengan penanaman varietas
tahan, penggunaan insektisida (antifidan) (Widiarta et al.,
2001), penerapan pengendalian secara biologi dengan pemanfaatan musuh alami (Bambaradeniya & Edirisinghe, 2008) serta penerapan kultur teknis dengan sistem tanam jajar legowo (Widiarta et al., 2003).
Penggunaan
varietas tahan merupakan komponen yang paling efektif
(Daradjat et al., 1999), ekonomis dan ramah lingkungan dalam strategi pengendalian wereng hijau dan virus tungro (Angeles & Khush, 2000). Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa penanaman varietas tahan wereng
hijau terbukti efektif
menurunkan keberadaan tungro dan peningkatan proporsi varietas
tahan di suatu hamparan
dapat menekan insidensi tungro (Holt et al., 1996). Namun demikian, tidak
semua varietas tahan ditanam
di semua daerah yang tergolong
endemis karena beberapa
varietas tahan bersifat
spesifik lokasi, keterbatasan preferensi petani terhadap varietas tertentu serta di beberapa daerah masih sulit untuk dikembangkan varietas
baru karena lebih memilih
menanam varietas lokal dengan pertimbangan selera
atau rasa. Pertimbangan daya hasil yang tinggi
juga menjadi alasan petani untuk menanam suatu varietas
tanpa mempertimbangkan bahwa wilayah pengembangannya termasuk endemis (Rahayu, 2012). Penggunaan insektisida sering tidak efektif karena penularan virus tungro
oleh vektor berlangsung dalam jangka
waktu yang pendek dan terjadi
pergerakan vektor dari pertanaman sekitar secara
terus-menerus (Praptana & Muliadi, 2013).
Pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) dalam rangka
pengendalian hama terpadu yang berbasis bioekologi
dengan menekan penggunaan pestisida, kesesuaian
varietas dan pengelolaan musuh alami mempunyai
potensi dalam membangun agroekosistem yang sehat dan berkelanjutan. Hubungan
yang sinergis dan stabil antara
serangga hama dan musuh alami
dapat dikelola dan dipertahankan dengan meminimalkan penggunaan pestisida dan pengelolaan gulma di agroekosistem sawah (Cabunagan et al.,
2008). Konservasi pengendalian biologis merupakan implementasi pengendalian biologis di
lapangan. Hingga saat ini, konservasi
pengendalian biologis telah dikelola
pada hama dan artropoda dengan
tingkat resistensi tinggi terhadap insektisida di negara-negara
berkembang. Perbandingan jumlah insektisida resisten dengan jumlah konservasi pengendalian biologis yang dikelola terhadap
hama padi seperti wereng
batang cokelat (Nilaparvata lugens), penggerek
batang padi (Chilo suppresalis), dan wereng hijau masing-masing adalah (123 : 7), (51 : 15), (25 : 0) (Wyckhuys et al., 2013). Potensi pengembangan konservasi pengendalian
biologis menjadi dipertimbangkan,
terutama pada wereng hijau. Keterpaduan antara penggunaan varietas
dan pengelolaan musuh
alami diharapkan akan membentuk keseimbangan alami
dan diperoleh hasil yang stabil
tinggi. Tujuan penelitian adalah mengetahui pola perkembangan populasi wereng hijau dan berbagai jenis predatornya pada beberapa varietas padi sehingga menjadi informasi penting dalam penentuan
jenis dan proporsi
varietas, pemantauan kepadatan populasi wereng
hijau dalam kaitannya
dengan insidensi tungro
dalam rangka perakitan strategi pengendalian tungro.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Wereng hijau dewasa maupun nimfa belum ditemukan di semua varietas
pada 2 MST. Hal tersebut
menunjukkan bahwa belum terjadi migrasi
wereng hijau dewasa dari pertanaman sekitar atau tidak terjadi migrasi
dari pertanaman sekitar
ke persemaian sehingga tidak
terjadi peneluran pada bibit dan
tidak terjadi penetasan di pertanaman. Umumnya wereng hijau meletakkan telur pada jaringan selubung daun bibit di persemaian
atau tanaman muda (Azzam et al., 2002). Wereng hijau juga memiliki sifat memencar yang tinggi jika pertanaman dalam kondisi kering
(Widiarta, 2005), sehingga belum terjadi migrasi karena
pertanaman sekitar masih dalam kondisi
basah (berair). Predator juga tidak ditemukan di semua varietas
pada 2 MST karena belum tersedia
wereng hijau ataupun serangga hama lain yang menjadi mangsa (pakan). Pertanaman akan terhindar dari infeksi awal virus tungro dengan tidak
adanya wereng hijau di persemaian dan tanaman muda
karena fase kritis infeksi awal virus tungro terjadi jika tersedia
sumber inokulum di awal vegetatif dan adanya migrasi wereng hijau membawa virus (viruliferous vector) ke persemaian ataupun tanaman muda (10–20 HST) (Sumardiyono et al., 2004).
Hasil observasi menunjukkan bahwa wereng hijau
mulai
ditemukan di semua varietas pada 3 MST dengan
kepadatan populasi 1–2 ekor per plot. Populasi wereng
hijau terus-menerus naik pada minggu-
minggu berikutnya dan mencapai puncaknya pada 7 MST, kemudian turun kembali pada 8 MST.
Pola fluktuasi kepadatan populasi
wereng hijau relatif sama pada setiap
varietas (Gambar 1). Fluktuasi kepadatan
populasi wereng hijau pada varietas Inpari 9 lebih rendah
dari pada yang terjadi pada keempat varietas lain dan populasi
tertinggi terjadi pada varietas
Inpari 7. Adanya variasi populasi wereng hijau pada setiap minggu pengamatan di semua
varietas menunjukkan bahwa wereng
hijau tidak memiliki preferensi
terhadap satu atau beberapa varietas ter- tentu.
Pola fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau
lebih dipengaruhi oleh pola tanam (Widiarta et al., 1999).
Wereng hijau cenderung akan bermigrasi jika sumber makanan
dan kondisi lingkungan tidak sesuai untuk kelangsungan hidupnya, bahkan migrasi akan cepat dilakukan setelah proses probing
atau pencarian makanan
yang sesuai, artinya
bahwa
jika makanan
tidak sesuai maka wereng hijau akan segera
berpindah ke pertanaman lainnya.
Keberadaan wereng hijau pada 3 MST
tidak diikuti oleh kemunculan predator, namun mulai 4 MST muncul beberapa predator di beberapa varietas yaitu capung jarum (Agriocnemis pygmaea: Coenagrionidae), laba-laba bulat (Araneus inustus: Araenidae), laba-
laba tungkai panjang
(Tetragnatha maxillosa: Tetragnathidae), laba-laba mata jalang (Oxyopes javanus: Oxyopidae) dan laba-laba pemburu (Lycosa pseudoannulata: Lycosidae), kemudian pada minggu- minggu berikutnya mulai ditemukan belalang antena panjang (Conocephalus longipennis: Tettigonidae), jangkrik (Metioche vittaticolis: Gryllidae), kumbang
macan (lady beettle: Menochilus sexmaculatus: Coccinellidae), kumbang karabid (ground beetle: Ophionea nigrofasciata: Carabidae) dan capung besar (dragonfly: Libellula depressa: Libellulidae). Tidak
semua jenis predator ditemukan di setiap varietas.
Spesies predator terbanyak ditemukan di varietas
Inpari 4 dan Inpari 7 dan paling sedikit di varietas
TN1. Laba-laba bulat dan laba-laba tungkai
panjang selalu ditemukan
pada setiap minggu pengamatan di semua
varietas
Populasi
wereng hijau pada 4 MST didominasi oleh
stadia nimfa di semua varietas. Keberadaan nimfa menunjukkan bahwa wereng hijau telah menemukan lingkungan untuk membentuk populasi dengan menghasilkan generasi baru. Populasi wereng hijau pada 3 MST masih rendah karena dalam tahap pembentukan
populasi, yaitu penemuan inang dan penyesuaian
dengan lingkungan baru. Setelah me- nemukan
sumber makanan yang sesuai maka akan berkembang, sehingga
populasi meningkat pada minggu-minggu
berikutnya (Widiarta 1992). Pada 5 MST variasi populasi
wereng hijau mulai terlihat berbeda nyata pada setiap varietas. Populasi wereng hijau di plot Inpari 7 dan Inpari 9
mengalami pe- nurunan. Seiring
dengan pertumbuhan tanaman
hingga umur 8 MST, kepadatan populasi wereng hijau pada varietas
Inpari 9 paling rendah dan berbeda nyata dibanding kepadatan
populasi di varietas
yang lain. Namun terjadi variasi
kepadatan populasi wereng
hijau dan tidak berbeda nyata di antara
varietas Inpari 4, Inpari 7, IR 64, dan TN1.
Diduga populasi wereng hijau telah mengalami adaptasi yang lebih baik terhadap
varietas Inpari 4, Inpari 7, IR 64, dan TN 1 yang merupakan varietas
rentan dan lebih lama ditanam
pada waktu-waktu
jauh sebelumnya. Berbeda pada varietas
Inpari 9 yang memiliki ketahanan terhadap penyakit
tungro (Suprihatno et al., 2009), namun tidak tahan terhadap
wereng hijau menunjukan bahwa wereng hijau belum adaptif terhadap varietas tersebut karena belum banyak
dikembangkan di masyarakat dan dilepas
pada tahun 2009 (Praptana & Muliadi, 2013). Pada 4 hingga 5 MST menunjukkan
keberadaan dan kepadatan populasi wereng
hijau yang relatif
tinggi. Kurun waktu
tersebut berkorelasi dengan
penularan sekunder oleh virus tungro
(Burhanuddin et al, 2006; Praptana
& Burhanuddin, 2008). Kegiatan eradikasi sumber inokulum di pertanaman (rouging) harus dilakukan untuk menekan insidensi tungro (Praptana
& Yasin, 2008).
Keberadaan
predator yang menyertai populasi wereng hijau di lapangan
mulai tampak keragamannya pada 4 MST dan cenderung
semakin beragam hingga 8 MST di setiap varietas yang
ditunjukkan dengan nilai indek
keragaman Shannon (Tabel 1). Nilai maksimal
indeks keragaman Shannon ditolerir hingga 0,91 sebagai indikator
ekologis, bahwa nilai
indeks kurang dari 0,91 menunjukkan kelompok predator masuk dalam kategori keragaman rendah yang disebabkan oleh terganggunya ekosistem akibat pengaruh polusi di lingkungan tersebut,
terutama oleh paparan bahan aktif
insektisida (Feng et al., 2015). Namun, Indeks keragaman predator
secara umum berada
di atas ambang tolerir. Hal ini merupakan peluang konservasi musuh alami dalam pengendalian biologis. Ada tiga bentuk mekanisme hubungan antara predator terhadap penekanan mangsa di
lapangan (Straub et al., 2008). Pertama,
pelestarian keragaman predator dapat memperkuat penekanan
mangsa (positif). Kedua, pelestarian keragaman predator tidak mempengaruhi penekanan mangsa
(netral). Dan ketiga, pelestarian
keragaman predator dapat melemahkan
penekanan mangsa (negatif). Meski demikian,
fokus pada identifikasi tanggap fungsional predator terhadap hama sasaran
adalah penting dalam penerapan konservasi musuh alami.
Predator capung jarum dan laba-laba mulai muncul setelah populasi
wereng hijau sebagai
mangsa terbentuk. Nimfa capung jarum berada di permukaan
air dan akan naik pada batang padi untuk memangsa nimfa wereng hijau, sedangkan dewasanya aktif terbang di bawah kanopi
tanaman untuk memangsa
wereng hijau dewasa yang terbang
(Laba & Atmadja, 1992). Laba-laba bulat dan laba-laba
tungkai panjang memangsa
wereng hijau dewasa menggunakan perangkap jala serta dapat memakan dua
hingga tiga ekor mangsa
per hari. Kedua jenis laba-laba tersebut merupakan predator banyak jenis mangsa (generalist predators) (Kobayashi et al., 2011). Laba-laba pemburu
merupakan
predator yang paling rakus dengan ke- mampuan
makan 15–20 ekor nimfa wereng hijau per hari (Shepard
et al., 1987). Namun demikian,
ke- beradaan populasi predator tersebut belum mampu menekan populasi wereng hijau pada varietas Inpari 4, Inpari 7, Inpari 9, IR64 dan TN1
sehingga kepa- datan populasi
wereng hijau tetap naik pada 5 MST. Kepadatan populasi capung jarum dan
laba-laba pemburu yang rendah tidak
mampu mengimbangi kepadatan populasi
nimfa wereng hijau.
Populasi laba-laba pada 5 hingga 6 MST
cenderung menurun sehingga populasi wereng hijau baik nimfa maupun dewasa meningkat pada 6 hingga 7 MST walaupun telah mulai muncul belalang antena panjang dan kumbang macan namun masih sangat
rendah populasinya.
Puncak
populasi wereng hijau terjadi di semua varietas
pada 7 MST dan menurun pada 8 MST. Populasi
wereng hijau yang tinggi tidak diimbangi dengan keberadaan dan populasi predator
yang cenderung stabil sejak 5
hingga 7 MST. Terlihat bahwa populasi
predator pada 8 MST sangat
tinggi dibanding minggu-minggu sebelumnya sehingga mampu menekan populasi
wereng hijau bahkan
muncul predator lain seperti kumbang karabid dan jangkrik dengan populasi cukup tinggi. Selain akibat dari aktivitas pemangsaan oleh predator,
populasi wereng hijau menurun
pada fase generatif karena tidak sesuai
lagi untuk perkembangannya dan cenderung untuk bermigrasi ke pertanaman lain yang lebih muda.
Keberadaan
serangga hama yang lain diduga berpengaruh
terhadap dinamika fluktuasi populasi wereng hijau walaupun rerata
populasi dari seluruh
plot varietas jauh di bawah populasi wereng hijau. Hasil observasi menunjukkan bahwa mulai tanaman berumur 3 MST telah ditemukan wereng
cokelat (Nilaparvata lugens Stal.), ulat penggulung daun (Cnaphalocrosis medinalis) dan wereng zigzag (Recilia dorsalis) hingga
8 MST dengan kepadatan populasi yang fluktuatif dengan rerata populasi
maksimal dari seluruh plot sebanyak 10 ekor (Tabel 2).
Laba-laba
dan predator generalis lain memiliki preferensi
tertentu jika terdapat beberapa jenis mangsa (Kobayashi et al., 2011). Predasi akan meningkat ketika mangsa melimpah, konsekuensinya predasi pada jenis mangsa tertentu akan terganggu
ketika tersedia cukup
mangsa alternatif (Kuusk
& Ekbom, 2010). Fluktuasi populasi predator
secara umum tidak mengikuti
pola populasi wereng hijau di setiap varietas. Efektivitas predator dalam mengendalikan populasi wereng hijau diukur
dari daya predasinya. Sifat musuh alami yang sesuai adalah bahwa aktivitas dan populasinya akan meningkat jika populasi mangsanya meningkat dan kenaikan populasi mangsa
Tabel 1. Nilai indeks
keragaman (H’) predator
pada beberapa varietas
padi di musim
hujan 2013
No. Varietas Keragaman predator
|
2
MST |
3
MST |
4
MST |
5
MST |
6
MST |
7
MST |
8
MST |
|
1 |
Inpari 4 |
0 |
0 |
1,40 |
1,18 |
1,10 |
1,65 |
1,92 |
2 |
Inpari 7 |
0 |
0 |
1,08 |
1,08 |
1,35 |
1,42 |
1,88 |
3 |
Inpari 9 |
0 |
0 |
0,87 |
1,30 |
1,12 |
1,09 |
1,83 |
4 |
IR 64 |
0 |
0 |
0,96 |
1,14 |
1,28 |
1,34 |
1,59 |
5 |
TN1 |
0 |
0 |
1,09 |
0,98 |
1,39 |
1,37 |
1,70 |
Tabel 2. Rerata populasi serangga hama selain wereng hijau di semua varietas pada 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 MST
Serangga hama Kepadatan populasi (ekor)
|
2
MST |
3
MST |
4
MST |
5
MST |
6
MST |
7
MST |
8
MST |
Wereng cokelat |
0 |
1 |
3 |
5 |
10 |
6 |
6 |
Ulat penggulung daun |
0 |
0 |
1 |
2 |
5 |
10 |
4 |
Wereng zigzag |
0 |
0 |
1 |
0 |
1 |
1 |
1 |
akan
diimbangi kematiannya akibat dari aktivitas pemangsaan
(Laba & Atmadja, 1992; Moreno et al., 2010).
Keberadaan jenis maupun populasi musuh alami
akan berpengaruh terhadap populasi wereng hijau
di pertanaman (Raga et al., 2004),
namun kemampuan musuh alami sendiri
belum dapat menekan populasi wereng hijau sehingga
cukup rendah untuk mencegah
terjadinya kerusakan secara ekonomi (Siwi & Zusuki, 1991). Oleh
karena itu perlu usaha pemeliharaan
dan pelestarian predator melalui
kegiatan konservasi musuh alami dengan mengintegrasikan berbagai komponen
kultur teknis dengan
tujuan menyediakan kondisi
lingkungan yang sesuai untuk perkembangan dan kelangsungan hidup musuh alami. Pelestarian musuh
alami dapat dilakukan dengan
meningkatkan keragaman tumbuhan berbunga pada sekitar habitat padi (Lou et al., 2013),
penanaman tanaman atau inang alternatif, mengelola gulma
dan pemanfaatan pakan
buatan. Penggunaan varietas tahan akan mendukung potensi dan peranan predator dalam mengendalikan populasi
wereng hijau di pertanaman (Laba et
al., 2001).
KESIMPULAN
Pola
populasi wereng hijau meningkat selama fase vegetatif
(3 hingga 6 MST) dan menurun pada fase generatif
(7 hingga 8 MST). Kepadatan populasi wereng
hijau tidak dipengaruhi oleh ketahanan varietas. Secara umum, pola fluktuasi
kepadatan populasi predator tidak
mengikuti pola fluktuasi kepadatan
populasi wereng hijau di setiap varietas. Berdasarkan nilai indeks Shannon-Wiener, keragaman predator berada di atas nilai indeks 0,91 menunjukkan peluang konservasi musuh alami dalam pengendalian biologis dengan memfokuskan identifikasi tanggap fungsional predator terhadap hama
sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Angeles, E.R. & G.S. Khush. 2000. Genetic Analysis of Resistance to Green Leafhopper, Nephotettix virescens (Distant): in Three Varieties of Rice. Plant Breeding 119: 446–448.
Azzam, O. & T.C.B. Chancellor. 2002. The Biology, Epidemiology,
and Management of Rice Tungro Disease.
Plant Disease 86: 88–100.
Bambaradeniya,
C.N.B. & J.P. Edirisinghe. 2008. Composition, Structure and Dynamics of Arthropod Communities in a Rice Agro-Ecosystem. Ceylon Journal of Science (Biological Science) 37: 23–48.
Burhanuddin, I.N. Widiarta, & A. Hasanuddin. 2006. Penyempurnaan Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro dengan Strategi Menghindari Infeksi dan Pergiliran Varietas Tahan. Jurnal Hama dan Penyakit
Tumbuhan Tropika
6: 92–99.
Cabunagan, R.C., E.R. Tiongco,
& I.R.Choi. 2008. Component
Technologies for Management of Rice Tungro Disease,
p. 197–212. In E.R.
Tiongco, E.R. Angeles, & L.S. Sebastian (eds.), Rice Tungro
Virus Disease: a Paradigm in Disease Management. Science
City of Munoz, Nueva Ecija: Philippine Rice Research Institute and Honda Research Institute Japan Co. Ltd.